Masih Banyak Manusia Yang Demikian Kejam kepada Binatang

Selasa, 6 Maret 2018 | 19:40 WIB
0
1199
Masih Banyak Manusia Yang Demikian Kejam kepada Binatang

Menyaksikan beragam fenomena yang sangat miris belakangan ini adalah prilaku manusia yang sangat berlebihan kepada binatang. Bukan saja soal penyelundupan hewan yang dilindungi yang cenderung tanpa prikebinatangan, tetapi juga perlakuan manusia yang sangat “buas” terhadap binatang, bahkan lebih buas dari seekor binatang terbuas sekalipun.

Pembunuhan terhadap buaya pemangsa manusia yang kemudian dibedah isi perutnya dan yang paling mengerikan adalah kasus pembunuhan harimau Sumatera yang kemudian digantung dan dieksploitasi beramai-ramai oleh mereka yang entah kerasukan apa.

Bagi saya, mereka tetaplah mahluk Tuhan yang tak dianugerahi akal, namun berhak hidup di alamnya sendiri, bukan seringkali diusir dan dijadikan bulan-bulanan manusia yang dengan akalnya seharusnya mampu bersikap lebih waras.

Belakangan, habitat binatang semakin terpinggirkan oleh keserakahan manusia yang membuka perlahan-lahan dan mencaplok alam mereka sendiri. Dapat dibayangkan, kenapa ada harimau di Indragiri Hilir (Inhil) Riau yang lalu-lalang ke pemukiman warga dan bahkan ditengarai memangsa salah satu warga di sana.

Kemungkinan besar adalah habitat mereka terganggu oleh ulah manusia, karena selain tempat tinggal, makanan binatang buas ini justru hilang, lagi-lagi karena ulah keserakahan manusia. Keberadaan organisasi penyelemat hewan atau lembaga pemerintah yang bertugas melindungi keberadaan mereka, tampaknya bertekuk lutut oleh kenyataan bertubi-tubinya ekspolitasi dan pembunuhan binatang yang semakin hari kian punah ini.

Salahkah para binatang yang terpaksa harus “mencuri” makanan disaat mereka tak menemukannya di alam liar? Binatang hanya punya hasrat sederhana: hidup dan mempertahankan diri. Mereka tak perlu mengumpulkan stok makanan yang disimpan untuk kelangsungan hidup mereka sehari-hari, karena Tuhan tentu saja telah mencukupi seluruh rezeki yang mereka butuhkan.

Binatang seharusnya tak pernah kelaparan, karena seluruh alam raya ini telah memberikan seluruh kemanfaatannya bagi kebutuhan hidup mereka. Tak terkecuali manusia, yang merupakan bagian kecil (mikrokosmos) dari seluruh hamparan alam raya yang tak terhingga ini. Maka, jika binatang kelaparan, itu pertanda ada masalah yang terjadi dengan alam yang dia huni selama ini.

Entah sejak kapan, saya tiba-tiba jadi pencinta binatang. Tak peduli binatang model apapun dan bentuk apapun, ada rasa sayang yang selalu ingin membiarkan mereka hidup dan mempertahankan dirinya di tengah kerasnya alam yang dikelola para manusia. Pernah suatu waktu, laju kendaraan saya terpaksa dihentikan, karena ada seekor kucing tertabrak oleh kendaraan lain yang berlawanan arah dengan saya.

Dengan tanpa peduli lalu lintas sekitar, saya mencoba “memanusiakan” kucing tersebut, meminggirkannya dan meminta pertolongan orang sekitar untuk menguburkannya. Sadarkah kalau mereka adalah mahluk Tuhan yang lemah? Mereka tak dianugerahi akal pikiran dan seharusnya manusialah yang lebih waras dalam hal ini.

