Politik Wabah

Anggap saja omelan ini sebagai sumbangan pemikiran dari warga perantauan yang tetap akan selalu mencintai Indonesia.

Selasa, 31 Maret 2020 | 13:05 WIB
0
359
Politik Wabah
Penanganan virus corona (Foto: BBC.com)

Sebetulnya saya bukan orang yang terlalu peduli dengan masalah politik. Berkali-kali saya melewati masa Pemilu sebagai golput. Hanya sekali di era Orde Baru, dan dua Pemilu terakhir saya memutuskan untuk menggunakan hak pilih. Penjelasan singkatnya, saya ingin berikhtiar sebagai oposisi rejim yang sekarang.

Era media sosial juga membuat saya -dan banyak kalangan yang awalnya apatis- menjadi lebih melek politik. Politik bukan lagi domain eksklusif para politisi, pejabat, atau aktivis.

Saya yakin pemahaman kita semakin terbuka, bahwa hampir tak ada sisi kehidupan bermasyarakat yang tidak tersentuh oleh politik. Di negara demokrasi paling liberal pun, kita tak bisa berbuat seenaknya. Kita bebas, asalkan kebebasan kita tidak melanggar hak / kebebasan orang lain.

Dalam masa wabah covid-19 ini politik juga memainkan peranan penting. Sangat penting. Bagaimana pemerintah bertindak mengatasi krisis di negaranya, akan sangat berpengaruh pada kelangsungan hidup segenap lapisan masyarakat. Entah apa yang terjadi di balik kokohnya gedung istana; yang jelas saya yakin bahwa pemerintah pasti saling membandingkan praktik penanganan wabah di negara lain. Apakah sesuai untuk dijalankan di negara sendiri. Dengan mempertimbangkan kemampuan/ kekuatan negara, juga keadaan masyarakat setempat.

Sebagai perantau, saya sulit untuk tidak membandingkan praktik penanganan wabah covid-19 di negara tempat tinggal saya sekarang, dengan di tanah air. Percayalah, naluri membandingkan itu pasti muncul begitu saja.

Karena bagaimanapun orang-orang seperti kami ini masih punya orangtua, saudara, kerabat, teman-teman, yang sebagian besar tinggal di Indonesia. Kami khawatir tentang tanah air tercinta.

Maka saya heran dengan perantau maupun bukan perantau, yang memakai kaca mata kuda dalam melihat bagaimana pemerintah di tanah kelahirannya mengatasi krisis ini. Lalu begitu saja memberi pemakluman kalau ada kekurangan/ kelambanan/ ketidakmampuan pemerintah mengurus negara dan menjamin keselamatan rakyatnya. "Ya sudah, yang penting pemerintah sudah berbuat maksimal. Rakyatnya kok, yang memang ngeyel dan nggak mau diatur." Titik. Itu sikap yang picik sekali menurut saya.

Justru dengan banyak baca, berkaca, paham dari pemerintah negara di sana-sini mengatasi koronavirus, bagaimana kelabakannya mereka, bagaimana berhasil atau gagalnya mereka, kita justru bisa belajar.

Jujur, di Norwegia ini saya sekeluarga masih bisa merasa cukup tenang. Meski jumlah kasus positif terus mengalami kenaikan (4200-an kasus positif, 25 meninggal, 7 sembuh per 29/03), namun rasa aman dan terlindungi itu ada. Kami yakin bahwa para pemangku kebijakan di negara ini melakukan yang terbaik untuk kami. Jaminan dan stimulus ekonomi bukan hanya diberikan untuk para pekerja tetap, tapi juga pekerja lepas, orang magang, sampai wiraswasta, orang-orang yang terpaksa di-PHK, sampai orang miskin.

Tidak ada pihak yang mendapat perlakuan lebih istimewa. Untuk masalah perlindungan dan jaminan ekonomi di masa krisis ini, seluruh rakyat akan dilindungi penghidupannya oleh negara, tanpa kecuali. Keselamatan rakyat jadi prioritas. Ekonomi yang melambat akan bisa diperbaiki. Semua akan berjalan normal lagi pada waktunya. Namun nyawa manusia yang tidak terselamatkan tidak bisa dihidupkan lagi.

Karena pemerintah memang mampu, maka mereka berani mengambil sikap tegas. Peraturan dan sanksi bagi pelanggarnya juga disiapkan. Uangnya betul-betul ada, bukan hanya klaim yang menyesatkan seperti "data sekian belas ribu triliun ada di kantung saya".

