Ketimpangan Itu Seperti Rumput Kering

Ketimpangan adalah tantangan terberat yang kini dihadapi Indonesia, sekaligus ancaman terbesar bagi stabilitas sosial dan pertumbuhan ekonomi yang sudah dicapai.

Sabtu, 8 Februari 2020 | 06:49 WIB
0
265
Ketimpangan Itu Seperti Rumput Kering
Syafi'i Maarif fan Joko Widodo (Foto: Tempo.co)

Salah satu persoalan terbesar yang dihadapi masyarakat Indonesia hingga kini adalah ketimpangan (inequity). Ketimpangan kesejahteraan, ketimpangan pendidikan, ketimpangan desa – kota, ketimpangan pembangunan di Jawa dan luar Jawa, ketimpangan barat – timur.

Satu hari, pertengahan Juli 2017, Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Achmad Syafi’i Ma’arif, terlihat bergegas melangkah derap memasuki Istana Negara, Jakarta. Ia hendak menemui Presiden Jokowi. Ia membawa beberapa catatan kegundahan yang hendak disampaikan kepada Presiden. Persoalan pertama yang ia kemukakan adalah soal ketimpangan.

Buya Syafi’i Ma’arif bukan ekonom, tapi ia sangat perhatian dengan persoalan ketimpangan. Buya mengibaratkan ketimpangan yang terjadi di masyarakat, seperti rumput kering di jalan yang sangat mudah terbakar. Ketimpangan yang selalu menyatu dengan kemiskinan, bisa menjadi pemantik berbagai persoalan sosial. Karenanya, mengatasi masalah ketimpangan, menurut Buya, harus menjadi agenda nasional yang paling penting.

Ketimpangan yang terjadi di masyarakat Indonesia saat ini, adalah resultan dari proses yang sudah berlangsung selama puluhan tahun. Ketimpangan timbul karena kebijakan pembangunan yang hanya mengejar angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tanpa memperhatikan pemerataan.

Dalam konteks kewilayahan, pembangunan di masa lalu sangat terpusat di kawasan barat Indonesia. Di kawasan barat pun hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa. Bahkan, di Pulau Jawa pun proyek-proyek pembangunan terpusat di pantai utara, khususnya ujung barat dan ujung timur.

Ketimpangan pembangunan secara otomatis mengakibatkan ketimpangan infrastruktur antara satu daerah dengan daerah lainnya. Ketimpangan infrastruktur, menimbulkan ketimpangan akses terhadap sumber-sumber ekonomi, ketimpangan pendapatan, ketimpangan kualitas pendidikan dan akses untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik, ketimpangan mendapatkan layanan kesehatan dan layanan administrasi kependudukan.

Pada akhirnya mengakibatkan ketimpangan kualitas sumber daya manusia dan ketimpangan kesejahteraan.

Tidak sampai di situ. Masyarakat yang tinggal di wilayah-wilayah yang underdeveloped, bergerak menuju wilayah-wilayah yang merupakan pusat pertumbuhan ekonomi. Maka terjadilah penyebaran penduduk yang tidak merata. Di wilayah perkotaan, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya terjadi over population dan munculnya berbagai persoalan sosial. Sebaliknya di pedesaan tetap miskin karena warga usia produktif telah hijrah ke perkotaan.

Atas dasar analisis tersebut kebijakan pembangunan saat ini sangat memprioritaskan pembangunan infrastruktur, khususnya infrastruktur transportasi untuk membuka daerah-daerah yang selama ini terisolasi. Dengan dibangunnya infrastruktur transportasi, potensi-potensi ekonomi yang terdapat di daerah-daerah yang selama ini terisolasi, bisa dikonversi menjadi sumber pendapatan masyarakatnya.

Dua indikator keberhasilan pembangunan dalam lima tahun terakhir adalah, pertama, berkurangnya ketimpangan yang tercerminkan pada penurunan indeks kumulatif rasio GINI, dari 0,406 pada tahun 2014 menjadi 0,382 pada awal 2019. Ketimpangan yang dihadapi Indonesia saat ini adalah pada kesejahteraan di masyarakat dan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Kedua, turunnya angka kemiskinan dari 10,96% dari jumlah penduduk pada tahun 2014, menjadi 9,41 pada awal 2019.

Guna menjaga keberlanjutan upaya menurunkan ketimpangan, dalam berbagai konteks, Pemerintah telah mengambil beberapa kebijakan strategis. Pertama, meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi semua kalangan di semua wilayah Indonsia. Kedua, pemerataan pembangunan di semua wilayah Indonesia secara proporsional. Ketiga, mengembangkan sistem keuangan inklusif yang bisa dijangkau semua lapisan.

Koefisien GINI atau lebih populer dengan terminologi GINI Ratio, adalah ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan agregat atau menyeluruh, yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan yang sempurna). Dalam teori ekonomi makro disebutkan, koefisien Gini di bawah 0,4 menunjukkan ketimpangan rendah, 0,4 sampai 0,5 ketimpangan sedang, dan di atas 0,5 menunjukan satu kelompok masyarakat dengan ketimpangan yang tinggi.

Hingga beberapa dekade ke depan, tantangan yang dihadapi oleh Indonesia sebagai negara berkembang, masih seputar kualitas sumber daya manusia dan persoalan-persoalan ikutannya. Namun persoalan ketimpangan dan kemiskinan adalah yang paling mendesak untuk diatasi. Karena ketimpangan merupakan ancaman terbesar bagi stabilitas sosial dan pertumbuhan ekonomi.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas (2016-2019), Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, ketimpangan adalah tantangan terberat yang kini dihadapi Indonesia, sekaligus ancaman terbesar bagi stabilitas sosial dan pertumbuhan ekonomi yang sudah dicapai.

***