Buku selalu mempesona. Dan selalu seolah mengingatkan, betapa sendiri di dunia dan sebatang kara itu, meski bukan nobody’s boy!
Remi, seorang anak pungut usia 8 tahun, dalam novel Hector Malot, pernah begitu berpengaruh pada masa kanak saya. Saya membaca buku tebal yang sudah tak bersampul, karena kakak saya dulu mendapatkannya di pasar loak. Dan memang dia membelikannya untuk saya.
Novel Perancis (judul aseli Sans Famillie) itu, diterjemahkan oleh Abdoel Muis (dari versi bahasa Inggris berjudul Nobody’s Boy), diterbitkan oleh Balai Pustaka. Saya katakan sangat berpengaruh, karena gaya penuturannya berdasar sudut pandang aku Remi.
Abdoel Muis menjudulinya ‘Sendiri di Dunia’ (yang kemudian dalam penerbitan kembali tahun 80-an, judulnya diubah menjadi ‘Sebatang Kara’). Remi memang seolah hidup sendiri di dunia. Ketika bayi, ia diculik dan ditinggalkan begitu saja, di sebuah jalanan Paris. Kemudian Remi dipungut seorang pemotong batu yang miskin. Kemudian dijual pada pemusik jalanan.
Dari sana dimulailah petualangan Remi. Berkelana bersama rombongan pertunjukan, dengan beberapa ekor anjing dan kera. Remi belajar musik dari pemusik jalanan yang dianggapnya sebagai pengganti sosok orangtuanya.
Dalam perjalanannya, Remi bertemu tokoh-tokoh lainnya secara bertahap. Penggambaran karakter masing-masing tokoh sangat kuat meliputi penggambaran pakaian, mimik, ekspresi dan saling diperkuat dengan dialog-dialog tokoh lainnya.
Kisah novel ini mengajarkan tentang sepak-terjang kehidupan yang kejam. Novel ini mengajarkan tentang perjuangan hidup, yang bisa dijadikan sebagai motivasi bahwa kita tidak boleh menyerah. Bahwa semua masalah pasti memiliki jalan keluarnya masing-masing. Bahwa hasil tidak akan mengkhianati semua usaha keras.
Cerita Remi itu sangat mencekam saya. Sampai suatu ketika, saya ketemu dengan cetakan baru buku tersebut. Dengan judul ‘Sebatang Kara” oleh penerbit yang sama. Saya membelinya dan menghadiahkannya untuk anak lelaki saya. Tapi kayaknya dia enggan membacanya. Karena dalam waktu sekitar 2 jam, ia sudah tuntas menikmati petualangan Remi lewat film kartun Jepang, yang mengadaptasi cerita tersebut.
Sementara buku tersebut cukup tebal, membutuhkan waktu lebih lama untuk menikmatinya tuntas. Dunia berubah.
Novel itu kemudian diterbitkan ulang oleh Gramedia (2010), dengan menyodorkan judul aseli di cover buku, Nobofy’s Boy’ dengan sub-judul Sebatang Kara (penerjemah berbeda, bukan oleh Abdoel Mouis tapi Tanti Lesmana). Saya tidak tahu, apakah anak sekarang, di jaman gadget, membaca buku itu.
Hampir mirip dengan ‘Sendiri di Dunia’, masa kanak saya juga sangat dipengaruhi buku ‘Si Doel Anak Betawi’ karangan Aman Datoek Modjoindo (Balai Pustaka). Terutama dalam episode libur sekolah setiap bulan Ramadhan. Setiap bulan Ramadhan dulu, sekolah selalu libur full sebulan. Kesempatan itu selalu saya pakai untuk liburan dan hidup di desa. Ayah menitipkan saya pada saudaranya yang tinggal di desa. Itu sangat mengesankan.
Meskipun ketika menginjak SMP, dua buku tersebut terasa romantik. Apalagi ketika saya membaca cerpen ‘Ia Sudah Bertualang’ karya Rendra. Bukan pada petualangannya, tetapi cerpen itu membuat saya berani menulis, membayangkan bagaimana Remi dan Si Doel dalam bayangan saya. Dengan tokoh rekaan yang berebda tentu.
Remi selalu mengingatkan, tentang perjalanan mencari ibu kandungnya, ibu sejatinya. Ketika usia sekarang ini, saya sadar dan mungkin baru memahami, begitu banyak terjemahan dari frasa ‘ibu kandung’ nan sejati itu. Sementara, saya merasa hidup di dua dunia, seperti Si Doel yang kesehariannya di kota besar Betawi, tetapi sesekali menghirup udara desa.
Buku selalu mempesona. Dan selalu seolah mengingatkan, betapa sendiri di dunia dan sebatang kara itu, meski bukan nobody’s boy!
@sunardianwirodono
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews