17 Agustus 2019 Bangsa Indonesia Diingatkan Kembali Kebesaran Jenderal Soedirman

Penyakit TBC yang diidapnya kambuh; ia pensiun dan pindah ke Magelang. Soedirman wafat kurang lebih satu bulan setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia.

Selasa, 20 Agustus 2019 | 07:37 WIB
0
304
17 Agustus 2019 Bangsa Indonesia Diingatkan Kembali Kebesaran Jenderal Soedirman
Jenderal Besar Soedirman (Foto: Liputan6.com)

Baru saja pada hari Senin, 29 Juli 2019, bangsa Indonesia menyaksikan di Kementerian Pertahanan (Kemhan) Republik Indonesia (RI), Jakarta,  Menteri Pertahanan (Menhan) RI, Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu membuka  penyelenggaraaan silaturahmi Purnawirawan TNI dan ziarah bersama ke makam Panglima Besar (Pangsar) Jenderal Soedirman dengan tema "Dengan Jiwa Sapta Marga dan Sumpah Prajurit, Keluarga Besar TNI Selalu Menjaga Soliditas Guna Mengawal Keutuhan NKRI."

Menhan dalam sambutannya mengatakan bahwa latar belakang sejarah TNI telah menempatkan TNI menjadi salah satu institusi terpenting dalam sejarah Indonesia, selain sebagai kekuatan bersenjata yang besar, maka TNI juga memiliki kekuatan sosiopolitik dan kultural yang sangat menentukan dalam setiap pengambilan keputusan dan kebijakan negara.

"Ada 3 (tiga) macam tentara di negara ini yaitu prajurit TNI aktif, Purnawirawan dan TNI pecatan. Dalam hal ini TNI aktif dan Purnawirawan akan terus terikat dengan sumpah dan janjinya yaitu Sapta Marga dan Sumpah Prajurit,"  ujar Menhan.

Menurut Menhan, menjadi Tentara tidak sama dengan menjadi jabatan Direktur, Bupati atau Gubernur. Tentara itu jiwa, Bupati atau Gubernur itu jabatan. Jabatan akan ditinggalkan dan meninggalkan (dengan paksa) orang yang menyandangnya. Sedangkan ketentaraan adalah jiwa yang menyatu dengan manusianya, adalah ruh yang tak bisa dicopot kecuali oleh pengkhianatan dan ketidaksetiaan, adalah kepribadian yang mendarah daging sampai maut tiba.

TNI dan rakyat adalah suatu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan, oleh karena itu tidak ada istilah dikotomi Sipil dan Militer yang ada adalah "Kemanunggalan TNI dengan Rakyat", Roh kita adalah roh para pejuang 45, satu roh namun beda jasad.

TNI adalah sebagai organisasi panggilan negara, artinya TNI adalah organisasi pejuang. Kita bukan organisasi bayaran dan kita bukan organisasi yang dibentuk karena kepentingan tertentu, tetapi "kita adalah organisasi yang terikat sumpah untuk menjaga ideologi negara Pancasila sesuai Marga ke dua Sapta Marga", ujar Menhan.

Lebih lanjut Menhan mengatakan bahwa dari sejak terbentuknya TNI adalah tentara rakyat, berarti kita adalah pengayom bangsa dan TNI harus berdiri di atas semua golongan apapun juga. Artinya politik TNI adalah politik negara dan TNI tidak boleh sedikitpun memiliki ambisi kekuasaan. Bahwa politik TNI adalah politik negara dan kita harus selalu bersatu "Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh, " tegasnya.

Hadir pada acara tersebut Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar, Jenderal TNI (Purn) Joko Santoso, Jenderal TNI (Purn) Widjojo Soejono, Letjen TNI (Purn) Rais Abin (Ketua Umum LVRI)  dan dihadiri oleh Kasum TNI.

Ini adalah cover belakang makam almarhum Jenderal  R. Soedirman, Panglima Angkatan Perang RI di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara, Yogyakarta. Foto ini saya abadikan sebagai cover Majalah Legiun Veteran RI "Veteran," No. 3, Maret 2011. Pada waktu ini, saya dipercaya menjadi redaktur pelaksana majalah tersebut.

Di halanan 46 majalah tersebut terdapat wawancara saya dengan mantan pengawal Presiden Soekarno, Sukotjo Tjokroatmodjo. Beliaulah yang menegaskan bahwa ketika Bung Karno merangkul Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman, "jika ada yang mengatakan Jenderal TNI Soedirman menangis waktu itu, informasi itu tidak benar.

Pertemuan antara Presiden Soekarno dengan Jenderal TNI Soedirman didahului dengan surat pribadi Kolonel Gatot Soebroto yang meminta Jenderal Soedirman datang ke Yogyakarta. Sebelumnya Presiden Soekarno telah mengirim utusan agar Jenderal Soedirman menjalani perawatan, karena penyakit  paru-parunya telah kronis. Tetapi ajakan Bung Karno ini ditolak Soedirman. Baru surat pribadi Gatot Soebroto menyentuh hatinya dan terjadilah pertemuan Presiden Soekarno dengan Jenderal Soedirman.