Dalam banyak hal, manusia sesungguhnya lebih kejam dari binatang, bahkan seringkali melampaui tabiat kebinatangan yang sesungguhnya. Bukankah hampir tak pernah ditemukan seekor binatang yang melahirkan anaknya lalu dibuang atau ditinggalkan begitu saja?

Sebuas apapun binatang, pasti memiliki insting kasih sayang kepada anak-anaknya dan menjaga serta merawat anak-anaknya agar tetap dapat bertahan hidup.

Dalam dunia manusia, kekejaman mereka bahkan melampaui batas akal pikirannya sendiri, tak hanya membunuh tetapi juga memutilasi saudara atau bahkan kerabatnya sendiri. Dunia manusia tentu saja lebih kejam dari dunia binatang, melihat dari banyaknya fenomena kejahatan manusia yang dengan akal sehatnya justru semakin sulit terkendali.

Itulah sebabnya, kenapa al-Quran menggambarkan manusia sebagai mahluk yang paling melampaui batas dan merekalah sesungguhnya penghuni-penghuni abadi neraka dan bukan binatang. “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS. Al-A’raf: 179).

Dalam agama saya, praktik soal penyembelihan binatangpun sama, mereka yang akan disembelih harus “digembirakan” terlebih dahulu, didahului dengan prosedur dan etika penyembelihan—seperti menajamkan pisau atau menutup mata binatang dan diposisikan secara baik dan menenangkan sekaligus disebutkan nama Tuhan di dalamnya.

Dengan demikian, ikatan rasa kasih sayang yang terjadi antara manusia dan hewan tetap terjaga, bukan malah seakan memandang binatang tak ada sama sekali harganya dimata manusia. Tidak ada yang diciptakan sia-sia oleh Tuhan, termasuk binatang dan tumbuh-tumbuhan yang keseluruhannya memiliki manfaat, pun beberapa hewan yang dilarang dimakan dagingnya oleh agama, tetapi bukan berarti dihalalkan untuk disakiti apalagi dibunuh.

Saya seringkali menyaksikan, ulah manusia yang sedemikian tak berakal ketika mengusir dan menendang kucing yang karena menghiba mencari makan dari sisa-sisa makanan manusia. Mereka sekadar bertahan hidup untuk mencari makan, bukan menghabiskan makanan yang dikonsumsi manusia. Bukankah kita juga sering menyaksikan atau bahkan berbuat seperti itu?

Kenapa manusia yang memiliki seperangkat akal sehat untuk berpikir lalu tiba-tiba tak menggunakan akal sehatnya? Itulah kenapa, orang-orang yang berakal dengan benar, mendapat tempat teristimewa disisi Tuhan dan disebut oleh Al-Quran sebagai ‘ulul albab’, mereka senantiasa berdoa: “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. Ali Imran: 191).

Oleh karena itu, beragama erat kaitannya dengan akal, karena definisi agama sendiri adalah “sesuatu yang ditetapkan Tuhan yang dapat membimbing akal manusia”, demikian kata seorang ulama besar Ibnu Hajar al-Haytami. Agama membimbing akal manusia untuk selalu berbuat baik, berkasih sayang antarsesama, menghargai alam dan senantiasa berlaku menyeimbangkan alam, memperbaikinya bukan merusak.

Jika mereka mengaku sebagai penganut agama, lalu akalnya masih tertutup untuk saling berkasih sayang dan menjaga kelestarian alam, lalu kira-kira agama apa yang mereka anut?

Ah, saya tidak ingin bersuudzon kepada orang lain, lebih baik membiarkan mereka yang merasa mempunyai akal dapat memfungsikan akalnya secara baik, bukan mengumbar hawa nafsunya sendiri-sendiri.

Mari kita tularkan rasa kasih sayang kepada sesama, tak hanya kepada sesama manusia, tetapi juga kepada mahluk Tuhan yang lainnya, jika kita masih merasa sebagai manusia yang diberikan akal yang waras oleh Tuhan.

***

Editor: Pepih Nugraha