Ketika Undang-undang ITE Menjadi Tertuduh

Bukankah sejatinya, dalam sistem demokrasi keduanya adalah sama-sama mewakili suara dan aspirasi rakyat yang telah memilihnya?

Senin, 22 Februari 2021 | 12:14 WIB
0
250
Ketika Undang-undang ITE Menjadi Tertuduh
Ilustrasi UU ITE (Foto: kumparan.com)

Ruang demokrasi digital publik tampaknya belum akan hening dari hiruk-pikuk beraroma politik. Saat ini, ruang digital kembali dihebohkan dengan wacana re-revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU-ITE), setelah 12 tahun diberlakukan sejak 2008. Sebuah wacana yang sesungguhnya sudah pernah berhembus 2019 ketika mencuat kasus Baiq Nuril yang kemudian mendapatkan Amnesti dari Presiden.

Kehebohan ini berawal dari pernyataan presiden Jokowi “silakan kritik pemerintah” di dalam rapat laporan tahunan Ombudsman RI (08/02/2021), yang kemudian dilanjutkan dengan mewacanakan re-revisi UU-ITE di dalam rapim TNI-Polri (15/02/2021).

Terlepas pro-kontra yang menyeruak, bagi sang Presiden, revisi UU-ITE perlu dilakukan jika masih belum memberikan rasa keadilan bagi publik, mengancam kebebasan berekspresi, dan tidak sejalan dengan semangat awal, yaitu menjaga agar ruang digital Indonesia bersih, sehat, beretika, dan produktif.

UU-ITE, Riwayatmu

Sejarah penyusunan UU-ITE dimulai tahun 2003 atas inisiatif pemerintah (era Megawati), dan disahkan oleh DPR tahun 2008 (UU no.11/2008) di era SBY, setelah pembahasan selama lima tahun baik di tingkat pemerintah dan Dewan.

Tahun 2015, pemerintah (era Jokowi) mengajukan perubahan ke DPR untuk menanggapi aspirasi masyarakat yang menghendaki perubahan terhadap sejumlah ketentuan yang dianggap multi-tafsir (pasal karet), dan berpotensi membelenggu kebebasan berpendapat melalui sistem elektronik (pasal 5, 21, 26, 31, 40, 43, & 45) (https://jdih.kominfo.go.id/). Setelah setahun dibahas, DPR akhirnya menyetujui dan mengesahkan perubahan atas UU-ITE tahun 2016 (UU no.19/2016).

Sejak diberlakukan 2018, UU-ITE sudah banyak memakan korban. Mereka adalah para jurnalis, dosen, pengelola media online, mahasiswa, presenter/aktor, aktivis, youtuber, buruh, karyawan, warga biasa, dll. Namun, tidak semua kasus berujung vonis pidana, banyak juga yang bebas, bahkan ada yang hanya sampai pada pelaporan ke polisi dan tak berlanjut ke pengadilan.

Baca Juga: Jadikan Kesalahan Bermedsos Para Istri Tentara sebagai Cermin, Waspada UU ITE!

Dalam catatan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (UGM), kasus pidana menggunakan UU-ITE hingga 30 Oktober 2020 mencapai 325 kasus. Terbanyak kasus defamasi (pencemaran nama baik) dengan 209 kasus; 76 kasus ujaran kebencian berdasarkan SARA; dan 39 kasus lainnya kasus pornografi, ancaman kekerasan, keonaran, dll.

Ruang digital terbanyak yang digunakan adalah Facebook (termasuk Pages), media online (termasuk User Generated Content/UGC), Twitter, Whatsapp (termasuk WAstory), dan YouTube. Rinciannya, pada era SBY (2008—2014) sebanyak 72 kasus, dan pada era Jokowi (2014—2020) sebanyak 253 kasus, atau naik tiga kali lipat (safenet.or.id). Sehingga, ada yang mengatakan “UU ITE, dimulai era Mega, sah zaman SBY, dan menjadi momok masa Jokowi” (cnnindonesia.com, 16/02/2021).
 
Mengapa Jokowi?

Para pakar, pengamat, dan kritikus, menjadikan pemerintah (Presiden Jokowi) sebagai ‘kambing hitam’ atau “sansak kritikan” para korban UU-ITE. Mengapa ? Bagi mereka, logikanya sederhana, karena pemerintahlah yang mengeksekusi UU-ITE. Mereka ‘menuduh’ pemerintah berada di balik semua laporan pengaduan ke polisi.

Benarkah, pemerintah berada di balik semua pelaporan, yang artinya Presiden telah melanggar UU, karena menyalahgunakan UU sebagai alat politik, alat untuk menjaga stabilitas dan kelanggengan kekuasaan; atau seperti kata kritikus handal Rocky Gerung, “UU ITE hanya merupakan alat kontrol terhadap oposisi”. Jika benar demikian, bukankah pemerintah (Presiden Jokowi) bisa dianggap melanggar UU, melanggar Konstitusi, dan bisa berujung pada “impeachment”. Faktanya tidak demikian, bukan?

Kalaupun pemerintah (Jokowi) dijadikan ‘kambing hitam’ atau “sansak kritikan” terkait UU-ITE, kasusnya tidak seheboh dan seviral UU-Pilkada, yang kemudian memunculkan tagar/hastag #ShameOnYouSBY, #ShamedByYou, ShamedByYouAgainSBY yang dialamatkan kepada Presiden SBY waktu itu (Farisi, 2019).

Data SAFEnet mengungkap bahwa sebagian terbesar pengaduan pelanggaran UU-ITE adalah individu, komunitas, dan/atau institusi. Apakah semua dari mereka adalah pendukung atau bagian dari rezim Jokowi? 

Untuk mendukung argumen, mereka juga menggunakan indeks kebebasan internet (IKI) sebagai parameter. Berdasarkan laporan Freedom House, dalam lima tahun terakhir, skor IKI Indonesia terus mengalami tren negatif. Semakin tinggi angka IKI semakin tinggi pula tingkat ketidakbebasan mengakses internet di suatu negara.

Tahun 2014-15 skor IKI 42, tahun 2016 turun menjadi 44, dan turun lagi menjadi 47 tahun 2017. Tahun 2018 mengalami kenaikan ke angka 46, tahun 2019 turun lagi ke 51, dan akhirnya tahun 2020 naik lagi 2 poin menjadi 49. SKOR IKI Indonesia cenderung mengalami penurunan dari angka 42—51.

Freedom House, skor IKI tersebut memposisikan Indonesia dalam kategori “bebas sebagian" (partly free), dan menilai menurunnya IKI Indonesia bisa membawa ke arah otoritasianisme digital. Atau menunjukkan adanya fenomena “democratic backsliding, autocratization, de-democratization atau democratic erosion” di ruang digital.

Mungkin, ini pula yang kemudian membuat SAFEnet 2020 menggagas sebuah Webinar sekawasan ASEAN dengan tema “Cyber-controls and Cencorship: The End of Democratic Space Online?”, dan Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto membawakan materi tentang “Internet Shutdown in Indonesia: The New Normal Policy to Censor Information Online?“ 
 
Mengapa UU-ITE?

Setelah pemerintah, mereka kemudian menuduh UU-ITE yang menjadi ‘hulu’ munculnya banyak kasus pemberangusan kebebasan berekspresi di ruang digital yang dilakukan oleh pemerintah. Para pakar dan pengamat mengkritisi adanya multi “tafsir, interpretasi” “pasal-pasal karet” (the rubber articles), yaitu pasal 27 sd. 29. Pasal-pasal tersebut tampaknya luput dari perubahan pertama UU-ITE tahun 2016, tetapi pernah diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Data Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) - Kominfo (https://jdih.kominfo.go.id/) menunjukkan bahwa sejak pertama kali UU-ITE diundangkan hingga saat ini, ada enam kali judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal-pasal yang diajukan untuk direview adalah pasal 1(6A), 5(1,2), 27(3), 28(2), 44(b), 45(1), dan pasal 45A(2). Empat permohonan tidak dapat diterima, dan dua permohonan ditarik kembali oleh pemohon.

Jika demikian faktanya, pasal-pasal UU-ITE yang dihebohkan, dan dikritik sebagai penyebar serangkaian pelaporan, dalam paradigma konstitusi Mahkamah, tidak terbukti secara material melanggar atau bertentangan dengan Konstitusi 1945. Pasal-pasal di dalam UU-ITE yang di-judicial review adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum.

Apakah sejumlah putusan Mahkamah yang menolak semua judicial review, bisa dimaknai Mahkamah menggunakan paradigma “formalisme hukum”, sehingga tidak responsif, mengabaikan, dan melukai “rasa hukum dan keadilan masyarakat,” seperti yang dikritisi oleh sejumlah pihak?

Mahkamah memang telah memutuskan, “tak da yang salah dan dilanggar oleh UU-ITE”. Hanya saja, karena kita adalah negara demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara, keberanian dan komitmen Presiden untuk mengambil inisiatif atas “permintaan rakyat” untuk melakukan revisi kedua Bersama DPR atas UU-ITE bisa dipahami, sangat demokratis dan konstitusional. Karenanya, patut diapresiasi. Terlepas multi-tafsir, kecurigaan dan ketakpercayaan sebagian publik atas inisiatif Presiden dengan menyatakan hal itu sebagai “pencitraan”, “sekadar retorika dan basa-basi politik”.

Bagaimana dengan DPR?

Yang menarik untuk ditelisik, dan tampaknya agak luput dari tilikan para pakar, pengamat, dan kritikus, terkait dengan cuwitan bang Iwan Fals yang patut untuk direnungkan bersama: “Yang Bikin (UU ITE) Siapa?” (16/02/2021).

Jawabnya tentu saja Presiden bersama DPR. Tetapi, dalam konstruksi Konstitusi kita, yang lebih berwenang atau memegang kekuasaan sejatinya adalah DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang (fungsi legislasi, pasal 20 & 21).

Presiden memang “berhak mengajukan” (pasal 5:1), jika pun tidak menggunakan haknya, tidak masalah. Presiden juga berhak setuju atau tidak setuju, mengesahkan atau tidak atas sebuah RUU. Tetapi, jika pun Presiden tidak setuju dan tidak mengesahkannya, toh RUU tetap sah menjadi UU dan wajib diundangkan (pasal 20).

Jika memang demikian fakta konstitusionalnya, mengapa lagi-lagi sang Presiden yang menjadi ‘kambing hitam’ atau “sansak kritikan?” Bagaimana dengan DPR? Wallahu ‘alam. Padahal, jika berkaca pada kasus trending topik UU-Pilkada, yang menjadi sasaran kritik bukan hanya Presiden SBY, tetapi juga DPR(D) (Farisi, 2019).

Baca Juga: Agar Adil, Buat Pedoman Interpretasi Resmi terhadap Pasal-pasal UU ITE

Dalam konteks ini, menarik untuk menelaah soal ini menggunakan teori Michael J. Sandel (1998) tentang “democracy’s discontent”. Teori ini, menyediakan interpretasi baru tentang tradisi politik dan konstitusional yang menawarkan harapan untuk meremajakan kehidupan sipil di negara-negara demokrasi, termasuk Indonesia.

Menjelaskan bagaimana dan mengapa demokrasi bisa kehilangan makna. Mengapa pula muncul ketidakpuasan publik atas cara kerja/praktik sistem politik demokrasi, dan menganggap tidak lagi sejalan dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai demokrasi (dissatisfied democrats’ or ‘critical citizens).

Menurut Sandel, ada dua faktor mengapa democracy's discontent bisa terjadi. Pertama, faktor masukan sistem politik terkait keterwakilan/representativitas rakyat dalam lembaga-lembaga kerakyatan (the input-side of the political system in terms of democratic representation). Kedua, faktor luaran sistem politik terkait kualitas kinerja pemerintahan dalam menjalankan fungsi-fungsi layanan publik (the output-side of the political system in terms of the quality of government).

Dalam telaah ini, kita akan fokus pada aspek “sistem politik perwakilan” yang terkait dengan persoalan sistem pemilihan (electoral system). Pertanyaannya, apakah DPR sebagai perwakilan rakyat “benar-benar mewakili atau representasi dari rakyat” yang memilih mereka melalui Pemilu? Apakah produk-produk legislasi DPR benar-benar mewakili atau representatif terhadap suara dan aspirasi rakyat yang diwakili?

Menarik analisis Syarif Hidayat di Kolom Pakar Media Indonesia (15/02/2021) tentang “Perwakilan Minus Keterwakilan”. Hidayat mempersoalkan, apakah “vote” (suara yang diamanahkan rakyat saat pemilihan legislatif) berbuah menjadi “voice” (produk legislasi yang bertumpu pada suara dan aspirasi rakyat?) setelah mereka memasuki ruang DPR? Atau justru yang terjadi adalah “vote minus voice?

Menggunakan teori demokrasi dan elite modern Weber dan Schumpeter, Hidayat menduga, ada fenomena “elitisisme demokrasi” (democratic elitism) di dalam sistem pemilihan anggota legislatif, yang kemudian melahirkan pelapukan demokrasi (democratic institutional decay) oleh para elite sipil di lembaga DPR.

Fenomena ini belakangan juga marak diperbincangkan publik, terkait dengan semakin menguatnya politik dinasti, dinasti politik, partai politik dinasti dan/atau dinasti partai politik. Sebuah fenomena yang oleh salah seorang elite partai politik terbesar di Indonesia dianggap sebagai "realitas politik yang dikehendaki masyarakat", yang menjadikan "keterpilihan secara demokratis oleh majoritas" sebagai pengabsah atau pembenar (31/07/2020).

Jika ini yang terjadi, maka DPR sebagai lembaga negara dan lembaga rakyat, sejatinya tidak lagi mencerminkan dan meningkatkan kehadiran negara dan rakyat dalam produk-produk legislasi yang dihasilkan. Tidak ada korelasi antara presence and representation, kata Clarke and Foweraker (2001). Akibat logisnya, menjadi tidak salah jika di dalam pasal-pasal UU-ITE banyak rumusan yang tidak mencerminkan suara dan aspirasi rakyat yang diwakili, serta melahirkan multi-tafsir, mis-interpretasi, dan semacamnya.

Kontradiksi antara DPR dan Rakyat ini, merupakan fenomena faktual yang kini sedang dihadapi di Indonesia. "Ada dua situasi berbeda di Indonesia. Di satu pihak, elite politik Indonesia belum siap berdemokrasi. Sementara masyarakat Indonesia sangat antusias berdemokrasi", kata Philips Vermonte, Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS).

Dengan menggunakan indeks Keadaan Demokrasi Global (The Global State of Democracy) tahun 2015 dari International Institute for Democracy and Elektoral Assistance (International IDEA), Vermont menyatakan, di satu sisi, indeks partisipasi masyarakat sipil dalam pemilu dan pemilu daerah lebih tinggi dibandingkan negara-negara Asia Pasifik. Di sisi lain, indeks terkait parlemen, elite politik cencerung stagnan, tidak mengalami perubahan signifikan (beritasatu.com, 09/12/2017)

Agar democracy’s discontent tidak menjadi akut, adalah sebuah keniscayaan urgensi untuk melakukan evaluasi sistem elektoral kea rah yang lebih representatif, penguatan kapasitas DPR sebagai lembaga negara dan lembaga rakyat, dan konsolidasi institusional antara DPR dan Presiden dalam mengadvokasi demokrasi dan hak-hak asasi warga negara. Bukankah sejatinya, dalam sistem demokrasi keduanya adalah sama-sama mewakili suara dan aspirasi rakyat yang telah memilihnya?

Akhirnya, pertanyaan yang tersisa, dan perlu dijawab secara demokratis adalah, “mengapa para pakar, pengamat, dan/atau kritikus tidak mengkritisi kinerja DPR. Apakah mereka benar-benar menyuarakan kehendak dan aspirasi rakyat, ketika mengusulkan, membahas, dan menyetujui UU-ITE? 

Dalam konteks ini, menjadi sangat tidak wajar, dan "tak tahu diri", jika ada anggota DPR turut beramai-ramai mengkritisi inisiatif dan niat baik Presiden Jokowi dan Pemerintah untuk melakukan re-revisi UU-ITE agar lebih responsif atas rasa hukum dan keadilan publik, serta lebih berdaya untuk menjaga agar ruang digital Indonesia bersih, sehat, beretika, dan produktif.

Atau, jangan-jangan ada kesengajaan dari sebagian anggota DPR untuk menggunakan politik bluffing, dengan menyuarakan ‘maling teriak maling’, atau ‘copet teriak copet’. Karena dalam arena politiklah hal itu dimungkinkan untuk merusak citra lawan? (pemerintah, Presiden). Bukan untuk membangun sistem citra politik yang kental dengan prestasi, reputasi, dan semacamnya. Wallahu alam.

…untukmu yang duduk sambal diskusi…di sana, di gedung DPR…di hati dan lidahmu kami berharap…suara kami tolong dengar dan sampaikan…di kantong safari kami titipkan…masa depan kami dan negeri ini…wakil rakyat seharusnya merakyat…jangan tidur waktu siding soal rakyat”.

Itulah potongan lagu dari bang Iwan Fals untuk direnungkan oleh para wakil rakyat, ketika mengajukan, membahas, dan menyetujui sebuah RUU.

Salam demokrasi!

***