Dalam situasi lebih dari 70 tahun setelah dunia meninggalkan imperialisme, rasanya janggal kalau masih ada yang memimpikan kejayaan Islam dalam format tadi.
Subuh-subuh bergema ceramah ustaz Somad dari TV. Tadi subuh yang dibahas adalah tafsir surat Ali Imran 190-191. Ayat ini dulu adalah ayat favorit saya sebagai mahasiswa fisika. Ayat ini menggambarkan karakter seorang intelektual muslim, yang disebut ulil albab. Ia berpikir mengaji berbagai gejala alam, dan di ujung proses pikir itu ia akan berzikir, bahwa segala sesuatu yang ia saksikan itu adalah kuasa Allah belaka.
Dalam sesi diskusi ada yang bertanya, bagaimana cara membentuk manusia menjadi ulil albab itu. Ustaz Somad menerangkan, harus ada keseimbangan tujuan. Jangan hanya sibuk mengejar dunia, tapi kejarlah kejayaan Islam. Ia memberi contoh, harus ada generasi muda Islam yang punya visi seperti Muhammad Al-Fatih, yang bermimpi menaklukkan Constantinopel.
Ini narasi yang masih umum diucapkan oleh orang-orang Islam. Mereka merindukan Islam sebagai kekuasaan politik dan wilayah, seperti masa lalu. Di masa lalu imperium Arab, Umayyah dan Abbasiyah, kemudian dilanjutkan oleh imperium Turki Usmani, menguasai dunia. Di masa selanjutnya ditiru oleh kerajaan-kerajaan Eropa, Spanyol, Perancis, Inggris, dan Belanda. Kita menyebutnya imperialisme. Imperium Arab dan Turki tadi tidak kita sebut imperialisme.
Banyak orang Islam merindukan situasi itu. Mereka menyebut itu sebagai “kejayaan Islam”. Jaya diartikan sebagai menguasai wilayah yang luas. Di masa lalu definisi kejayaan seperti itu lumrah. Semua orang mendefinisikan kejayaan dengan cara seperti itu. Tak heran pada dekade 40-an negara-negara masih berperang berebut wilayah, yang menjadi perang terbesar dalam sejarah, Perang Dunia II.
Tapi perang besar itu memberi pelajaran penting. Dunia merasakan penderitaan luar biasa. Diperkirakan 85 juta orang mati dalam perang itu, dan ratusan juta lainnya mederita.
Itu membuat pemuka dunia berpikir bahwa pola-pola kolonialisme dan imperialisme itu harus dihentikan. Sejak saat itulah keinginan untuk tidak berperang dikumandangkan. Invasi untuk menguasai wilayah negara lain dianggap hal yang haram.
Menariknya, negara-negara yang tadinya berdiri dengan identitas agama, ikut berubah. Termasuk negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim. Negara berdiri dalam identitas beragam, dari sisi agama maupun etnis. Bentuk kerajaan pun ramai-ramai ditinggalkan. Negara-negara republik berdiri. Yang masih mempertahankan bentuk kerajaan, tidak mengambil bentuk monarki absolut, tapi berperilaku mirip dengan negara-negara republik.
Baca Juga: Ancaman Ideologi Khilafah di Lingkungan Sekolah dan Pesantren
Itu pulalah yang terjadi di Indonesia. Negeri yang tadinya terdiri dari banyak kesultanan, memerdekakan diri, sekaligus meninggalkan bentuk kerajaan Islam dengan identitas agama. Para pendiri negara bersepakat membentuk wadah yang menampung semua keragaman, berdirilah Republik Indonesia.
Dalam situasi lebih dari 70 tahun setelah dunia meninggalkan imperialisme, rasanya janggal kalau masih ada yang memimpikan kejayaan Islam dalam format tadi.
Lalu, bagaimana sebaiknya? Yang harus kita impikan adalah Indonesia yang makmur, yang menjadi rumah yang damai dan tenteram bagi seluruh anak bangsa, tak peduli apa suku maupun agama mereka. Indonesia yang rukun dengan bangsa-bangsa tetangga, baik yang serumpun seagama maupun yang tidak.
Tatanan dunia yang seharusnya diimpikan adalah tatanan manusiawi, di mana umat manusia berdiri sejajar setara, masing-masing berkontribusi untuk kemaslaahatan umat manusia. Kita bekerja sama, saling membantu, saling membangun, bertukar kelebihan untuk menutup kekurangan pihak lain. Yang kita tuju adalah kejayaan umat manusia.
You can imagine that. It is easy if you try.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews