Catatan Biasa Orang Biasa [8] Ingin Delman, Tua Setengah Tahun

Kami harus menambah masa belajar selama enam bulan atau kami tua setengah tahun di sekolah dasar. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ketika itu Daoed Joesoef.

Senin, 5 Oktober 2020 | 07:56 WIB
0
280
Catatan Biasa Orang Biasa [8] Ingin Delman, Tua Setengah Tahun
Delman (Foto: blogger.com)

Selain bercita-cita ingin jadi dalang wayang golek, saya juga ingin punya delman. Terbayang betapa enaknya jika punya kendaraan yang ditarik kuda itu. Setiap hari diantar jemput ke sekolah, tanpa harus membayar ongkosnya. Sesekali juga bisa menjadi kusir, dan berjalan-jalan ke mana saja sepuasnya. Di hari libur bisa ikut ngarit, mencari rumput untuk kuda.

Delman atau sado pada masa saya bersekolah di SD, tidak jauh berbeda dengan delman yang beroperasi saat ini. Hanya saja, pada tahun 1970-an itu rodanya masih menggunakan kayu persis seperti di film-film koboi Hollywood. Bagian luar roda yang berdiameter sekitar 1,2 meter itu dilapisi besi, agar tidak cepat rusak lantaran melindas tanah.

Begitu juga dengan pedati pengangkut barang, yang sering juga disebut roda. Alat angkut logistik ini semula ditarik sapi, kemudian diganti dengan kuda. Di kampung saya tidak ada yang memiliki wahana transportasi tersebut. Pemiliknya terdapat di kampung tetangga seperti Nagrog, Depok, Benteng, Golempang dan Gunungpeundeuy. Ada nama Ijan, Kindin, Aeng, Jaja atau Dayut sebagai “driver” yang delmannya menjadi langganan saya.

Pada suatu ketika terjadi sebuah “revolusi” pada delman dan pedati. Para pemiliknya mengganti roda kayu dengan roda mobil bekas. Tentu lebih praktis dan mengurangi biaya pemeliharaan roda. Karuan saja, perubahan itu menjadi sesuatu yang menarik perhatian warga. Anak-anak seusia saya sengaja menunggu kendaraan tersebut melintas hanya untuk melihat rodanya. Atau mendatangi langsung “garasi” delman sambil melihat istal kudanya.

Keinginan punya delman pupus, ketika Bapa membeli sepeda motor jenis Dampf Kraft Wagen (DKW) buatan Jerman keluaran 1956. Bagi kami ini adalah sebuah pencapaian tersendiri. Naik satu tingkat dari sepeda onthel Raleigh (sepeda jalu). Maka ke sekolah pun naik DKW. Tapi larinya tidak bisa kencang. Di jalan yang agak menanjak dia terengah-engah dan kami harus turun hingga tanjakan berakhir.

Sebetulnya kalau saya ke sekolah naik sepeda atau DKW bersama Bapa, bercampur baur rasa bangga dan risih. Jika Bapa lewat, murid-murid sekolah yang tengah berjalan kaki akan segera membentuk barisan dan membungkukkan badan sebagai tanda penghormatan.

Begitu juga ketika Bapa sampai di sekolah. Mulai dari pintu gerbang, murid-murid berjejer sambil membungkuk.

Penghormatan yang sama juga diberikan kepada guru-guru lainnya. Uniknya, penghormatan itu bukan hanya datang dari murid-murid SD Angkasa, namun juga dari murid-murid SD Cibarengkok, sekolah tetangga. Barangkali, para guru di masing-masing sekolah menanamkan kebiasaan baik, agar siswa menghormati setiap guru, siapa saja dan di mana saja, tanpa kecuali.

Grup musik

Meskipun saya anak kepala sekolah, tapi tidak pernah mendapatkan istimewaan apalagi menyangkut nilai pelajaran. Begitu juga dengan empat saudara kandung saya yang bersekolah di tempat yang sama. Saya bukanlah murid cemerlang dalam pretasi nelajar di sekolah. Biasa-biasa saja. Bahkan pernah mendapatkan nilai merah dalam pelajaran menggambar, karena memang tidak bisa mengerjakan tugas menggambar secara benar. Bapa dan Mamah tidak mengomel atau marah melihat angka menyala itu.

Salah satu kebiasaan saya di kelas jika tidak ada guru adalah memukul-mukul meja yang menimbulkan bunyi seperti gendang orkes melayu. Kebiasaan ini memancing teman-teman yang lain untuk bernyanyi lagu apa saja. Kelas menjadi riuh rendah. Aksi itu baru berhenti jika ada guru yang datang.

Lama kelamaan, kebiasaan itu mengasyikan juga. Lalu kami memutuskan untuk berlatih serius dalam sebuah kelompok musik. “Genre” musik yang dipilih adalah dangdut. Anggota grup ini ada lima orang, saya (kebagian memukul gendang), Deni Hendana
(piano mini), Usep Mulyana (gitar), Gurnita (vokal) dan satu orang lagi saya lupa namanya, yang bertugas memainkan kecrek.

Deni dan Usep adalah sepupu saya, cucu dari kakak Bapa. Keduanya memiliki bakat seni yang bagus dan menguasai alat musik. Sedangkan Gurnita suaranya bagus dan sering mengikuti perlombaan menyanyi. Kami rereongan, patungan, untuk membeli gendang (disebut juga tamtam) dan kecrek di toko alat musik kawasan Cihideung. Piano dan gitar sudah tersedia.

Kami makin semangat berlatih ketika ditawari untuk manggung pada acara kenaikan kelas. Ada dua lagu -salah satunya dari grup Soneta (Rhoma Irama)- yang kami pilih untuk dibawakan pada acara tersebut. Supaya lebih keren, grup musik ini tentu harus punya nama. Maka disepakatilah nama “Kelana Nada”. Selain tampil pada acara sekolah, kami juga sempat manggung pada sebuah acara di kampung.

Ketika kami menginjak kelas VI pada 1978, ada kebijakan pemerintah yang mengubah awal tahun ajaran baru, yang semula pada bulan Januari menjadi bulan Juli. Berdasarkan UU No. 0211/U/1978 tahun ajaran baru dimulai pada bulan Juli dan berakhir pada bulan Juni. Dengan demikian, kami harus menambah masa belajar selama enam bulan atau kami tua setengah tahun di sekolah dasar. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ketika itu Daoed Joesoef.

***

Tulisan sebelumnya: Catatan Biasa Orang Biasa [7] Balada Pemilu, Kepala Bocor dan Tercebur Sumur