Bahan Makanan dan Makanan Terbuang (3)

Pengelolaan dan pemanfaatan sampah dengan benar, adalah salah satu pintu gerbang perbaikan kesejahteraan masyarakat, karena dampak positifnya sangat banyak.

Jumat, 14 Agustus 2020 | 08:39 WIB
0
193
Bahan Makanan dan Makanan Terbuang (3)
Makanan terbuang (Foto: Kompasiana.com)

Bahan makanan dan makanan yang dibuang, dan membusuk akan menghasilkan gas Methana dan Karbon Dioksida. Gas Methana yang dihasilkan dari fermentasi makanan yang membusuk, jumlahnya mencapai 10% dari gas methana yang ada di udara. Jumlah tambahan Gas Rumah Kaca (GRK) tersebut kurang lebih sama dengan volume emisi gas buang kendaraan bermotor.

Bahkan, emisi gas methana dan karbon dioksida dari pembusukan makanan yang dibuang sudah mencapai 6,7%, lebih besar dari total emisi gas buang yang dihasilkan India yang hanya 6,4%. Peningkatan emisi gas buang tentu saja membawa dampak negatif bagi kehidupan mahluk hidup, khususnya manusia.

Tambahan gas methana dan karbon dioksidaitu yang termasuk gas rumah kaca akan mempercepat peningkatan suhu udara (global warming). Peningkatan suhu udara, akan menstimulus tumbuhnya berbagai jenis bakteri dan virus, sehingga meningkatkan ancaman berbagai jenis penyakit terhadap kesehatan mahluk hidup.

Selain itu, dalam jangka waktu lama mempercepat perusakan lapisan Ozon. Jadi, tindakan tidak terpuji membuang makanan oleh sebagian masyarakat di negara-negara maju, akibat ekologisnya dialami oleh seluruh umat manusia.

Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sampah belum ditangani sebagaimana mestinya. Di Indonesia misalnya, persoalan sampah sangat kompleks. Mulai dari sikap dan perlakuan masyarakat terhadap sampah yang masih jauh dari budaya maju, hingga tidak adanya sistem pengelolaan dan pengolahan sampah yang memadai.

Lebih buruk lagi, perlakuan yang lumrah dilakukan oleh masyarakat adalah membakarnya dan membuangnya ke sungai. Hanya sebagian kecil saja sampah yang dikubur atau dibuang ke tempat sampah, untuk kemudian diangkut ke tempat pembuangan akhir (TPA).

Padahal, pengelolaan dan pemanfaatan sampah dengan benar, adalah salah satu pintu gerbang perbaikan kesejahteraan masyarakat, karena dampak positifnya sangat banyak.
Jakarta, setiap hari menghasilkan rata-rata 7000 ton sampah organik dan inorganik dalam keadaan tercampur.

Ini menunjukkan belum adanya kesadaran masyarakat untuk memilah dan memisahkan sampah organik dan inorganik. Kalaupun di Jakarta sudah ada instalasi pengolahan sampah dengan kapasitas yang memadai, akan sulit dan tidak ekonomis untuk dikelola, jika sampah sudah tercampur. Apalagi jika sampah organik sudah membusuk di tempat-tempat pembuangan sampah, sebelum diangkut truk ke TPA.

Semestinya, sampah organik bisa diolah menjadi kompos dan menghasilkan biogas, sedangkan sampah inorganik bisa didaur ulang. Karena sampah sudah bercampur, dan tidak ada instalasi untuk mengolahnya, maka sebagian besar sampah dibuang ke TPA.

Di Indonesia, TPA di kota manapun adalah gunung sampah yang kian tinggi dan besar. Beberapa ekskavator yang dioperasikan hanya untuk menggeser-geser timbunan sampah, agar gas methana yang dihasilkan dari pembusukan sampah organik tidak terakumulasi dan meledak seperti yang terjadi di TPA Leuwi Gajah, Bandung 21 Februari 2005 hingga menimbulkan banyak korban jiwa.

Artinya, penambahan emisi gas buang berupa gas Methana dan Karbon Dioksida juga terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia, yang sebagian di antaranya adalah makanan yang dibuang dan membusuk, dan dari sampah organik yang tidak dikelola dengan baik. (Tamat)

***

Tulisan sebelumnya: Bahan Makanan dan Makanan Terbuang (2)