Tak Perlu Panik, Tangani Covid-19 Gunakan Kecerdasan Kolektif

Masa-masa kritis ini perlu menjadi perhatian bersama agar daya tular virus corona ini bisa dikendalikan.

Selasa, 24 Maret 2020 | 12:40 WIB
0
418
Tak Perlu Panik, Tangani Covid-19 Gunakan Kecerdasan Kolektif
Ilustrasi robot big data (Foto: katadata.co.id)

Dengan mendengarkan diskusi dalam video ini, dan juga mempelajari analisa berbagai ahli, saya berkesimpulan bahwa yang paling penting harus dilakukan saat ini adalah menangani dampak kepanikan akibat penyebaran virus yang memang luar biasa cepat. Lihat grafik dalam lampiran.

Coba lihat video berikut ini sampai habis:

Juga video yang ini:

Masalahnya, cara mengurangi kepanikan publik justru harus dilakukan dengan memberikan penjelasan yang "truthful" (tidak menutup-nutupi atau "denial") tetapi juga harus wajar dan proporsional.

Bisa jadi, juru bicara untuk masalah ini harus dilakukan oleh tim orang-orang terpercaya yang ahli dalam bidang masing masing. Bukan oleh birokrat atau pejabat semata. Apalagi oleh individu individu yang disinyalir kurang kredibel karena sudah dipersepsikan bernuansa politis (tidak objektif).

Dari penjelasan para ahli, tingkat daya perusaknya Covid 19 ini sebenarnya tak seseram yang dibayangkan atau tergambar dalam media. Demam berdarah bisa jadi lebih berbahaya. Hanya saja, karena daya tular yang luar biasa, ditambah efek media yang telah menjadikan Covid 19 seperti momok, tentu dapat berakibat pada munculnya "tsunami" pasien yang datang berbondong-bondong ke rumah sakit saat mereka khawatir karena merasakan gejala sakit demam, pilek, dan suhu badan naik.

Kalau jumlah yang tertular membengkak drastis, fasilitas dan tenaga medis diperkirakan tak akan bisa menampung para pasien yg datang. Bila ini terjadi, jelas akan menambah kekhawatiran masyarakat.

Satu Malam "Berkerumun" di Ruang Isolasi RSUD Pasar Minggu.

Lihat video ini. Para dokter di Amerika saja mulai khawatir karena belum tersedianya peralatan memadai. Di sana juga ada kendala birokrasi yang memperlambat distribusi. Di negara kita? Selain birokasi, juga uang.

Bila jumlah yang tertular membesar pada kelompok rentan, seperti kelompok lanjut usia atau kelompok yang sudah membawa penyakit lain sehingga daya tubuh melemah, tingkat kematian akan tinggi. Lihat pengalaman China, Italia, dan Iran. Media tentu akan memberitakan kematian ini dan tentu akan menambah kepanikan.

Namun, daya perusak virus Corona ini juga tak boleh disepelekan. Menurut sebagian ahli, penyebaran virus Corona di Indonesia bisa menjadi lebih berbahaya karena masyarakat di negeri ini terbiasa mengkonsumsi gula tinggi, rendah dalam aktivitas fisik (kurang olah-raga), banyak yang memiliki gangguan ginjal, TBC dan sangat besar jumlah pecandu rokok. Jadi, bila terkena virus ini tingkat kematian bisa lebih tinggi lagi.

Karena itu, agar hal itu tidak terjadi, menurut saya, saat ini perlu segera dilakukan:

1. Buat penjelasan secara baik ke publik terkait virus Covid 19 ini dengan cara ilmiah, tapi tak terkesan meremehkan, dan juga tak terkesan berlebihan sehingga menambah momok yang sudah tersebar.

2. Perlu kampanye meningkatkan daya ketahanan tubuh dengan ramai-ramai mendorong mengkonsumsi Vitamin C (seperti mengkonsumsi makanan alami dan mudah dijangkau rakyat-- jeruk, lemon, nanas dan juga cabai) dan juga Vitamin E (seperti toge, daun kelor dll). Bila yang dianjurkan mengkonsumsi Vitamin C dan E dalam bentuk kemasan yang dijual di toko obat, bisa juga akan meresahkan rakyat, terutama bila mereka tak dapat menjangkaunya. Kasus ketidak-mampuan rakyat membeli masker dapat jadi pelajaran.

3. Meningkatkan kebersihan lingkungan melalui upaya membersihkan tempat tempat yang sangat mudah menjadi media penular (seperti lokasi yg sering dipegang tangan; handle pintu, railing tangga, wastafel dll).

4. Mewajibkan penggunaan masker bagi yang sakit (batuk, pilek, suka bersin dll) saat mereka berada di tengah masyarakat. Tanggung jawab sosial harus ditumbuhkan. Bisa jadi, sanksi sosial juga harus diberlakukan bagi mereka yang melanggar. Ini semua dilakukan untuk mengurangi kuatnya daya tular virus corona ini.

5. Mewajibkan tinggal di rumah bagi yang sudah sakit/demam atau sudah mengalami gejala kurang sehat. Mereka dianjurkan untuk periksa ke dokter. Sentra sentra pelayanan untuk test virus corona harus disediakan secara masif dan digratiskan.

6. Memberikan pelayanan "jemput ke rumah" bagi mereka yang sudah mengalami gejala sesak nafas, terutama bagi kelompok rentan (orang berusia lebih dari 60 tahun atau yang memiliki riwayat penyakit pernafasan spt asma, paru paru, dll).

7. Mendorong dilakukannya "social distancing" dengan mengurangi kehadiran di kerumunan atau lokasi yang membuat pengunjung berdempetan/berdesakan. Ini penting agar mereka terhindar dari lendir yang mungkin sewaktu waktu dapat tersebar akibat pengunjung didekatnya batuk, pilek dan bersin.

Masa-masa kritis ini perlu menjadi perhatian bersama agar daya tular virus corona ini bisa dikendalikan. Tak perlu panik karena tingkat bahaya virus ini tak sedahsyat yang digambarkan. Namun, sekali lagi, secara kolektif kita perlu menghindarkan diri dari munculnya penyebaran virus ini secara luas dan bersamaan.

Daya tampung rumah sakit dan tenaga medis kita jelas tak akan mungkin menampung pasien yang membludak bagaikan air bah yang datang tiba tiba. Amerika saja saat ini mengalami kesulitan akibat langkanya peralatan test virus corona yang seharusnya tersedia.

(Saya masih ragu ucapan Drh. Indro Cahyono yang mengatakan bahwa orang yang sudah sembuh dari coronavirus tak bisa tertular virus ini kembali. Dari berita yang saya baca, tak demikian. Biarlah para ahli membuktikan. Yang jelas, kita tetap harus hati hati dan jaga ketahanan tubuh).

Baca juga artikel berikut yang ditulis ahlinya:

COVID-19: MATEMATIKA SEDERGANA DAN DARURAT SISTEN KESEHATAN INDONESIA

Oleh: Drg Monica Nirmala, MPH (alumnus Harvard Scool of Public Health)

Banyak dari kita mungkin masih tidak terbayang seberapa besar dampak COVID-19 bagi Indonesia khususnya bagi sistem kesehatan. Saya mau ajak kita semua berhitung secara sederhana, berdasarkan data yang sudah ada terkait pandemi COVID-19 sejauh ini.

Estimasi berdasarkan data:

* 20% total populasi orang dewasa akan terinfeksi COVID-19. (Ini estimasi yang konservatif, karena ilmuwan Dr. Lipsitch dari Harvard memperkirakan 20-60% populasi dewasa akan terinfeksi COVID-19.)

* 20% pasien COVID-19 membutuhkan opname di rumah sakit (15% rawat inap biasa, 5% rawat intensif). 80% pasien hanya akan menunjukan gejala ringan, sehingga tidak butuh diopname.

* 3% fatality rate (persentase kematian berdasarkan kasus yang terkonfirmasi). (WHO)

* Penularan COVID-19 bertambah secara eksponensial dengan faktor 1.15. Artinya, dibutuhkan waktu 20 hari dari jumlah kasus 100 menjadi 1000, dan kemudian 13 hari dari jumlah kasus 1,000 menjadi 10,000.

Contoh:
Sekarang mari kita ambil contoh Provinsi X di Indonesia. (Saya samarkan nama provinsinya, tetapi data sesuai dengan kenyataan di lapangan, dan sudah ada suspek kasus COVID-19 dari sana).

Provinsi X punya penduduk 2 juta orang. Artinya, seiring waktu berjalan diperkirakan 400.000 orang di sana akan terinfeksi COVID-19, 80.000 orang di antaranya akan butuh dirawat di rumah sakit (60,000 rawat inap biasa, 20.000 rawat intensif), 12.000 akan meninggal karena COVID-19.

Rasio tempat tidur rumah sakit berbanding jumlah penduduk di Provinsi X adalah 1:1000. Artinya, di Provinsi X hanya tersedia 2.000 total tempat tidur rumah sakit. Ini sudah jumlah gabungan semua ruangan rawat inap (isolasi, rawat inap biasa, ICU, dan HCU). Saya belum tahu jumlah ventilator di Provinsi X, tetapi perkiraan saya jauh di bawah angka 20.000 (jumlah orang yang membutuhkan perawatan intensif).

Dengan pertumbuhan COVID-19 secara eksponensial, Provinsi X akan mencapai angka 2.000 pasien COVID-19 yang butuh rawat inap (maksimal kapasitas rumah sakit di Provinsi X) dalam waktu 40 hari sejak orang pertama terinfeksi. Ledakan pasien seperti ini yang terjadi pada Italia, Iran, Korsel, dan China. Itu juga mengapa China harus segera membangun rumah sakit dalam waktu 1 minggu saja.

COVID-19 adalah kegawatdaruratan untuk sistem kesehatan kita. Bagaimana caranya Provinsi X merawat 80.000 orang pasien hanya dengan 2.000 tempat tidur? Apa lagi masih ada pasien-pasien penyakit lainnya yang biasanya sudah memenuhi setidaknya 70% dari total tempat tidur (bed occupancy rate).

Satu-satunya cara adalah dengan memperlambat penularan sebisa mungkin. Kita harus menunda membludaknya pasien, agar sistem kesehatan kita tidak kolaps. Dengan kata lain atau “kasarnya”, kita sakitnya harus gantian. Kalau kita sakit berbarengan, sistem kesehatan kita pasti ambruk. Pasien-pasien akan dirawat di selasar-selasar rumah sakit, atau tidak akan kebagian tempat rawat sama sekali, bisa jadi berjatuhan korban dari kalangan tenaga medis, dst. Ini adalah potret yang sangat mengerikan. Bahkan Italia menggambarkan situasi sekarang di sana seperti di medan perang.

Lalu, bagaimana caranya kita bisa memperlambat penularan?

1) Tekan angka interaksi sosial. Berdiam dalam rumah, karantina, meliburkan sementara sekolah, batalkan/hindari acara-acara yang mengumpulkan banyak orang (konser, berdesakan di kereta/bus), menunda mudik, dll adalah cara-cara sangat penting yang harus kita upayakan sekarang juga!

Jika 1 orang saja yang positif COVID-19 batuk/bersin maka orang-orang berjarak 2 meter dari orang tersebut dapat terpapar dan bisa menularkan ke keluarga di rumah, sehingga akan menambah laju penularan secara signifikan. Bayangkan jika ada beberapa orang yang positif (tapi tidak sadar) yang kemudian menularkan ke banyak orang.

2) Lacak, tes, obati (trace, test, treat). Suspek dan pasien COVID-19 harus segera dikarantina ketat. Seluruh kontak harus diselidiki dan dipantau. Lakukan perawatan yang memadai.

Kita sudah TIDAK PUNYA WAKTU untuk ‘santuy'. Tidak perlu panik, tetapi kita harus waspada dan mempersiapkan diri. Tulisan adalah semata-mata matematika sederhana yang menunjukkan betapa besarnya gelombang pandemi COVID-19 yang sudah di depan mata kita.

Penulis: drg. Monica Nirmala, MPH
(Fulbright scholar, MPH 2020 - Harvard University, FKG UI 2006)

Referensi dan inspirasi:
1. https://www.hsph.harvard.edu/…/the-latest-on-the-coronavir…/
2. Wu Z, McGoogan JM. Characteristics of and Important Lessons From the Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Outbreak in China: Summary of a Report of 72 314 Cases From the Chinese Center for Disease Control and Prevention. JAMA. Published online February 24, 2020. doi:10.1001/jama.2020.2648 https://jamanetwork.com/journals/jama/fullarticle/2762130
3. https://medium.com/…/coronavirus-act-today-or-people-will-d…
4. https://feld.com/…/…/03/exponential-growth-and-covid-19.html
5. https://www.cdc.gov/…/clinical-guidance-management-patients…
6. Indonesia, K. R. (2019). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2018.
7. https://www.youtube.com/watch?v=Kas0tIxDvrg&feature=youtu.be
8. https://www.nytimes.com/…/12italy-coronavirus-health-care.h…
9. https://www.sciencemag.org/…/does-closing-schools-slow-spre…

Imam B. Prasodjo

***