Jenderal Soedirman mengajak Bung Karno ikut bergerilya di hutan. Presiden Soekarno dan Hatta harus tetap di Yogyakarta, karena sudah menjadi keputusan kabinet.  Akhirnya Bung Karno-Hatta ditangkap Belanda.  Tetapi ini pulalah awal kunci diplomasi perjuangan bangsa Indonesia yang bisa diketahui dunia internasional. Seandainya saja Bung Karno ikut bergerilya sesuai saran Jenderal TNI Soedirman, maka diperlukan pengawalan yang sangat banyak. 

Awalnya, setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Soedirman melarikan diri dari pusat penahanan, kemudian pergi ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden Soekarno. Ia ditugaskan untuk mengawasi proses penyerahan diri tentara Jepang di Banyumas, yang dilakukannya setelah mendirikan divisi lokal Badan Keamanan Rakyat. Pasukannya lalu dijadikan bagian dari Divisi V pada 20 Oktober 1945 oleh panglima sementara Oerip Soemohardjo, dan Soedirman bertanggung jawab atas divisi tersebut. 

Pada tanggal 12 November 1945, dalam sebuah pemilihan untuk menentukan panglima besar Tentara Keamanan Rakyat di Yogyakarta, Soedirman terpilih menjadi panglima besar, sedangkan Oerip, yang telah aktif di militer sebelum Soedirman lahir, menjadi kepala staf. Sembari menunggu pengangkatan, Soedirman memerintahkan serangan terhadap pasukan Inggris dan Belanda di Ambarawa. Pertempuran ini dan penarikan diri tentara Inggris menyebabkan semakin kuatnya dukungan rakyat terhadap Soedirman, dan ia akhirnya diangkat sebagai panglima besar pada tanggal 18 Desember 1945. 

Selama tiga tahun berikutnya, Soedirman menjadi saksi kegagalan negosiasi dengan tentara kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia, yang pertama adalah Perjanjian Linggarjati --yang turut disusun oleh Soedirman -- dan kemudian Perjanjian Renville --yang menyebabkan Indonesia harus mengembalikan wilayah yang diambilnya dalam Agresi Militer I kepada Belanda dan penarikan 35.000 tentara Indonesia. Ia juga menghadapi pemberontakan dari dalam, termasuk upaya kudeta pada 1948.

Jenderal Soedirman kemudian menyalahkan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai penyebab penyakit tuberkulosis-nya; karena infeksi tersebut, paru-paru kanannya dikempeskan pada bulan November 1948.

Pada tanggal 19 Desember 1948, beberapa hari setelah Soedirman keluar dari rumah sakit, Belanda melancarkan Agresi Militer II untuk menduduki Yogyakarta. Pada saat pemimpin-pemimpin politik berlindung di kraton sultan, Soedirman, beserta sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, melakukan perjalanan ke arah selatan dan memulai perlawanan gerilya selama tujuh bulan. Awalnya mereka diikuti oleh pasukan Belanda, tetapi Soedirman dan pasukannya berhasil kabur dan mendirikan markas sementara di Sobo, di dekat Gunung Lawu.

Dari tempat ini, Soedirman mampu mengomandoi kegiatan militer di Pulau Jawa, termasuk Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto. Ketika Belanda mulai menarik diri, Soedirman dipanggil kembali ke Yogyakarta pada bulan Juli 1949.

Meskipun ingin terus melanjutkan perlawanan terhadap pasukan Belanda, ia dilarang oleh Presiden Soekarno. Penyakit TBC yang diidapnya kambuh; ia pensiun dan pindah ke Magelang. Soedirman wafat kurang lebih satu bulan setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan  Yogyakarta.

Kematian Soedirman menjadi duka bagi seluruh rakyat Indonesia. Bendera setengah tiang dikibarkan dan ribuan orang berkumpul untuk menyaksikan prosesi upacara pemakaman. Soedirman terus dihormati oleh rakyat Indonesia. Perlawanan gerilyanya ditetapkan sebagai sarana pengembangan " esprit de corps " bagi tentara Indonesia, dan rute gerilya sepanjang 100-kilometer (62 mil) yang ditempuhnya harus diikuti oleh taruna Indonesia sebelum lulus dari Akademi Militer.

Soedirman ditampilkan dalam uang kertas rupiah keluaran 1968, dan namanya diabadikan menjadi nama sejumlah jalan, universitas, museum, dan monumen. Pada tanggal 10 Desember 1964, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Sungguh tepat tema yang diberikan Kementerian Pertahanan RI tersebut dan berziarah ke makam Panglima Besar Jenderal TNI Soedirman. Apalagi kehadiran Ketua Umum LVRI Letnan Jenderal TNI (Purn) Rais Abin. Apalagi pada 10 Agustus 2019 nanti, LVRI akan memperingati "Hari Veteran Nasional," dan tanggal 15 Agustus 2019 memperingati hari lahir Ketua Umum LVRI Letnan Jenderal TNI (Purn) Rais Abin,  yang pernah menjadi Panglima Pasukan Perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa di Timur Tengah, 1976-1979.

***