Asal Muasal Kompas [11] Iklan Mini Hanya Rekayasa

Pada tahap awal, isi Kompas Mini Ad kebanyakan rekayasa, tidak menghasilkan uang. Benny menghubungi para karyawan untuk memasang informasi apa saja menjadi iklan mini.

Kamis, 23 Mei 2019 | 08:58 WIB
0
817
Asal Muasal Kompas [11] Iklan Mini Hanya Rekayasa
Iklan baris Harian Kompas

Ide pemuatan iklan baris atau iklan mini di Kompas, berasal dari buku-buku juga. Pada tahun 1967 belum ada satu koran pun di Indonesia yang memuat iklan baris. Semua iklan berbentuk kolom. Padahal iklan baris di koran-koran maju luar negeri, menjadi andalan bisnis karena penghasilannya dalam bentuk tunai.

Menurut Benny, pimpinan bagian iklan Kompas ketika itu, saat ide muncul, ia minta tempat seluas tiga kolom setinggi 100 milimeter untuk menampung iklan baris. GM Sudarta kemudian membantu membuatkan kopnya berjudul Kompas Mini Ad. Nama ini dipilih karena saat itu masyarakat sedang demam mengenakan rok mini. Irawati, redaktur Majalah Intisari ikut andil dalam pemberian nama ini. Kemudian hari nama itu diindonesiakan menjadi Iklan Mini, desainnya dibuat oleh Bambang Hari (alm.), salah seorang korektor iklan saat itu.

Pada tahap awal, isi Kompas Mini Ad kebanyakan rekayasa, tidak menghasilkan uang. Benny menghubungi para karyawan terutama wartawan untuk memasang informasi apa saja menjadi iklan mini. Selamat ulang tahun, pengumuman reuni, pengumuman rapat organisasi, dan hal-hal sepele lainnya, dimuat dalam rubrik tersebut.

Usaha ini berkembang antara lain karena bantuan Pak Tjetje yang menganjurkan kliennya di Bandung untuk memasang iklan mini yang murah meriah itu. Salah satu pemasangnya adalah penjual asinan di Cianjur.

Sebenarnya iklan mini sudah dikenal sejak adanya koran pada abad ke-16 namun di Indonesia merupakan hal asing. Hingga tahun 1970 menurut Daisy Tanireja, Kepala Bagian Iklan Kompas periode 1977–2000, Kompas belum berhasil mengumpulkan iklan mini secara riil (dibayar). Pada tahap perkenalan diberikan cuma-cuma, kemudian dijual dengan tarif yang sangat murah.

Daisy sendiri yang turun tangan menawarkan kepada para penjual mobil bekas di daerah Pecenongan, restoran-restoran di daerah Kota, dan para pengusaha teman-teman Pak Ojong. Khusus mobil bekas, transaksi dilakukan setelah toko-toko itu tutup sehingga mereka bisa menawarkan sisa dagangannya. Iklan penjualan mobil bekas dan acara bioskop mendapat perlakuan khusus, dead line penurunan materinya boleh paling akhir.

Baca Juga: Asal Muasal Kompas [1] Pintu Besar Selatan

Menurut Daisy, untuk menggarap iklan mini tersebut Pak Ojong sangat serius, beberapa orang dikirim ke luar negeri untuk mempelajarinya. Mereka diminta belajar di koran-koran Singapura, Hongkong, Jepang, Australia, Amerika, dan Belanda. Dan ini memang membawa hasil, jumlah iklan mini terus bertambah baik volume maupun ragamnya.

Mengingat awalnya iklan mini ini tak menghasilkan uang, jika redaksi memerlukan ruang, dengan ringan rubrik itu dicabut saja. Bagian iklan pun tidak terlalu protes. Namun ketika rubrik itu sudah benar-benar berisi iklan beneran, pemasangnya benar-benar membayar, pencabutan iklan menjadi masalah besar. Redaksi yang dulunya dengan enak mencabut iklan mini dan tidak diprotes, kini bagian iklan siap “berkelahi” untuk mempertahankan rubrik tersebut.

“Itu tempat kan sudah dibayar! Lagian itu yang memberi uang makan buat kamu!” kata Benny mengingat bagaimana ia “berkelahi” dengan Redaksi, paling sering dengan Indra Gunawan dan J. Widodo.

Seingatnya, perselisihan ini beberapa kali sempat menjurus ke adu fisik. Dan perselisihan redaksi dengan bagian iklan memperebutkan ruang itu, akhirnya menjadi masalah klasik. Hal ini berlangsung hingga menjelang tahun 2000, ketika pembatasan halaman tidak ada lagi dan para redaktur menyadari bahwa iklan adalah juga informasi yang menghidupi perusahaan.

Volume iklan mini Kompas terus berkembang dan kemudian bahkan meninggalkan koran-koran yang terlebih dahulu terbit. Iklan mini Kompas menyurut ketika Pos Kota pada tahun 1972 terbit dan menjual iklan baris demikian murah.

Pada saat itu tarif iklan baris Kompas sudah begitu mahal karena disesuaikan dengan oplahnya. Mengingat pemasang iklan baris membutuhkan pembeli sekitar Jakarta maka mereka tidak memerlukan peredaran yang luas macam Kompas lagi.

Di sini mulailah pemasang iklan baris berpindah ke Pos Kota. Akhirnya Kompas pun diisi iklan-iklan baris untuk barang-barang yang lebih mahal harganya. Terakhir, dilakukan perbedaan tarif iklan mini untuk Kompas yang beredar di Jabodetabek dan nasional.

Menurut Y. Suparno, karyawan yang sejak masuk tahun 1969 hingga pensiun tahun 2003 mengurus iklan, setiap pimpinan bagian iklan memiliki tantangan sendiri-sendiri. Benny Tedjasendjaja bisa dikatakan sebagai peletak dasar bagian iklan Kompas. Ia banyak mencari ilmu tentang periklanan dari buku dan pakar-pakar kemudian dibagikan kepada para anak buahnya. Setiap sore ia mengumpulkan karyawan bagian iklan dan menjelaskan bagaimana orang iklan harus bergerak.

Pimpinan berikutnya, Jopie Handojo, banyak berbuat untuk mengembangkan iklan Kompas. Pada zamannya (1969–1977), ia banyak mengeluarkan kiat untuk mendongkrak volume iklan, bahkan sampai meluber. Apalagi ketika Kompas mengaudit oplahnya melalui Akuntan Publik Drs. Utomo & Mulia pada tahun 1971. Hasil audit tersebut dimuat besar-besar di Kompas, padahal pada saat itu belum ada satu koran pun yang berani melakukannya.

Kredibilitas inilah yang membuat iklan berdatangan sehingga Surabaya Post, koran sore yang terbit di Surabaya protes keras. Bahkan dalam suatu rapat SPS (Serikat Penerbit Surat Kabar) ketika itu muncul istilah koran nasional membunuh koran daerah. Akhirnya pemuatan hasil audit di Kompas pun dihentikan dan karyawan bagian iklan ”bergerilya” membagikan hasil audit tersebut kepada biro-biro iklan dan para pemasang iklan.

Publikasi hasil audit tersebut membuat para pemasang iklan terutama yang berkait dengan produk luar negeri, menuntut agar koran lain melakukan hal yang sama. Tentu saja hal ini membuat mereka gerah, ada yang kemudian melakukannya namun sudah ketinggalan langkah. Apalagi oplah Kompas setelah mempunyai mesin cetak sendiri terus naik sehingga nilai jualnya pun menjadi lebih tinggi. Kenaikan tarif iklan yang begitu sering dilakukan untuk menyesuaikan oplah, tidak juga menyelesaikan masalah.

Pada suatu masa Jopie pernah memutuskan kiat nekad. Pada saat bulan kosong iklan, biasanya setelah Lebaran atau Natal/awal tahun, ia justru menaikkan tarifnya. Biasanya pada masa-masa itu banyak penerbit mengobral diskon agar mendapat iklan tapi Kompas justru menaikkan tarif.

Logika Jopie, pengusaha tidak mau pasang iklan pada masa-masa itu karena mereka tahu saat itu tidak atau belum masanya orang membelanjakan uangnya. Dengan demikian Kompas tidak perlu “meminta-minta” iklan tetapi mengganti pemasukan masa sepi itu dengan kenaikan harga yang akan diperoleh setelah masa sepi usai.

Tentu saja pro-kontra merebak dan Redaksi yang harus mengisi ruang lebih banyak menjadi jengkel. Namun kiat itu ternyata manjur. Ketika masa sepi iklan selesai, Kompas mendapatkan iklan dengan tarif yang lebih mahal, artinya pemasukan lebih banyak.

(Bersambung)

Mamak Sutamat, wartawan purnatugas Harian Kompas 1970-2004.

***

Tulisan sebelumnya: Asal Muasal Kompas [10] Diskon Iklan Sampai 85 Persen