Pendidikan Jarak Jauh: Dari Perspektif Teknologi ke Pedagogi

Pemfokusan pada aspek pedagogi ini juga diharapkan mampu memberikan jawaban solutif terhadap berbagai kritik terhadap persoalan-persoalan selama ini dinisbatkan kepada PJJ.

Rabu, 26 Mei 2021 | 11:45 WIB
0
613
Pendidikan Jarak Jauh: Dari Perspektif Teknologi ke Pedagogi
Evolusi Teknologi dan Pedagogi dalam Pendidikan Jarak Jauh

Pedagogi, Andragogi, dan Heutagogi

Dalam sejumlah referensi, ada tiga konsep akademis yang saling berkaitan, yaitu pedagogi, andragogi, dan heutagogi. Semuanya digunakan dan terkait dengan bidang pendidikan. Secara sederhana ketiga konsep tersebut dapat dimaknai sebagai “ilmu atau seni mendidik/membimbing”. Yang membedakan ketiganya adalah “subjek peserta didik atau pebelajar” dan bagaimana proses belajar itu terjadi.

Subjek belajar pedagogi adalah anak-anak atau orang yang belum dewasa (país), dimana proses belajar dilakukan secara terbimbing oleh orang dewasa (guru, tutor, instruktur, dll). Subjek belajar andragogi adalah orang dewasa (adult), dimana dan proses belajar dilakukan secara otonom atas dasar arahan subjek belajar sendiri (self-directed) dengan dan/atau tanpa bantuan atau fasilitasi dari sejawat dan sumber belajar lainnya. Sementara subjek belajar heutagogi adalah anak-anak dan/atau orang dewasa, dimana proses belajar dilakukan secara mandiri oleh subjek belajar (self-determined learning) tanpa bantuan atau fasilitasi orang lain.

Dengan pemaknaan pedagogi (andragogi dan heutagogi) seperti itu, maka persepsi dan kesan mental (mental image) yang muncul adalah bahwa pebelajar/sejawat dan pembelajar/peserta didik harus hadir secara langsung dalam waktu dan tempat yang sama (sinkronus), sehingga proses atau aktivitas mendidik/membimbing bisa terjadi.

Dengan persepsi dan kesan seperti itu, sangat bisa dipahami (walaupun tidak harus setuju) jika ada yang secara naif berpendapat bahwa “dalam PJJ teknologi menang, dan pedagogi kalah. PJJ itu hanya soal teknologi, tidak ada pedagogi dalam PJJ”. Ketiadaan pedagogi menyebabkan PJJ tidak mungkin mampu menjadikan siswa mandiri, meningkatkan kemampuan kognitif dan memecahkan masalah, dll. (Faza, 2020).

Persepsi dan kesan tersebut semakin menguat dengan adanya beragam pendapat yang kerap menisbatkan dan mewacanakan PJJ dalam perspektif “teknologi” (technological perspective of distance education).

 

Teknologi: Teori Arus Utama dalam PJJ

Pemaknaan dalam perspektif teknologi (technological determinism) ini menjadi mainstream dalam teori, paradigma dan praktik PJJ dalam kurun waktu lima dekade lalu. Sejak PJJ pertama kali dikaji dan didefinisikan secara akademik sebagai “inovasi teknologi” untuk oleh Otto Peters tahun 1967. Sementara, praktik PJJ itu sendiri menurut Peters sesungguhnya telah berlangsung sejak 130an tahun lalu, yaitu tahun 1840an (Wikipedia).

Oleh sebab itu pula, setiap kita berbicara tentang PJJ ‘bisa dipastikan’ akan dimaknai sebagai sebuah evolusi/revolusi penggunaan dan integrasi teknologi baru dan inovatif dalam rangka untuk menjembatani keterpisahan antara pembelajar dan pebelajar agar interaksi, transaksi, kolaborasi, dan transformasi pembelajaran terjadi. “Distance Education is, by definition, technologically mediated and thus is influenced by technological determinism”, kata Anderson (2011).

