PSBB yang Gagal

Ekonomi harus diselamatkan supaya ada dana untuk membiayai orang yang jatuh sakit karena kopid. Toh meski tinggi angka infeksi, kematian tidak berbanding lurus.

Senin, 18 Mei 2020 | 21:22 WIB
0
358
PSBB yang Gagal
PSBB dilonggarkan (Foto: investor.id)

Saya bilang demikiian karena suka tidak suka, diakui atau tidak, PSBB dilakukan setengah hati. Yang ada malahan kesan bancakan bansos. Di semua sektor termasuk kartu prakerja yang kini sudah nyrempet nama Menteri Wisnutama sebagai komisaris Tokopedia, yang menangguk duit ratusan milyar dari jualan video.

Dibilang setengah hati karena di satu sisi ada kegiatan berkumpul dilarang, di sisi lain diperbooehkan bahkan dibiarkan. Walhasil ide pemerintah mengeluarkan ratusan trilyun berwujud pada kebijakan yang bantet.

Karena pemerintah dalam menghadapi wabah ini bak pemukul kendi yang ditutup matanya setelah diputar-putar sampai pusing oleh aneka pendapat hingga kehilangan arah.

Walhasil ketika melangkah tongkat pemukul kendi itu berayun kesana sini tanpa arah tanpa bisa memukul pecah kendi itu. Hingga tongkatnya memukul banyak sektor. Sektor pertokoan, UMKM, bisnis perbankan dan rakyat kebanyakan.

Mereka yang terpukul adalah mereka yang tanpa daya. Mereka harus pasrah ketika luka memar mereka hanya diberi obat merah berupa sembako. Namun nyerinya tidak bisa pulih dalam sekejap.

Pendekatan memukul kendi dengan mata tertutup akhirnya membuat pemerintah belajar. Bahwa kendi itu ternyata tidak bisa dipukul. Karena tidak bisa diketahui tanpa melihat.

Dan ketika mata penutup kendi dibuka barulah sadar betapa luas kerusakan di sekitar kendi itu.

Data yang tadinya diremehkan kini jadi senjata

Pemerintah mulai menjajakan CFR atau rasio kejangkitan terhadap kematian. Yang terus melebar hingga kini pemerintah sudah berani bilang kita harus hidup di new normal. Berdamai dengan kopid.

Pamer CFR ditujukan untuk menciptakan persepsi bahwa untuk kasus Indonesia, pagebluk kopid tidak sangat mematikan dan tidak sangat berbahaya,, seperti yang terjadi di Iran, Itali, Spanyol atau China. Buktinya infeksi naik tapi rasio terhadap yang meninggal kecil dan mengecil.

Jadi saya tidak heran jika pelonggaran terjadi dimana-mana dan dibiarkan.

Lebih baik begitu ketimbang harus keluar dana trilyunan. Dari utang pulak.

Dan kita makin melihat penegakan PSBB sebagai penegakan yang sia-sia dan makin gak lucu.

Disaat Mc Donald didenda 10 juta, kerumunan orang sambut penjahat bersorban dibiarkan. Kita juga bertanya mengapa ada anak dan balita yang ikut terbang bersama orang tuanya. Apakah mereka pebisnis ? Atau yang dalam keadaan darurat.

Dan seterusnya dan seterusnya.

Begitu banyak ke-tidak-konsisten-an yang tidak terjawab.

Hingga kita diarahkan pada satu kesimpulan.

Ekonomi harus diselamatkan supaya ada dana untuk membiayai orang yang jatuh sakit karena kopid. Toh meski tinggi angka infeksi, kematian tidak berbanding lurus.

Ironis memang. Kematian hanya bertengger pada angka statistik belaka. Seakan angka kematian yang menembus angka seribu tidak ada artinya.

Kita cuma bisa tertunduk sedih manakala para pahlawan medis berguguran. Tapi disatu sisi kita bilang ,apa boleh buat ini ongkos untuk kita bisa hidup normal.

Dan akibat kebijakan pukul kendi itu,, kita cuma bilang kepada keluarga yang berduka tertimpa pagebluk dengan kata apologetic menjurus munafik.

Maaf kan kami. But Life must goes on... Dan kami menjalani kehidupan new normal terserah kami. Karena kami juga ingin menjalani hidup. Dan tidak ingin menjadi korban berikutnya kebijakan pukul kendi itu.

Kami harus keluar rumah Sedikit demi sedikit kami langgar aturan. Jika pemerintah biarkan, jika pemerintah larang, kami mundur sejenak, tapi kami akan maju lagi kedepan. Untuk normal kembali, bukan new normal. Sampai pemerintah menilai pelanggaran yang kami lakukan adalah normal menuju keadaan normal...

***