Catatan Biasa Orang Biasa [7] Balada Pemilu, Kepala Bocor dan Tercebur Sumur

Mamah membawa kembali kami ke jamban belakang rumah, kemudian melanjutkan membasuh tubuh saya dan adik yang masih berlumur sabun.

Sabtu, 3 Oktober 2020 | 19:28 WIB
0
195
Catatan Biasa Orang Biasa [7] Balada Pemilu, Kepala Bocor dan Tercebur Sumur
Presiden Soeharto dan Pemilu 1971 (Foto: liputan6.com)

Pemilu 1971 adalah persentuhan pertama kalinya saya dengan dunia politik. Dalam keceriaan kanak-kanak, saya mengikuti kegiatan Bapa. Tapi Aktivitasnya tidak sebagai juru kampanye partai politik, melainkan sebagai panitia pemilu tingkat desa. Saya ingat, waktu itu ikut Bapa naik delman keliling ke beberapa kampung mengajak masyarakat memberikan hak pilihnya di hari pencoblosan.

Dengan pengeras suara merek “Toa” yang dipinjam dari masjid, Bapa berteriak-teriak menjelaskan hal ihwal pemilu. Tentu saja sambil membagikan selebaran dan contoh gambar peserta pemilu. Tapi belum jauh perjalanan, hujan turun lebat. Kami (saya, Bapa, kusir delman, dan seorang lainnya) basah kuyup. Kami pulang sebelum pekerjaan tuntas.

Saat itu saya belum mahir membaca. Tapi sudah bisa menerka-nerka jumlah. Selebaran tersebut menunjukkan adanya 10 tanda gambar peserta pemilu. Namun demikian, bagi saya peristiwa politik tahun 1971 itu tidaklah luar biasa. Ada yang lebih membekas pada fisik dan ingatan saya. Yaitu luka di kepala, tepatnya di dahi sebelah kanan. “Peristiwa berdarah-darah” itu bukan akibat tawuran antar-pendukung parpol, melainkan tertumbuk batu ketika sedang main “rorodaan” dengan kakak saya, Entis S Sind.

Rorodaan adalah gerobak kecil buatan Bapa untuk mengangkut barang, tapi juga bisa dijadikan mainan. Di bagian depan kiri-kanan terdapat kayu memanjang sebagai penarik atau pendorong. Pada hari “H” pemilu itu saya bergantian dengan kakak menjadi penarik dan penumpang rorodaan. Saat giliran saya jadi penumpang dan rorodaan tengah melaju, saya merunduk ke bagian depan rorodaan terlalu rendah dan “bruuk…” kepala menumbuk batu jalanan.

Pening kepala dan sakit rasanya. Saya menangis kencang dan kakak panik melihat darah mengucur. Sementara Bapa dan Mamah sedang berada di tempat pemungutan suara (TPS) di kampung sebelah. Entah siapa yang memberi tahu, tidak lama kemudian Mamah pulang dan menangani luka saya. Setelah diberi obat merah, kemudian dipasangi kapas dan perban. Beberapa hari saya meringkuk saja di rumah.

Kelak, belasan tahun kemudian, luka di dahi kanan itu ada temannya di pelipis kiri. Luka tersebut akibat kecelakaan di jalan saat naik Vespa sepulang sekolah (SMA), tidak jauh dari Terminal Pancasila. Sebuah sepeda motor tiba-tiba datang dari gang sebelah kiri jalan, langsung menabrak kendaraan saya. Setelah terjatuh ke aspal, saya tidak ingat apa-apa lagi.

Itulah untuk pertama kalinya saya mengalami pingsan. Katanya, saya diangkut orang ke Rumah Sakit Umum Daerah Tasikmalaya dan dikira sudah sudah tidak bernyawa. Ketika siuman, saya kaget karena berada di sebuah ruangan yang serba putih.

“Inikah yang namanya kematian?” pikiran itu yang pertama kali melintas. Dugaan itu segera terbantahkan ketika seorang suster menyapa dan menanyakan identitas. Lalu saya bertanya, “Ari motor abdi di mana?” Pertanyaan yang tidak bisa dijawab suster.

Saya pulang naik becak sendirian, dengan pelipis kiri diperban dan baju seragam sekolah yang terkena percikan darah. Sekitar 3 km tukang becak itu mengayuh pedal untuk sampai ke rumah saya. Sesampainya di tujuan, saya masuk rumah untuk mengambil uang ongkos becak. Tapi begitu keluar lagi, tukang becaknya sudah tidak ada. Beberapa hari kemudian saya cari di tempat becak mangkal di depan RSUD Tasik, juga tidak menemukannnya.

Tercebur Sumur?

Pada tahun-tahun awal masuk SD, ada peristiwa yang membuat geger warga kampung. Siang hari itu, saya bersama beberapa teman mandi di jamban umum pinggir jalan. Usai mandi, saya iseng mengangkat batu sebesar kepala anak-anak lalu dilemparkan ke dalam sumur yang menimbulkan bunyi “blung….”.

Mamah kemudian membawa saya dan Eda Suwardaya Sind ke jamban yang lain di belakang rumah untuk mandi yang lebih serius, pakai sabun. Saat itulah terdengar teriakan warga yang menyebut saya tercebur sumur berulang-ulang. Mamah kaget, kemudian mengangkat kami berdua dan membawa ke arah kerumunan warga. Mereka sedang mengelilingi sumur itu. Bapa basah kuyup masih dengan pakaian lengkap sepulang mengajar. Mungkin sehabis menyelam tanpa hasil.

Mamah berteriak memberi tahu keberadaan saya yang baik-baik saja. Semua menengok dengan wajah keheranan.

“Alhamdulillah…geuning salamet budak teh,” kata beberapa warga. Bapa hanya geleng-geleng kepala sembari “seuri koneng”. Rupanya, ketika terdengar bunyi “blung…” itu, ada yang menduga saya masuk sumur. Apalagi saya tidak terlihat di antara anak-anak lain yang pulang setelah mandi bersama di jamban umum itu.

Kerumunan pun bubar, diiringin dengan tawa warga yang menyebut nama saya. Mamah membawa kembali kami ke jamban belakang rumah, kemudian melanjutkan membasuh tubuh saya dan adik yang masih berlumur sabun. Entah siapa yang menyebar hoaks tentang tercebur sumur tersebut. Aya-aya wae.

***

Tulisan  sebelumnya: Cerita Biasa Orang Biasa [6] Dahana Meledak, Kambing Digendong