SBY Masih Tercatat sebagai Ahli Strategi Politik Jempolan

Selasa, 11 September 2018 | 11:21 WIB
0
958
SBY Masih Tercatat sebagai Ahli Strategi Politik Jempolan

Dua periode menjadi Presiden Republik Indonesia adalah prestasi luar biasa yang mungkin hanya akan disamai Joko Widodo jika terpilih di Pilpres 2019 nanti. Itulah prestasi spektakuler yang dicapai Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Memang pencapaian cemerlang ini seperti memudar oleh kegagalan demi kegagalan terkait usahanya mendorong Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) ke tampuk kekuasaan nasional. Kegagalan pertama terlemparnya AHY di Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu yang tidak berhasil masuk ke putaran kedua. Kegagalan kedua, terlemparnya AHY dari bursa cawapres yang bakal mendampingi Prabowo Subianto.

Dua kegagalan di level yang "lebih rendah" ini tidak seharusnya menutup sukses SBY dua kali menjadi Presiden RI, tetapi sebagian orang saja tetap menyayangkan... andai saja SBY berhenti berpolitik dan hanya menjadi negarawan, maka kenanya akan jauh lebih baik, akan menjadi khusnul khotimah.

Tetapi hidup memang pilihan, mana ada bapak yang tak sayang anaknya.... dan dalam konteks relasi bapak-anak inilah SBY akhirnya terjun kembali ke gelanggang politik demi memajukan buah hatinya itu. Sejarah mencatat, dua kali SBY menemui kegagalan meski didahului upaya maksimalnya yang mengharu-biru.

Melihat konstelasi politik jelang Pilpres yang bagai bola liar, menarik mencermati diamnya SBY -atau katakanlah puasa bermedianya SBY- khususnya terkait dinamika koalisi di kubu Prabowo Subianto yang didukungnya.

Partai Demokrat yang pada saat-saat akhir harus menentukan pilihan bergabung ke koalisi Jokowi selaku petahana atau koalisi Prabowo sebagai pentang, pada akhirnya menjadi gerbong terakhir di koalisi Prabowo. Ibarat ekor cecak, jika dipotong pun tidak ada masalah, toh ekor baru bisa tumbuh lagi. Itu sekadar perumpaan.

Menyadari hal itu, dalam pengertian berada di posisi yang "tidak dianggap penting", SBY tetap bermanuver dalam diamnya itu. Ia melihat dengan saksama penentuan ketua tim kampanye nasional atau timses kubu Prabowo yang jatuh pada Djoko Santoso, sebagaimana ditekankan Prabowo sendiri.

Tetapi dalam pandangannya, bukankah tidak lebih baik justru AHY yang dipasang sebagai Ketua Timses Prabowo-Sandiaga karena bisa head to head dengan kubu sebelah yang memasang pengusaha Erick Thohir?

Jangankan SBY, bahkan orang yang sedikit paham politik pun bisa geleng-geleng kepala jika AHY tersingkir sebagai Ketua Timses, padahal AHY yang masih muda dan segarlah yang bisa mengimbangi keenerjikan Erick; kok malah tokoh gaek macam Djoko Santoso yang dipilih!?AHY hanya "dipajang" sekadar anggota pembina tim sukses!

Kesan yang muncul ke luar, terutama yang ditangkap oleh kubu lawannya, Jokowi-Ma'ruf Amin, Prabowo "mau ambil semuanya buat Gerindra". Dari mulai calon presiden, calon wakil presiden sampai ketua tim sukses semua dari Gerindra. Padahal, yang namanya koalisi itu adalah kebersamaan dan gotong-royong.

Mungkin juga Prabowo punya kalkulasi sendiri mengapa ia mengesampingkan peran rekan seperahu seperti PAN, PKS dan Demokrat? Apakah cukup ketiga parpol itu dibungkam dengan mahar politik yang dikeluarkan Sandiaga sebagaimana ramai diberitakan tempo hari tanpa harus dilibatkan lagi dalam perjalanan menuju Pilpres 2019?

Untuk itulah, mengapa SBY selaku boss Partai Demokrat seperti membiarkan saja sejumlah gubernur atau kepala daerah yang menyatakan dukungannya kepada pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Setidak-tidaknya sebagai boss partai, ia langsung memecat atau paling tidak menegur keras gubernur Papua dan Sulawesi Utara yang terang-terangan mendukung Jokowi!

Demikian cara SBY sebagai ahli strategi dalam menunjukkan kekecewaannya kepada Prabowo Subianto. Meski terkesan diam, sebenarnya naluri politiknya tetap bekerja. Apalagi seperti ramai diberitakan, Demokrat tak bersedia hadir saat rapat pembentukan Timses Prabowo-Sandiaga. Ini seperti sebuah "kesengajaan" yang dirancang SBY, terbaca ia seperti hendak membalas Prabowo yang ingkar menunjuk anaknya sebagai cawapres.

Ketidakhadiran Demokrat ini berdampak pada tertundanya pembahasan struktur timses nasional. Alhasil ketika Sandiaga Uno menggelar konferensi pers yang seharusnya mengumumkan terbentuknya struktur timses nasional, malah berkilah dengan mengatakan bahwa saat ini partai koalisi pendukung Prabowo lebih memprioritaskan membahas permasalahan ekonomi yang tengah dialami masyarakat.

Tentu saja atas jawaban Sandiaga itu media bertanya yang wajar saja, yaitu apa penyebab koalisi pendukung pasangan Prabowo-Sandiaga belum juga mengumumkan struktur tim kampanyenya dan juga belum menentukan secara tegas siapa ketua Timsesnya di saat pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin telah mengumumkan Erick Thohir sebagai Ketua Tim Kampanye Nasional.

Mengenai siapa Ketua Timses koalisi Prabowo juga masih simpang siur. Prabowo mengatakan Djoko Santoso yang bakal jadi ketuanya. Tetapi dalam keterangan terpisah Sandiaga menyebut AHY juga punya peluang untuk menduduki posisi tersebut.

Duh... pusing deh pala Barbie!

***