Sebulan sekali Bapa mengajak saya jalan-jalan ke kawasan pertokoan Cihideung. Mendatangi toko buku Kairo. Di situ terdapat berbagai buku agama dan komik berisi kisah para nabi.
Begitu menginjak kelas empat SD, ketertarikan saya pada dunia membaca mulai tumbuh. Saya mulai senang membaca suratkabar “Mingguan Pelajar” yang dibawa Bapa setiap pulang sekolah. Juga suratkabar “Suara Karya”. Bapa adalah Kepala SD Angkasa Cibeureum Tasikmakaya. Kegemaran membaca semakin meningkat, ketika saya menyadari di kamar belakang ternyata terdapat beberapa tumpukan majalah “Kiblat” dan “Panji Masyarakat” (Panjimas).
Lewat majalah-majalah itu saya pertama kali “berkenalan” dengan tokoh PLO Yaser Arafat, tokoh Muhammadiyah Lukman Harun, tokoh NU KH Idham Chalid, kolomnis Ayip Bakar, Buya HAMKA, Rosihan Anwar, Mahbub Junaidi dan Ridwan Saidi. Saya juga akrab dengan nama sejumlah wartawan Panjimas seperti Komarudin Hidayat dan Azyumardi Azra (kini keduanya mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah). Juga penulis masalah APBN, Hamzah Haz (kini mantan Wapres).
Melihat Komarudin Hidayat berpose di Panjimas dengan kamera menggantung di dada, membuat saya makin ingin tahu pekerjaan wartawan. Apalagi membaca tulisan Lukman Harun yang berisi hasil lawatannya ke kamp-kamp Palestina.
Saya lumat semua isi majalah-majalah itu, yang di antaranya sudah lapuk dan berdebu. Rupanya itulah yang mengakibatkan saya menderita sakit mata cukup lama. Mata saya merah, berair dan mengeluarkan tahi mata.
Mengetahui kondisi mata saya seperti itu, selain melarang untuk sementara membaca majalah-majalah itu, Bapa juga meminta saya berhenti dulu meminjam buku-buku dari perpustakaan umum milik Pemkab Tasikmalaya -lokasinya dulu di dekat Pasar Mambo belakang gedung pusat pemerintahan. Pelarangan itu penderitaan tersendiri bagi saya. Karena saat itu, menginjak kelas lima SD, saya sedang gandrung pula membaca buku-buku wayang karya RA Kosasih.
Di kampung saya juga ada Kang Yayat yang suka menyewakan buku komik silat berbagai judul. Mamah suka meminjamnya, dan saya masih belum diperbolehkan membacanya dengan alasan masih kecil. Karena itu, saya suka mencuri-curi kesempatan mambaca komik jika Mamah dan Bapak sedang pergi keluar rumah. Komik silat pertama yang saya baca adalah “Sayuti Jago Cengkareng”. Lupa siapa pengarangnya.
Sebulan sekali Bapa mengajak saya jalan-jalan ke kawasan pertokoan Cihideung. Mendatangi toko buku Kairo. Di situ terdapat berbagai buku agama dan komik berisi kisah para nabi.
Mengasyikan juga membaca komik-komik itu. Pemilik toko tersebut keturunan Arab-Mesir, berbicaranya lemah lembut. Sesekali Bapa membawa majalah Mangle. Maka saya mengenal penulis seperti Usep Romli, Anis Jatisunda, Wahyu Wibisana, Abdullah Mustappa dan Aam Amilia.
Belakangan Bapa juga berlangganan mingguan berbahasa Sunda Giwangkara. Cerita silat karya S. Sukandar di koran itu sangat menarik. Misalnya cerita “Si Buntung Jago Tutugan” yang bercerita tentang seorang pendekar yang gagah berani di zaman penjajahan Belanda, dengan seting lokasi daerah Garut. Cerita ini kemudian dibukukan dan menjadi dongeng di radio yang sangat digemari masyarakat.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews