Sendiri di Dunia dan Sebatang Kara

Buku selalu mempesona. Dan selalu seolah mengingatkan, betapa sendiri di dunia dan sebatang kara itu, meski bukan nobody’s boy!

Sabtu, 13 Maret 2021 | 06:02 WIB
0
314
Sendiri di Dunia dan Sebatang Kara
Hector Malot (Foto: babelio.com)

Remi, seorang anak pungut usia 8 tahun, dalam novel Hector Malot, pernah begitu berpengaruh pada masa kanak saya. Saya membaca buku tebal yang sudah tak bersampul, karena kakak saya dulu mendapatkannya di pasar loak. Dan memang dia membelikannya untuk saya.

Novel Perancis (judul aseli Sans Famillie) itu, diterjemahkan oleh Abdoel Muis (dari versi bahasa Inggris berjudul Nobody’s Boy), diterbitkan oleh Balai Pustaka. Saya katakan sangat berpengaruh, karena gaya penuturannya berdasar sudut pandang aku Remi.

Abdoel Muis menjudulinya ‘Sendiri di Dunia’ (yang kemudian dalam penerbitan kembali tahun 80-an, judulnya diubah menjadi ‘Sebatang Kara’). Remi memang seolah hidup sendiri di dunia. Ketika bayi, ia diculik dan ditinggalkan begitu saja, di sebuah jalanan Paris. Kemudian Remi dipungut seorang pemotong batu yang miskin. Kemudian dijual pada pemusik jalanan.

Dari sana dimulailah petualangan Remi. Berkelana bersama rombongan pertunjukan, dengan beberapa ekor anjing dan kera. Remi belajar musik dari pemusik jalanan yang dianggapnya sebagai pengganti sosok orangtuanya.
Dalam perjalanannya, Remi bertemu tokoh-tokoh lainnya secara bertahap. Penggambaran karakter masing-masing tokoh sangat kuat meliputi penggambaran pakaian, mimik, ekspresi dan saling diperkuat dengan dialog-dialog tokoh lainnya.

Kisah novel ini mengajarkan tentang sepak-terjang kehidupan yang kejam. Novel ini mengajarkan tentang perjuangan hidup, yang bisa dijadikan sebagai motivasi bahwa kita tidak boleh menyerah. Bahwa semua masalah pasti memiliki jalan keluarnya masing-masing. Bahwa hasil tidak akan mengkhianati semua usaha keras.

Cerita Remi itu sangat mencekam saya. Sampai suatu ketika, saya ketemu dengan cetakan baru buku tersebut. Dengan judul ‘Sebatang Kara” oleh penerbit yang sama. Saya membelinya dan menghadiahkannya untuk anak lelaki saya. Tapi kayaknya dia enggan membacanya. Karena dalam waktu sekitar 2 jam, ia sudah tuntas menikmati petualangan Remi lewat film kartun Jepang, yang mengadaptasi cerita tersebut.

Sementara buku tersebut cukup tebal, membutuhkan waktu lebih lama untuk menikmatinya tuntas. Dunia berubah.

Novel itu kemudian diterbitkan ulang oleh Gramedia (2010), dengan menyodorkan judul aseli di cover buku, Nobofy’s Boy’ dengan sub-judul Sebatang Kara (penerjemah berbeda, bukan oleh Abdoel Mouis tapi Tanti Lesmana). Saya tidak tahu, apakah anak sekarang, di jaman gadget, membaca buku itu.

Hampir mirip dengan ‘Sendiri di Dunia’, masa kanak saya juga sangat dipengaruhi buku ‘Si Doel Anak Betawi’ karangan Aman Datoek Modjoindo (Balai Pustaka). Terutama dalam episode libur sekolah setiap bulan Ramadhan. Setiap bulan Ramadhan dulu, sekolah selalu libur full sebulan. Kesempatan itu selalu saya pakai untuk liburan dan hidup di desa. Ayah menitipkan saya pada saudaranya yang tinggal di desa. Itu sangat mengesankan.

Meskipun ketika menginjak SMP, dua buku tersebut terasa romantik. Apalagi ketika saya membaca cerpen ‘Ia Sudah Bertualang’ karya Rendra. Bukan pada petualangannya, tetapi cerpen itu membuat saya berani menulis, membayangkan bagaimana Remi dan Si Doel dalam bayangan saya. Dengan tokoh rekaan yang berebda tentu.

Remi selalu mengingatkan, tentang perjalanan mencari ibu kandungnya, ibu sejatinya. Ketika usia sekarang ini, saya sadar dan mungkin baru memahami, begitu banyak terjemahan dari frasa ‘ibu kandung’ nan sejati itu. Sementara, saya merasa hidup di dua dunia, seperti Si Doel yang kesehariannya di kota besar Betawi, tetapi sesekali menghirup udara desa.

Buku selalu mempesona. Dan selalu seolah mengingatkan, betapa sendiri di dunia dan sebatang kara itu, meski bukan nobody’s boy!

@sunardianwirodono

***