Covid-19 dan Multirateralisme

Kerja bersama—baik di tingkat lokal, nasional, regional, internasional—adalah pilihan yang paling tepat untuk mengatasi krisis Covid-19 ini. Oleh karena pandemi Covid-19 adalah musuh bersama.

Minggu, 26 April 2020 | 12:44 WIB
0
235
Covid-19 dan Multirateralisme
Virus corona (Foto: kompas.com)

Pertanyaan besar yang sampai saat ini belum ada jawabannya adalah  kapan krisis karena pandemi Covid-19 akan berakhir? Apa yang akan terjadi setelah semuanya berakhir?

Apakah benar akan muncul arsitektur baru dalam hubungan internasional, baik itu dalam hal aliansi politik, kemitraan perdagangan, dan sistem ekonomi global secara keseluruhan? Atau, apakah semuanya akan sama seperti sebelum pandemi Covid-19 menguasai dunia ini?

Pandemi Covid-19 seperti blitzkrieg, serangan dadakan yang dilakukan Jerman atas Polandia, pada 1 September 1939. Tanpa ba-bi-bu, 1,5 juta tentara Jerman Nazi menggempur Polandia. Mereka menggeruduk dari utara, selatan, dan barat. Tidak hanya lewat darat, tetapi laut dan udara.

Karena serangan itu, Inggris Raya dan Perancis menyatakan perang terhadap Jerman. Dan, PD II pun dimulai. Di belahan Bumi lain, perang dimulai setelah Jepang mengebom Pearl Harbor di Hawaii, AS, 7 Desember 1941.

Enam tahun kemudian, PD II berakhir, dengan korban jiwa antara 45 – 60 juta. Jerman menyerah tanpa syarat, 8 Mei 1945. Di kawasan Timur, perang berakhir setelah AS menjatuhkan bom atas Hiroshima dan Nagasaki di Jepang. Apakah pandemi Covid-19, akan berakhir seperti itu, setelah semua negara tak berdaya?

Krisis Terburuk

Pandemi Covid-19 yang menyerang seluruh dunia sekarang ini , bisa dikatakan merupakan krisis terburuk sejak akhir PD II. Menurut Johns Hopkins University (17/4), kini pandemi Covid-19 sudah melanda 185 negara, 2,1 juta orang positif terserang, dan 146. 040 orang mati, 550.343 orang sembuh.

Akibat lanjutannya akan begitu banyak: menimbulkan instabilitas di banyak negara, krisis ekonomi, krisis politik, dan bisa jadi menimbulkan konflik. PBB menyebutnya, apa yang terjadi sekarang ini bukan hanya krisis kesehatan, melainkan krisis kemanusiaan.

Penyebaran Covid-19 yang begitu cepat, telah mendorong pemerintah di banyak negara mengambil kebijakan yang tidak biasa. Karena memang situasinya tidak biasa, belum pernah terjadi sebelumnya, maka aturan-aturan yang biasa tidak lagi diterapkan.

Sekarang ini zaman tidak normal. Aturan dan ketentuan yang biasa tidak akan mampu untuk menghambat penyebaran virus korona. Keputusan banyak negara memberlakukan lockdown, social distancing, personal distancing, karantina mandiri, pembatasan sosial bersekala luas, dan sebagainya adalah langkah untuk memutus rantai penularan Covid-19.

Akibat kebijakan-kebijakan tersebut sangat jelas. Orang terpaksa harus kerja di rumah, banyak orang yang kehilangan pekerjaan karena itu kehilangan penghasilan, usaha-usaha pun banyak yang tutup. Tidak berlebihan kalau IMF menyatakan dunia akan memasuki masa krisis yang lebih buruk dibanding krisis 2009. Bila hal itu terjadi, maka, krisis kemanusiaan itu akan semakin menjadi.

Apalagi, kalau rantai penularasan Covid-19 tidak bisa segera bisa diputus karena banyak orang tidak mau berdisiplin menaati aturan dan ketentuan yang digariskan pemerintah, maka krisis kemanusiaan itu akan semakin parah.

Musuh Bersama

Pandemi Covid-19 benar-benar mengubah cara hidup kita, manusia. Banyak negara menempuh kebijakan menutup negerinya, lockdown; selain itu pandemi Covid-19 juga telah mengakibatkan tutupnya demikian banyak usaha bisnis di seluruh dunia.

Ketika serangan Covid-19 sedang mulai dirasakan sejumlah negara, awal tahun ini, masih berkeyakinan bahwa langkah yang terbaik adalah “mengurusi diri kami sendiri” (go national). Ada pula yang semakin menegakkan kebijakan “unilateralisme,” tidak mau berurusan dengan negara lain.

Maka banyak negara segera mengambil langkah sepihak: lockdown, menutup semua perbatasannya agar orang luar tidak masuk.

Egoisme masing-masing negara semakin menonjol: “Yang paling penting kami, kamu uruslah dirimu sendiri,” atau “Yang penting saya.” Kira-kira semacam itu sikap-sikap atau kebijakan setiap negara pada mulanya.

Akan tetapi, semakin lama semakin disadari oleh para pemimpin negara, para pemimpin dunia bahwa tak satu pun negara akan mampu keluar dari krisis tersebut secara sendiri. Pandemi Covid-19 sudah menyebar ke  seluruh dunia; membahayakan banyak kehidupan manusia, dan mengguncang fondasi cara hidup manusia.

Sampai pada titik ini, muncul kesadaran baru atau menyadarkan bahwa sikap unilateralisme sangatlah tidak benar dan harus ditinggalkan kembali ke multilateralisme, kebersamaan. Covid-19 adalah musuh bersama, yang harus pula dihadapi secara bersama-sama.

Pandemi Covid-19 telah menegaskan bahwa “kita adalah satu dan saling terhubung.” Dunia itu satu.

Usaha untuk mempertegas perbatasan antar negara, misalnya, untuk menjadi pemisah, nyaris tidak ada gunanya. Virus korona, tidak peduli dengan perbatasan-perbatasan.

Pembedaan orang berdasarkan nasionalitas, etnisitas, suku, gender, atau bahkan agama juga sama sekali tidak ada gunanya bagi virus korona. Semua diterjang, ditembus.

Hal semacam itu juga berlaku di negeri ini, Indonesia: virus korona tidak membeda-mbedakan apa pun, semuanya sama saja, menjadi targetnya.

Oleh karena itu, yang dibutuhkan sekarang ini adalah solusi terkoordinasi, perlu ada kerja sama multilateral, organisasi multilateral untuk mengatasi semua itu. Itu di tingkat dunia. Di negeri kita, tentu terkoordinasi dari pusat hingga daerah; tidak bisa daerah main sendiri-sendiri, sesuai keinginannya masing-masing, sekadar untuk mencari popularitas di atas bencana.

Ada yang mengatakan, bila mau bekerja sendiri menyelesaikan krisis ini bagaikan “berusaha menguras laut dengan sendok,” yang ada hanya capai, lelah tetapi tanpa hasil.

Pendek kata, kerja bersama—baik di tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional—adalah pilihan yang paling tepat untuk mengatasi krisis Covid-19 ini. Oleh karena pandemi Covid-19 adalah musuh bersama, karena itu harus pula diatasi secara bersama pula. 

Trias Kuncahyono

***