Saya perhatikan, di banyak negara maju di Eropa pun seperti itu. Pemerintah bergerak relatif cepat dan taktis. Kebijakan pemerintah didukung oleh semua elemen, termasuk para oposan. Sekarang bukan waktunya bertengkar atau saling iri siapa yang mencuri panggung. Semua bersatu. Rakyat mendukung. Masyarakat saling membantu menguatkan.

Diperintah untuk #lockdown, #physicaldistancing, #karantinawilayah, atau apalah itu istilahnya, ya pada nurut semua. Karena rakyat percaya bahwa pemerintah tahu apa yang akan dilakukan. Pemerintah mereka mungkin sedikit lamban, tapi tidak bingung sendiri seperti rusa tersesat di kota.

Sayangnya, berita-berita yang saya baca dan tonton mengenai tanah air, justru membuat hati masygul. Mungkin rakyat kita memang ngeyelan. Mungkin masih banyak yang tingkat pemahaman tentang wabah ini belum baik. Namun jangan enteng begitu saja menyalahkan mereka.

Masih banyak sekali kalangan masyarakat yang tidak punya pilihan #stayathome seperti kita yang masih bisa bebas rebahan kapan saja tanpa khawatir kelaparan.

Orang-orang yang terpaksa dirumahkan, lalu memilih pulang kampung karena tak bisa melanjutkan hidup di ibukota, apakah salah juga? Buat mereka nggak ada pilihan #dirumahaja. Daripada mati sendiri di ibukota, lebih baik mati di kampung dikelilingi keluarga besar.

Kalau saja kesejahteraan mereka ada yang menjamin selama masa sulit ini, tentu mereka akan bertahan, nggak rame-rame mudik seperti sekarang. Siapa yang seharusnya menjamin kehidupan mereka? Ya negara!

Percuma pemerintah bolak-balik ngomong jaga jarak sosial, menyuruh orang di rumah saja, sementara kalangan usaha masih belum kompak menutup sementara usaha. Kalau mereka tutup, pada mau makan apa? Tidak adanya kebijakan tegas soal lockdown atau karantina wilayah (bahasa para politisi ini mbulet dan susah dipahami), membuat orang jadi bertindak sendiri-sendiri.

Pemerintah tak tau harus mengambil sikap apa. Tak bisa tegas karena memang tak mampu. Sementara kondisi semakin tidak terkendali. Tanpa lockdown pun, keadaan ekonomi sudah makin morat-marit.

Jumlah kasus terus meningkat, sementara keselamatan para tenaga kesehatan pun tidak dijamin negara. Saya tidak menyalahkan kalau para pejuang garda depan itu protes dan mengancam mogok melayani. Mereka juga perlu memikirkan keselamatan diri. Mereka juga punya keluarga.

Kita semua harus mengakui. Kinerja pemerintahan Pak Jokowi sangat amat buruk. Bukan hanya para menterinya, kepala para menteri pun seharusnya tidak sibuk terus melakukan pencitraan. Di saat pemerintahan negara lain dengan sigap merombak anggaran negara, pemerintahan ini justru sibuk mengumumkan bahwa proyek pembangunan ibukota baru jalan terus. Sense of priority yang salah kaprah di tengah masa krisis, untuk negara sebesar Indonesia.

Tak perlu tanya, saya ngomel-ngomel politik wabah begini, memang sudah berbuat apa untuk negara? Kalau yang dimaksud adalah materi, saya sudah berbuat, sesuai kemampuan saya. Dan itu tidak perlu saya jabarkan. Saya juga tak punya kapasitas mengelola negara, karena itu saya nggak nyalon jadi wakil rakyat atau presiden. Namun kalau setelah sekian periode, pemerintah semakin membuktikan ketidakbecusannya, apakah rakyat tidak boleh gundah atau menyuarakan kekecewaan?

Anggap saja omelan ini sebagai sumbangan pemikiran dari warga perantauan yang tetap akan selalu mencintai Indonesia.

Sumbangan pemikiran tak selalu harus dirangkai berbunga-bunga. Karena keadaan dunia saat ini memang sedang tidak terlalu indah meski di musim semi. Banyak hikmah yang bisa kita ambil dari wabah covid-19. Di antaranya, jangan asal memilih pemimpin.

Teriring doa keselamatan untuk Indonesia tanah air beta. Tetap jaga kesehatan, teman-teman. Kita lindungi diri kita untuk melindungi orang lain. Semoga wabah ini segera berlalu.

Haugesund, 29/03/2020

***