Pemimpin Cuci Tangan Rakyat Kalap (1)

Kita punya modal dasar menghadapi semua itu. Ialah tubuh kita sendiri. Bagaimana agar tubuh punya daya imunitas tinggi, daya tahan banting.

Senin, 30 Maret 2020 | 06:33 WIB
0
160
Pemimpin Cuci Tangan Rakyat Kalap (1)
Ilustrasi (Foto: Facebook/Sunardian Wirodono)

Menghadapi Coronavirus (Covid-19), apa yang dianjurkan pemimpin di semua level? Dari Presiden hingga ketua RT? Ajakan cuci tangan mungkin yang paling kerap.

Di lingkungan saya, masyarakat panik. Bergerak sendiri-sendiri. Pemerintah Pusat mengatakan protokal-protokol, tapi sampai di mana itu protocol? Belum lama lalu, di lingkungan saya beredar berita satu orang positif Corona. Info itu sudah menyebar sampai ke kota. Biasa, melalui berbagai WAG yang liar nembus ke mana-mana. Masyarakat kita amat ringan tangan mencet-mencet keypad ponsel mereka. ‘Saring sebelum share’ mungkin dimaknai share before sare, nyebar sakderenge bobo.

Untung ada teman dokter di Puskesmas Kecamatan, dan ketika dikonfirmasi orang yang diisukan terkena itu, sama sekali negatif. Itu sekedar contoh, di antara rakyat sendiri, saling salang-tunjang, Baik karena ketidaktahuan atau sengaja memancing di air comberan. Di dunia digital ini ada anggota masyarakat yang juga anggota penjahat.

Beberapa wilayah melakukan “semacam” lockdown. Tapi tak ada SOP yang mereka pegang. System dan mekanisme atas inisiatif dan kreativitas masing-masing. Padal, dalam perkembangan, para ahli medis dunia semakin banyak yang mengakui lockdown sama sekali kagak ngaruh.

Spanyol, negara yang melakukan lockdown, jebol juga. Prestasinya cukup nggegirisi, negara itu nomor dua terbanyak kena Corona setelah Italia. Jadi Mardani Ali Sera dan segerombolannya, yang suka teriak lokdan-lokdon, karena bukan ahlinya tak perlu didengarkan.

Ada beberapa wilayah yang bagus dalam antisipasi pandemi. Beberapa melakukan gerakan sosial, baik itu tingkat desa, dusun, kampung, pemukiman perumahan, dan sebagainya.

Ada yang bertanggungjawab, bahkan sebuah dusun Jawa Tengah, memberi insentif Rp50 ribu tiap hari per-KK. Ada yang melakukan mitigasi pandemi secara mandiri seperti salah satu desa di Bantul. Mengajak masyarakat berbudidaya toga (tanaman obat keluarga, seperti tanaman kelor) di salah satu desa Kawasan Pantura. Mereka menerapkan SOP untuk orang keluar masuk wilayahnya, meski dengan alat sederhana. Itu lebih beradab, dibanding menutup wilayah dari orang lain.

Manusia adalah makhluk sosial, itu kata para sosiolog dan mungkin budayawan. Tapi ketika semua orang menghimbau ‘tinggal di rumah saja’, ‘keluar rumah jika ada keperluan saja’, lantas bagaimana manusia memenuhi hajat hidup atau keperluannya?

Tak ada manusia hidup tanpa keperluan. Karena kalau nggak ada keperluannya, ngapain hidup? Apalagi kini masalah baru muncul, beberapa orang stress, karena ekonominya hancur. Dan itu memperlemah imunitasnya.

Kita punya modal dasar menghadapi semua itu. Ialah tubuh kita sendiri. Bagaimana agar tubuh punya daya imunitas tinggi, daya tahan banting. Melakukan gerakan antisipasi, agar tidak antisosial, untuk meningkatkan antibodi, dan antihoax. 

(Bersambung)