Siapa pun calon Wapresnya saya pilih Ciputra. Ketulusan Ciputra memuja Hendra tidak ada tandingannya.
Hanya Ciputra yang ingat setiap tanggal lahir pelukis itu. Dan memperingatinya. Dan istimewa.
Saya ikut hadir di peringatan 100 tahun kelahiran Hendra Gunawan. Minggu lalu. Yang diadakan Ciputra. Dengan megahnya. Di Ciputra World Casablanca. Di pusat Artprenuernya.
Istri kedua almarhum Hendra tampak hadir. Bu Nuraini. Masih kelihatan sehat. Segar. Masih dengan tangkas bisa naik panggung: saat Ciputra memintanya tampil.
Kini usianya 72 tahun. ”Umur saya memang selisih 28 tahun dengan Hendra,” katanya pada Disway.
Dialah yang mendampingi Hendra sampai akhir hayatnya. Di rumahnya yang kedua. Di Bali.
Belum ada orang mencintai pelukis Indonesia melebihi Ciputra. Meski hanya untuk pelukis Hendra.
Ciputra sendiri tampak sehat. Untuk orang usia 83 tahun. Lebih sehat dari tiga tahun lalu.
Tentu sedikit banyak karena efek Mahathir. Yang terpilih jadi perdana menteri Malaysia. Di usianya yang 93 tahun. ‘Kasus Mahathir’ memang telah jadi viral utama di kalangan manula.
Contohnya kakak sulung saya sendiri. Yang usianya sudah 73 tahun. Yang sudah terbaring pasrah di tempat tidur. Mantan Ketua Aisyiah Muhammadiyah propinsi Kaltim itu seperti sudah memilih meninggal.
Saat saya ke Samarinda bulan lalu saya bisiki dia: umur 73 tahun itu, sekarang ini, masih muda. Pak Mahathir baru terpilih jadi perdana menteri umur 93 tahun. Ayo… yu Tun harus sehat. Semangat. Ayo ke rumah sakit. Jangan menyerah.
Saya panggil dia yu (mbakyu) Tun (Khosiyatun). Kakak yang menjadi ibu saya. Ketika masih di Magetan. Karena ibu meninggal saat saya masih SD.
Akhirnya dia mau ke rumah sakit. Saya tunggui. Opname tiga hari. Ada kemajuan. Boleh pulang.
Kemarin saya dikirimi video. Oleh putrinya: yu Tun bisa berjalan sendiri. Ke ruang tamu. Di rumahnya. Di Samarinda. Saya menitikkan air mata.
Pak Ciputra juga tidak boleh kalah oleh Mahathir. Uangnya terlalu banyak untuk bisa menopang kesehatannya. Dokter terbaik. Obat terbaik. Pelayanan terbaik. Di dunia. Bisa ia beli.
Untuk Hendra itu saja ratusan miliar rupiah ia belanjakan. Untuk membeli koleksi lukisannya. Untuk mengubah lukisan-lukisan itu menjadi patung. Untuk membangun museum yang begitu megah. Belum lagi untuk membangun gedung operanya.
Memang ada yang bertanya: mengapa Hendra. Mengapa bukan Affandi. Mengapa bukan Basuki Abdullah. Mengapa bukan Sudjojono. Dan seterusnya.
[caption id="attachment_20540" align="alignleft" width="454"] Hendra Gunawan (Foto: Thejakartapost.com)[/caption]
Beruntung banget Hendra. Memiliki Ciputra.
Beruntung sekali Ciputra.
Memiliki Hendra.
Itulah takdir.
Takdir Hendra.
Sebagai orang Sunda.
Yang memamerkan lukisannya di Bandung.
Lukisannya itu dilihat Ciputra.
Ciputra muda.
Saat Ciputra masih di Bandung. Baru tamat ITB.
Baru belajar cari uang.
Sejak itu ia jatuh cinta pada lukisan Hendra. Tanpa bisa dijelaskan penyebabnya.
Ketika Hendra ditangkap, Ciputra sedih. Itu tahun 1965. Setelah Gestapu/PKI. Ia tidak percaya Hendra komunis.
Sembilan tahun Hendra dipenjara. Tanpa peradilan. Ciputra tetap mencari lukisan Hendra. Dengan, kata Ciputra, semampu keuangannya. Saat itu.
”Saya dikawini setelah Hendra keluar penjara,” ujar Bu Nuraini.
Lalu keduanya pindah ke Bali. Memiliki satu anak laki-laki. Istri pertama tetap di Bandung. Dengan tiga anak.
Di Bali Hendra membeli rumah cicilan. Lewat BNI 46. Dengan jaminan koleksi lukisannya.
Suatu saat Ciputra gundah. Jakarta terasa menyesakkan batinnya. Ia ingin keluar kota. Tapi tidak tahu ingin ke mana.
Ia putuskan ke Bali.
Naik pesawat.
Di dalam pesawat itulah ia ingat: Hendra kan di Bali.
Ia langsung cari alamat Hendra. Ketemu.
Ia kaget.
Hendra tergeletak.
Tidak berdaya.
Tidak ingat siapa-siapa.
Ciputra lebih kaget. Setelah mengamati rumah itu kosong. Tidak ada satu pun lukisan. Tidak seperti rumah pelukis.
”Ke mana lukisan-lukisan Hendra?” tanya Ciputra pada Nuraini.
”Disita bank BNI,” jawab sang istri.
Ada 32 lukisan yang disita.
Ciputra langsung kembali ke Jakarta. Hari itu juga.
Ia tebus lukisan itu.
Ia lunasi kekurangan pembayaran rumah Hendra.
Semua itu diceritakan Ciputra di panggung. Dengan tutur cerita yang mengharukan. Di acara 100 tahun Hendra. Yang juga menampilkan tari kreasi baru. Tari transformasi. Dulu dari lukisan ke patung. Kini dari lukisan ke tari.
Biarlah Jokowi memilih Ma’ruf Amin. Untuk cawapres berikutnya.
Biarlah Prabowo pilih Sandi Uno. Untuk pasangan Pilpres tahun depan.
Saya pilih pengusaha besar Ciputra. Untuk tema disway hari ini.
***
Dahlan Iskan
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews