Catatan Biasa Orang Biasa [3] Jarum Suntik dan Paha Sobek

Baru sekitar pertengahan tahun 1976, Bapa membeli tanah di pinggir jalan. Pada awalnya sebuah kolam. Kemudian diurug dan rumah didirikan di atasnya.

Selasa, 15 September 2020 | 22:02 WIB
0
264
Catatan Biasa Orang Biasa [3] Jarum Suntik dan Paha Sobek
Suntik cacar (Foto: LINE Today)

Kampung itu tidaklah besar. Bahkan boleh dibilang sebagai kampung terkecil di antara tetangga-tetangganya. Namanya Sindangmulih. Dulu, termasuk dalam wilayah Desa Sukamenak, Kecamatan Cibeureum, Kabupatem Tasikmalaya, Jawa Barat. Kini berada di Kec. Purbaratu. Jaraknya sekitar 5 km ke arah timur dari pusat kota.

Sepanjang sejarahnya, rumah di kampung tersebut tidak pernah lebih 20 buah suhunan dengan jumlah penduduknya sekitar 60 orang. Lokasi kampung berada di pinggir jalan desa yang dikelilingi sawah. Gunung Galunggung yang berada jauh di sebelah barat kota, terlihat menjulang dengan jelas jika hari cerah.

Warga kampung berusia dewasa sebagian besar bekerja serabutan. Hanya beberapa orang saja yang memiliki pekerjaan tetap. Di antara mereka ada yang bekerja sebagai buruh bangunan atau petani penggarap. Sebagian anak kampung itu melanjutkan sekolah hingga SMA. Sebagian kecil mampu menginjak perguruan tinggi dan bekerja sesuai ilmunya.

Di tengah kampung terdapat masjid. Pada salat-salat fardu harian, jamaahnya paling banter hanya satu saf. Akan tetapi jiga salat Jumat, bisa meluber hingga ke halaman masjid. Karena warga dari kampung lain salat di situ. Seminggu sekali ada pengajian remaja yang juga diikuti para pemuda dari kampung tetangga.

Saat saya berusia 5-6 tahun, jalan yang melintasi Sindangmulih masih berbatu. Gerobak sapi masih menjadi salah satu alat transportasi untuk mengangkut barang. Biasanya pada subuh hari mereka berangkat dengan lampu cempor sebagai alat penerangan, dan pulang menjelang magrib atau kadang-kadang hingga lewat isya.

Peningkatan mutu jalan dengan cara pengerasan tanah dan batu baru dilakukan sekitar tahun 1976. Material itu diperoleh dari sebuah bukit di Kampung Gunung Depok. Pengerjaan dilaksanakan secara swadaya plus bantuan peminjaman stoomwales. Baru beberapa tahun belakangan ini fisik jalan beraspal mulus.

Pada tahun 1973 saya masuk sekolah di SD 5 Kampung Nagrog, sekitar 1 kilometer dari rumah. Namun di SD itu hanya sampai kelas II. Pindah ke SD Angkasa di lingkungan Lanud Cibeureum (kini Lanud Wiriadinata). Mayoritas siswanya adalah anak-anak kolong, dari keluarga asrama Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) TNI AU. Bapa menjadi kepala sekolah di sana. Mungkin itu sebabnya semua anaknya bersekolah di SD Angkasa.

Di SD 5, dari sekian banyak murid hanya 3-4 orang yang memakai sepatu. Termasuk di antaranya saya dan sepupu saya, Deni Hendana. Warnanya hitam, berbahan karet, mereknya “Bata”. Repot kalau sudah kemasukan air, tidak bisa merembes. Jika berjalan mengeluarkan bunyi yang lucu. Tapi sepatu ini awet.

Mantri kuris

Selama dua tahun di sekolah itu, dua kali saya “melarikan diri” karena takut disuntik cacar. Kami menyebutnya kuris, dan petugasnya dipanggil mantri kuris. Saya tahu betul, jika terdengar sepeda motor bersuara berat berhenti di halaman sekolah, sudah pasti itu mantri kuris. Suara motornya saja sudah memunculkan ketegangan bagi saya.

Kendaraan mantri kuris bemerek “JAWA”, sepeda motor klasik buatan Eropa Timur berwarna hitam. Bentuk fisiknya lebih besar dari lazimnya motor yang dimiliki warga.

Di kanan kirinya terdapat kantong dari kulit berisi perlengkapan kesehatan. Sebelum pemeriksaan dimulai, saya sudah lebih dulu meninggalkan kelas dengan alasan mau buang air kecil. Padahal kabur.

Sekali waktu, paha bagian kanan dekat pinggul sobek sekitar 5 cm terkena paku saat bermain-main di atas tumpukan kayu. Darah mengucur. Sakit sekali. Malam harinya saya sempat demam. Untuk mencegah tetanus, esoknya Bapa memanggil Mantri Pendi –mantri legendaris di desa kami- untuk mengobati.

Saya berusaha kabur lewat pintu belakang, karena tidak mau disuntik. Tapi Bapa menggagalkannya. Saya menjerit-jerit, saat benda kecil berujung runcing itu sudah di tangan Mantri Pendi. Bapa memegang saya dengan kencang. Akhirnya, masih dengan tangisan kencang, saya pasrah. Jos, suntikan menerobos paha dan saya pun melengking. Karuan saja warga di kampung kecil itu berdatangan menonton.

Hingga kelas IV SD, kami (Bapa, Mamah, Kang Entis S Sind, saya, Eda Suwardaya Sind, dan Ela Sulawasti Sind) masih satu rumah dengan Uwak Endang Iskandar. Sebuah rumah panggung peninggalan nenek. Lokasinya berdekatan dengan masjid. Di belakangan rumah ada kebun milik keluarga. Terdapat pohon dukuh, kelapa, kedondong, pisang dan beberapa jenis pohon lainnya. Ada juga kolam ikan.

Di depan rumah berdiri pohon belimbing yang berbuah lebat dan rasanya manis. Sedangkan di samping kiri terdapat pohon jambu batu yang cabang-cabangnya bisa digunakan penyangga rumah-rumahan. Kadang-kadang saya tertidur siang hari di atas pohon tersebut.

Baru sekitar pertengahan tahun 1976, Bapa membeli tanah di pinggir jalan. Pada awalnya sebuah kolam. Kemudian diurug dan rumah didirikan di atasnya. Semula ada dua pohon cengkeh di halaman depan dan menghasilkan biji yang lumayan. Tapi karena tidak lagi berbuah dengan baik, akhirnya ditebang diganti pohon peneduh. Di rumah ini lahir dua adik saya, Eva Susanty Sind dan Elvan Sutiasa Sind.

Jarak dari rumah ke SD Angkasa lumayan jauh, sekitar 5 kilometer ke arah selatan. Kami biasa berjalan kaki menuju sekolah. Terkadang juga menggunakan delman. Angkutan kota hadir belakangan. Kemudian Bapa punya sepeda motor Dampf Kraft Wagen (DKW) buatan Jerman keluaran 1956. Dengan DKW itulah pertama kali saya bisa mengendarai sepeda motor. Tapi kebiasaan jalan kaki tetap dilakukan.

***

Tulisan sebelumnya: Catatan Biasa Orang Biasa [2] TV, Wayang Golek dan Orkes Dangdut