Catatan Biasa Orang Biasa [2] TV, Wayang Golek dan Orkes Dangdut

Televisi hadir jelang Piala Dunia 1978, ketika salah satu kerabat membelinya. Itulah pertama kalinya menonton pertandingan sepakbola lewat layar kaca. Mario Kempes menjadi idola baru.

Senin, 14 September 2020 | 16:39 WIB
0
333
Catatan Biasa Orang Biasa [2]  TV, Wayang Golek dan Orkes Dangdut
Nobar televisi jadul (Foto: tribunnews.com)

Acara dongeng Sunda di radio adalah hiburan penting bagi warga di kampung kami tahun 70-an. Terutama ketika televisi masih langka dan dianggap barang mewah. Listrik pun masih belum merata. Kami masih menggunakan lampu petromak.

Ketika salah seorang tetangga mengkhitan anaknya, menonton televisi menjadi pilihan untuk menghibur tamu undangan. Pesawat televisi disewa satu paket dengan accu-nya. Kebetulan acara khitanan digelar hari Minggu. Dengan demikian menonton TV bisa lebih siang, pukul 10 pagi.

Di luar hari tersebut, TV baru siaran sore hari. Film bisu Charlie Chaplin meramaikan suasana. Jika daya accu-nya makin melemah, gambar pun kian mengecil dan akhinrya menghilang.

Hampir setiap hari Minggu kampung tetangga menjadi tujuan untuk nonton TV. Tidak gratis, setiap orang dipungut Rp25,00 untuk biaya sewa accu. Melalui TV hitam putih itulah kami menikmati "Widuri" dari Bob Tutupoly, "Nona Anna"-nya Ade Manuhuttu, atau "Helly"-nya Chicha Koeswoyo. Filmya antara lain "Combat" yang dibintangi Vic Morrow atau Little House on The Prairie (Melissa Gilbert).

Terkadang pada malam hari nonton bareng di kantor desa, yang memasang pesawat TV inventarisnya di teras depan. Rumah-rumah pemilik TV akan dibanjiri orang jika legenda tinju dari AS, Muhammad Ali, bertanding. Bahkan sekolah pun bisa mendadak bubar kalau petinju ini main bertepatan dengan jam sekolah. Kami seringkali ikut larut dan berteriak, "Ali...Ali...Ali.."

Pementasan wayang golek, orkes melayu atau layar tancap, merupakan hiburan lain yang sering hadir di acara hajatan warga.

Ada pula grup sandiwara keliling yang tampil dari kampung ke kampung, salah satunya "Dewi Murni" dari Bandung. Biasanya mereka berada di sebuah tempat selama sepekan, untuk 4-5 kali pentas yang berlangsung pada malam hari.

Tasikmalaya adalah gudangnya orkes melayu (OM) atau orkes dangdut. Sebut saja misalnya OM Sinar Remaja, OM Palem Grup, OM Irama Gangga, OM Marantika atau OM Airlangga. Saya pernah menonton penyanyi Itje Tresnawati beraksi di panggung acara hajatan. Tentu sebelum menjadi biduan terkenal. Raja Dangdut Rhoma Irama pun berasal-usul dari kota ini.
Jatuh dari panggung

Dari semua jenis hiburan itu, wayang golek adalah favorit saya. Di kampung mana saja pementasannya, asal masih di satu desa, saya hadir dan bertahan sampai subuh. Saya akan berusaha duduk di atas panggung persis di samping kotak wayang dekat dalang. Menjadi kebanggaan jika dalang meminta saya membantunya merapikan wayang yang masuk kotak.

Kegemaran saya pada wayang golek, berawal dari Mamah yang bercerita tentang acara kesenian tersebut di radio. Pementasannya disiarkan langsung setiap malam Minggu dari Studio RRI Bandung. Dalang Tjetjep Suprijadi dari karawang salah satu dalang top ketika itu.

Saya penasaran, ingin mendengar siaran langsung itu. Hari Sabtu sepulang sekolah, saya tidur siang dari pukul 13.00 hingga 16.00. Sebagai persiapan supaya kuat melek malam harinya. Pada pukul 21.00 siarang wayang golek dimulai. Ketika seisi rumah tertidur, saya terjaga sendirian. Ditemani sapu tangan yang selalu basah. Fungsinya, jika saya mulai mengantuk maka kain basah itu diusapkan ke wajah.

Mendengarkan acara tersebut di radio, akhirnya menjadi semacam "ritual" yang tidak boleh diganggu. "Cita-cita saya ingin menjadi dalang," kata saya kepada Mamah, yang dijawabnya dengan senyuman. Gara-gara acara itu pula saya menyukai komik wayang karya RA Kosasih.

Pada sebuah pergelaran wayang golek di kampung tetangga, saya pernah mendapat malu. Seperti biasa, saya duduk di dekat kotak wayang. Menjelang tengah malam, kantuk benar-benar menyerang. Mungkin karena duduk terlalu pinggir, saya terjatuh dari atas panggung. Beruntung tanah tempat saya "mendarat" adalah lumpur sawah yang kering tapi tidak terlalu keras. Penonton pun terbahak.

Televisi hadir lebih dekat menjelang Piala Dunia 1978, ketika salah satu kerabat membelinya. Itulah pertama kalinya saya menonton pertandingan sepakbola kelas dunia lewat layar kaca. Mario Kempes menjadi idola baru. Mesin gol berambut gondrong itu berhasil membawa tim Argentina menjadi juara dunia.

***

Tulisan sebelumnya: Catatan Biasa Orang Biasa [1] Pada Mulanya Tumpukan Majalah