Asal Muasal Kompas [12] Dilarang Pasang Iklan Besar

Pemasangan iklan di Kompas memang sangat efektif karena jumlah oplahnya paling besar. Hal ini sering disampaikan pemasang iklan lowongan kerja.

Selasa, 28 Mei 2019 | 20:47 WIB
0
736
Asal Muasal Kompas [12] Dilarang Pasang Iklan Besar
Harian Kompas (Foto: Kompas.id)

Jumlah pemasang iklan yang meluber sementara pemerintah membatasi jumlah halaman koran dan juga persentase iklan, menjadikan konflik bagian iklan dengan redaksi semakin sering terjadi. Redaksi membutuhkan ruang untuk mengejar aktualitas berita, bagian Iklan membutuhkannya untuk memenuhi janji kepada para pemasang iklan. Dan karena kata akhir sebelum koran dicetak di tangan redaksi, bagian iklan tak berdaya. Itu terjadi pada era 1970an.

Dua kebijakan “aneh” terpaksa diambil Jopie untuk membendung pemasang iklan. Pertama, iklan yang besarnya melebihi seperempat halaman dikenakan tarif tiga kali lipat dengan alasan pemasang tersebut sudah merebut kesempatan orang lain. Kedua, jadwal pemasangan iklan dibuat mengambang, artinya kapan dimuat tidak dipastikan. Begitu ada ruang, iklan akan dipasang.

Kemudian hari ditambah dengan ketentuan produk rokok dan minuman keras tidak bisa diterima. Latar belakang ketentuan ini selain karena Pak Ojong mau menerapkan ketentuan di negara maju, juga karena jenis iklan tersebut selalu memasang dalam ukuran besar tanpa peduli berapa harganya.

Walaupun sudah dilakukan pembatasan, calon pemasang iklan tetap saja antre. Bahkan ada beberapa pengusaha yang merelakan diskon 20 persen asalkan iklannya dimuat Kompas. Ini memang godaan yang menggiurkan bagi karyawan bagian iklan. Beberapa karyawan berguguran karena tak kuat dengan godaan ini.

Bentuk pelanggaran yang umumnya mereka lakukan ialah “mencegat” pemasang iklan agar tidak memasang langsung ke Kompas tetapi menyalurkan ke biro-biro iklan yang sudah “pesan tempat”. Untuk itu pemasang iklan mendapat diskon 10 persen dan karyawan tersebut mendapatkan sisa diskonnya.

**

Daisy Taniredja yang menggantikan Jopie tahun 1977 memasuki eranya dengan menertibkan pemasangan iklan di Kompas. Pemuatan dibuat dengan jadwal ketat tanpa kompromi. Pemasang iklan diuntungkan karena ada kepastian sehingga mereka bisa menindaklanjuti promosinya.

Sisi lain, aturan begitu ketat sehingga perubahan-perubahan iklan sulit dilakukan padahal ide iklan yang dibuat para pendesain biro iklan begitu dinamis. Konflik bagian iklan dengan para pemasangnya terutama biro-biro iklan, tetap saja terjadi. Kalau dulu karena ketidakjelasan kapan akan dimuat, kini jadwal jelas namun tidak ada ruang untuk mengubah.

Baca Juga: Asal Muasal Kompas [1] Pintu Besar Selatan

Begitu ketat ketentuan yang dipegang saat itu sehingga dalam suatu masa pernah Kompas tidak menerima pembayaran dengan cek dari klien yang digolongkan “nakal”. Keputusan ini diambil karena saat itu banyak pembayaran dilakukan dengan cek kosong, tanpa dana. Para pemasang iklan yang masuk dalam kelompok tersebut terpaksa membawa uang tunai jika menghendaki iklannya dimuat esok hari. Mereka membawa tas-tas besar berisi uang ke bagian iklan di Jalan Gajah Mada.

Menurut Daisy, ketentuan pembayaran saat itu harus diperketat karena banyaknya pemasang iklan yang nakal. Mereka membayar dengan cek namun ketika jatuh tempo ternyata ceknya tanpa dana. Ketentuan harus bayar dua hari di muka ia jalankan dengan ketat sehingga mereka mau tidak mau harus memenuhi ketentuan tersebut jika materinya ingin dimuat. Itulah sebabnya pada hari pembayaran mereka harus membayar secara tunai.

Kenakalan lain dari pemasang iklan: mereka enggan membayar setelah dimuat. Ini terutama dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang punya akses ke penguasa. Karena Daisy taat asas, seringkali mereka mencantumkan nama perusahaan di bawah iklannya kemudian minta agar Kompas menagih ke perusahaan tersebut. Ada pula yang mengirimkan orang untuk memaksakan kehendaknya dengan memaki bahkan melemparkan pisau di meja Daisy agar iklannya esok dimuat.

Ketegaran Daisy menjalankan ketentuan diberlakukan juga terhadap perusahaan dalam grup KKG. Begitu mereka terlambat menyerahkan materi iklan, tempatnya langsung diberikan kepada pemasang iklan lain. Sikap tegasnya itu membuat Daisy dikenal “kejam” di lingkungan biro iklan maupun intern KKG.

Keterbatasan halaman membuat antrean pemuatan iklan bisa dua minggu lamanya. Dalam keadaan seperti ini banyak pemasang iklan (terutama biro iklan) yang memesan tempat lebih dahulu kemudian baru mencari calon pemasangnya, persis calo tiket kereta atau pesawat terbang.

Akibatnya ketika waktu penyerahan materi iklan tiba, mereka tidak bisa memenuhinya, artinya membatalkan pesanannya. Untuk mengatasi masalah ini, bagian iklan menyediakan iklan-iklan cadangan. Iklan jenis ini tidak menggunakan jadwal pemuatan, begitu ada tempat langsung dimuat.

Dampak ikutannya, banyak pemasang iklan yang mencoba main suap supaya status cadangannya bisa diubah menjadi pasti. Freddy Tjie (masuk th 1968) yang sering berhubungan dengan klien, sering menyerahkan cek-cek suapan kepada Daisy. Cek diterima tapi tak pernah diuangkan dan iklannya pun tetap dimuat sesuai urutannya.

***

Ketika Kompas memasuki zaman reformasi tahun 1998 di mana pembatasan halaman maupun volume iklan bahkan izin terbit koran tidak ada lagi maka bentuk tantangannya pun berbeda. Kini bagian iklan bisa mencari iklan sebanyak-banyaknya asal tidak melebihi separo jumlah halaman yang akan diterbitkan. Jika lebih maka jumlah halaman pun tinggal ditambah.

Masalahnya sekarang, bagaimana bisa mendapatkan iklan dalam volume minimal yang telah ditetapkan, misalnya untuk tahun 2004 minimal koran terbit 36 halaman. Ini perlu dipenuhi karena Redaksi sudah membuat rubrik-rubrik tetap yang harus diterbitkan sesuai jadwalnya.

Persaingan media cetak sebagai dampak ketiadaan izin terbit serta semakin banyaknya stasiun televisi swasta, membuat persaingan merebut budget iklan semakin ketat. Situasi ini sedikit banyak mempengaruhi sikap bagian redaksi terhadap pemasangan iklan.

Jika dulu bagian redaksi dan iklan tak mungkin bisa duduk berunding dalam satu meja, kini mereka secara rutin berunding bagaimana bisa bersama-sama meningkatkan perolehan iklan, dan saling mengingatkan kode etik masing-masing. Hasilnya, pada pergantian abad 21, tepatnya tanggal 02 Januari 2000 Kompas terbit setebal 100 halaman.

Bagi beberapa wartawan Kompas yang idealis, keadaan ini dinilai melemahkan misi koran artinya redaksi mengisi halaman sesuai permintaan iklan sehingga cenderung menurunkan kualitas isi. “Kompas sekarang didikte iklan!” begitu seorang wartawan senior berpendapat.

Bagi Redaksi, tantangan kini memang bergeser: bagaimana mengisi banyak halaman sesuai permintaan iklan dengan tulisan atau berita yang tetap berbobot.

Setiap zaman memang mempunyai tantangan.

***

Pengelolaan iklan Kompas tidak luput dari peristiwa yang lucu dan menjengkelkan. Benny Tedjasendjaja, pimpinan bagian iklan yang pertama, menceritakan pengalaman lucunya.

Suatu hari pada tahun 1967 Kompas memuat sebuah iklan kolom berisi ucapan selamat berlibur kepada seorang nyonya, istri direktur sebuah bank di Bandung. Pemberi ucapan selamat tersebut menuliskan nama: Jang Di Tjia. Jika dilihat sepintas, tak ada yang aneh dengan iklan tersebut.

Benny Tedjasendjaja, penanggung jawab bagian iklan Kompas, ketika itu sedang berada di Bandung. Ia dipanggil Pak Tjetje, pemilik PT Balai Iklan, dan ditanya bagaimana iklan semacam itu bisa termuat. Benny tak mengerti arah pertanyaan tersebut sebab ia menganggap iklan itu biasa saja.

“Tahukah kamu apa arti nama itu?” kata Tjetje dan barulah Benny sadar bahwa pastilah ada sesuatu di balik iklan tersebut. Dalam bahasa Indonesia, Jang Di Tjia, artinya “yang dimakan”. Ternyata iklan tersebut merupakan bentuk protes seseorang terhadap pemilik bank yang meliburkan keluarganya ke luar negeri sementara utangnya tidak diselesaikan.

Kali lain muncul iklan ucapan selamat menikah, Benny lupa nama-namanya. Namun kemudian diketahui, pasangan yang menikah tersebut adalah antartetangga dan pemasang iklannya adalah suami “pengantin” wanita. Rupanya sang istri “ada main” dengan tetangganya itu. Jadi sebagai protes atas hubungan gelap tersebut sang suami memasang iklan tersebut.

Baca Juga: Asal Muasal Kompas [5] Dua Sosok Satu Jiwa

Pernah juga muncul iklan dukacita atas meninggalnya seseorang. Pemasangnya menamakan diri Djurig Tjikadut. Iklan tersebut diprotes karena “almarhum” yang dicantumkan dalam iklan itu ternyata masih sehat walafiat. Di sini petugas iklan tidak jeli melihat kejanggalan teks tersebut. Seharusnya ia curiga karena arti nama pemasang iklan tersebut, Setan Tjikadut. Menurut Benny, iklan ini punya maksud tertentu.

Hal-hal seperti itulah yang akhirnya membuat bagian iklan Kompas menerapkan ketentuan bahwa calon pemasang iklan harus menyertakan foto kopi identitas, biasanya kartu tanda penduduk. Tentu saja ketentuan tersebut hanya berlaku sementara. Setelah jumlah iklan bertambah terus, tak mungkin memberlakukan ketentuan tersebut.

Peningkatan jumlah ikan baris atau iklan mini memang merepotkan, apalagi penyusunannya agar bisa urut abjad, dilakukan secara manual. Penata wajah iklan harus menghitung benar jumlah iklannya agar layoutnya tidak berubah-ubah. Seringkali, biasanya hari Jumat malam edisi Sabtu, jumlah iklan baris begitu meluap sehingga seringkali melanggar batas waktu penyelesaian. Walaupun harganya dinaikkan terus tetapi pemasangnya tetap saja antre.

Pemasangan iklan di Kompas memang sangat efektif karena jumlah oplahnya paling besar. Hal ini sering disampaikan pemasang iklan lowongan kerja. Dikatakan, jika iklan dipasang di koran lain belum tentu bisa menjaring peminat. Kalaupun ada, jumlahnya sedikit, tak lebih dari 10 persen dari jumlah pelamar yang iklannya dimuat di Kompas. Jadi walau harga iklan di Kompas tiga kali lipat dari koran lain namun hasilnya tetap lebih menguntungkan jika dimuat di Kompas.

Itulah rahasianya, kenapa iklan di Kompas tetap saja meluber.

(Bersambung)

Mamak Sutamat, wartawan purnatugas Harian Kompas 1970-2004.

***

Tulisan sebelumnya: Asal Muasal Kompas [11] Iklan Mini Hanya Rekayasa