Bahkan, paradigma teknologi ini, juga digunakan di dalam semua dokumen peraturan perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan operasional lainnya terkait PJJ di Indonesia (misalnya: UU no.20/2003, no.12/2012; Permendikbud no.24/2012, no.109/2013, no.4/2014, no.50/2014, no.87/2014, no.3/2020, no.7/2020; Permenristekdikti no.2/2016).

Hal inilah yang penulis pandang menjadi salah satu penyebab terjadinya miskonsepsi tentang PJJ, khususnya relasi antara teknologi dan pedagogi dalam PJJ, serta ada tidaknya pedagogi dalam PJJ. Seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya.

Dalam perspektif teknologi, PJJ digambarkan sebagai evolusi berkelanjutan dari modus atau sistem penyampaian (delivery system) berbasis penggunaan teknologi informasi, komunikasi dan jejaring, yaitu dari model korespondensi berbasis teknologi cetak dan elektronik (Generasi 1), multi-media konferensi (radio dan televisi) (Generasi 2), tele-learning berbasis teknologi informasi dan komunikasi (ICT) (Generasi 3), flexible learning berbasis teknologi daring via internet (Generasi 4), intelligent flexible learning berbasis teknologi otomasi dan interaktivitas internet (Generasi 5) (Taylor, 2001).

Sedikit sekali para pakar yang membahas PJJ dalam perspektif “pedagogi” (pedagogical perspective of distance education). Padahal, sejatinya, PJJ dapat dimaknai dari tiga perspektif secara sintesis terintegrasi, yakni perspektif teknologi, pedagogi, dan organisasi (Aoki, 2012).

 

Pedagogi: Paradigma Baru dalam PJJ

Sejauh yang bisa ditelusuri dari jejak-jejak referensi yang ada, pemaknaan PJJ dalam perspektif pedagogi, baru dilakukan oleh Terry Anderson dan Jon Dron (2010) melalui artikel berjudul “Three Generations of Distance Education Pedagogy.” Hasil meta analisis yang mereka lakukan mengungkap adanya tiga konstruksi tipologi pedagogi dalam praktik penyelenggaraan PJJ.

Ketiga pedagogi PJJ tersebut adalah “kognitif-behaviorisme” (cognitive-behaviorist pedagogy), “sosial-konstruktivisme” (social-constructivist pedagogy), dan “konektivisme” (connectivist pedagogy) (Anderson & Dron, 2010). Ketiganya fokus pada aspek evolusi rekayasa desain pembelajaran (konten, konteks, dan ekspektasi) dalam mengemas (enkapsulasi) pengalaman belajar peserta didik secara bermakna, daripada aspek rekayasa teknologi dalam pembelajaran.

Pedagogi “kognitif-behaviorisme” adalah pedagogi yang menekankan dan fokus pada individu-pebelajar. Pengalaman pembelajar menurut pedagogi ini dikemas dalam bentuk kegiatan atau aktivitas belajar yang sesuai dengan gaya, bakat, minat belajar individu. Jadwal, kecepatan, dan waktu belajar pun juga diatur atau ditentukan sendiri oleh masing-masing individu pebelajar.

Pedagogi kognitif-behaviorisme ini direkonstruksi berdasarkan teori-teori behaviorisme (Edward Watson, John Thordike, B.F. Skinner), dan kognitif (Piaget) yang kemudian menghasilkan beragam model intervensi dan desain pembelajaran seperti direct instruction (Siegfried Engelmann and Dr. Wesley Becker), events of instruction (Robert Gagne), dll.

Pembelajaran mandiri (self-paced learning), atau belajar/studi individual (individual study, self-study) sangat sesuai dengan pedagogi ini, juga sangat cocok digunakan dalam PJJ. Pembelajaran ini menekankan kemandirian belajar dalam mempelajari beragam konten dan sumber yang tersedia, menyelesaikan tugas-tugas pembelajaran sesuai dengan gaya, kecepatan, waktu dan jadwal masing-masing individu pebelajar (easyLMS.com).

Menempatkan lokus kontrol pada diri pebelajar sendiri juga mampu meredusi adanya tekanan waktu, mengeliminasi kebutuhan pengaturan jadwal yang ketat, mengurangi gangguan belajar dari orang lain, dan sesuai dengan perbedaan gaya belajar individual. Mahasiswa bisa belajar kapan saja (anytime), dimana saja (anywhere), dengan siapa saja (anywho) secara daring dan/atau tatap muka.

Pedagogi “sosial-konstruktivisme” adalah pedagogi yang menekankan dan fokus pada pengemasan pembelajaran yang memungkinkan pebelajar mengkonstruksi makna-makna (pengetahuan baru) melalui penciptaan lingkungan pembelajaran yang secara terbuka memungkinkan terjadinya diskusi, interaksi, komunikasi, transaksi dan kolaborasi sosial antara pebelajar dengan orang lain (guru, tutor, sejawat, dll) selama proses pembelajaran berlangsung.

Pedagogi sosial-konstruktivisme ini direkonstruksi berdasarkan teori-teori konstruktivisme sosial (Lev Vygotsky, John Dewey) yang kemudian menghasilkan model pembelajaran transaksional (Michael Moore) yang sangat populer dalam PJJ.

Menurut pedagogi ini, penciptaan makna (pengetahuan baru) tidak terjadi melalui proses atau aktivitas transmisi pengetahuan (knowledge transmission) dari pembelajar (guru, tutor, instruktur, dll.) kepada pebelajar (peserta didik), sebagaimana diyakini oleh paham kognitif-behavioristik. Makna hanya tercipta melalui proses pembelajaran berbasis komunikasi antar-manusia (human communications-based learning) dalam sebuah iklim pembelajaran yang aktif, interaktif, partisipatif, dan komunikatif.

Pembelajaran dalam bentuk kelompok-kelompok belajar (learning group) yang memungkinkan terjadi proses “many-to-many communication” baik melalui email, papan bulletin (bulletin board), dan/atau forum-forum diskusi/chatting/dialog via internet sangat sesuai dengan pedagogi ini, juga sangat cocok digunakan dalam PJJ.

Pedagogi “konektivisme” adalah pedagogi yang menekankan dan memfokuskan pada pengemasan pembelajaran yang memfasilitasi pebelajar agar mampu membangun, menciptakan, dan memelihara jaringan dan kumpulan (networks and collectives) informasi (content), narahubung (people), dan sumber-sumber belajar (digital artifacts) yang berkaitan langsung dengan persoalan nyata secara berkelanjutan. Kemampuan melakukan penghubungan-penghubungan seperti ini, karenanya, merupakan hal yang lebih penting dalam pedagodi ini, dalam rangka penciptaan pengetahuan-pengetahuan baru.

Pedagogi ini muncul di era keterbukaan informasi digital akhir-akhir ini, dan karenanya sangat khas atau karekteristik dalam PJJ. Pedagogi ini direkonstruksi berdasarkan teori konektivisme (George Siemens, Stephen Downes) yang secara teoretik mengintegrasikan prinsip-prinsip dari teori keos, jejaring, kompleksitas, dan organisasi-diri, serta memiliki kaitan dengan pedagogi partisipatoris, kompleksitas, dan transparansi.

Pembelajaran dalam bentuk memparpartisipasi-aktifkan pebelajar dalam kegiatan atau aktivitas akademik yang menantang, aktif dan kolaboratif, interaksi antara pebelajar-institusi, pemberian pengayaan pengalaman belajar, dan interaksi sosial yang supportif sangat baik, untuk memberikan pengalaman belajar bermakna bagi pebelajar, khususnya dalam membangun jaringan konseptual antara “content—people--digital artifacts.”

Pembelajaran metode “learning web” yang diturunkan dari teori “Deschooling Society” (Masyarakat Tanpa Sekolah) Ivan Illich (1972), juga bisa digunakan. Metode ini memungkinkan peserta didik mencari, menemukan teman-sebaya yang cocok, dan membangun jaringan pertemanan berbasis internet (peer-matching).

Evolusi ketiga pedagogi tersebut, berkembang secara paralel dengan lima generasi penggunaan teknologi informasi, komunikasi, dan jejaring PJJ.

Pedagogi kognitif-behaviorisme digunakan paralel dengan teknologi pertama dan kedua PJJ (korespondensi & multimedia). Pedagogi sosial-konstruktivisme digunakan paralel dengan teknologi ketiga dan keempat PJJ (tele-learning dan flexible learning). Dan pedagogi konektivisme digunakan paralel dengan teknologi ketiga PJJ (intelligent flexible learning) (Power, 2008).

Dari perspektif pedagogi ini, PJJ dapat didefinisikan sebagai sebuah desain pengalaman belajar melalui pemanfaatan konten, narahubung, dan sumber belajar secara maksimal serta memungkinkan transaksi dan kolaborasi antara pembelajar-pebelajar atas dasar prinsip kemandirian belajar dan keterpisahan antara pembelajar-pebelajar. 

Model Pembelajaran Integratif

Integrasi ketiga pedagogi PJJ tersebut telah menghasilkan sebuah model pembelajaran yang kini dianggap paling kompleks memetakan beragam isu dan persoalan pembelajaran dalam platform PJJ. Model pembelajaran tersebut adalah “Community of Inquiry (CoI)” (Garrison et al., 2000). Model ini dikembangkan berdasarkan pemikiran John Dewey (1938) tentang berpikir inkuiri-reflektif.

CoI merupakan sebuah kerangka teori dan model konseptual bagaimana pembelajaran online dikelola sebagai sebuah proses penciptaan pengalaman belajar secara bermakna dan mendalam (a deep and meaningful learning experience) melalui lingkungan pembelajaran yang kolaboratif dan konstruktif.

Menurut mereka, model tersebut sekaligus mampu menghadirkan tiga unsur penting di dalam proses pembelajaran, yaitu kehadiran (presence atau engagement). Ketiganya bersifat interdependen (saling berkelindan) satu dengan yang lain dalam rangka menciptakan dan membangun aktivitas pembelajaran dan pengalaman belajar yang aktif, interaktif, partisipatif, dan kolaboratif dalam konteks PJJ.

Ketiga unsur tersebut adalah 1) social presence: yaitu kehadiran individu-individu pebelajar sebagai partisipan dalam bentuk interaksi, komunikasi, dan partisipasi di dalam kelas pembelajaran; 2) teaching presence; yaitu kehadiran pembelajar/pendidik sebagai perancang, fasilitator, pembimbing, pendamping bagi pebelajar dalam melakukan proses-proses kognitif dan sosial bagi diraihnya capaian pembelajaran; dan 3) cognitive presence: yaitu kehadiran pebelajar secara ekstensif dalam proses-proses kognitif untuk membangun dan mengonfirmasi makna-makna melalui aktivitas refleksi dan diskursus berkesinambungan.

Akhirnya, kita berharap, adanya pergeseran perspektif pemaknaan dari determinisme “teknlogi” ke “pedagogi” dalam teori dan praktik PJJ menginspirasi para pakar, pengembang, pemerhati, dan praktisi PJJ di Indonesia, khususnya spesialisasi bidang pengembangan desain instruksional untuk lebih fokus pada pengembangan desain pembelajaran (teori, model dan praktik pembelajaran) yang karakteristik PJJ, dan tidak melulu pada aspek teknologi. Sebuah tantangan baru yang perlu dijawab dan diikhtiarkan bersama oleh komunitas PJJ.

Pemfokusan pada aspek pedagogi ini juga diharapkan mampu memberikan jawaban solutif terhadap berbagai kritik terhadap persoalan-persoalan selama ini dinisbatkan kepada PJJ. Seperti, learning loss/lost, learning dis-engagement (ghosting), kebosanan dan kejenuhan belajar, kesendirian/keterasingan dalam belajar, penurunan capaian pembelajaran, keberlanjutan dan ketuntasan studi (persistence and completion rates), hingga persoalan pendidikan nilai dan karakter, dll. yang ditengarai dialami peserta didik selama proses pembelajaran PJJ berlangsung (sinkronus atau a-sinkronus).  

Salam.