Jamaah Tabligh dan Kebiasaan Khuruj

Pemerintah harus lebih tegas lagi untuk mencegah potensi penularan, misal dengan mengarantina 8000 orang tadi selama masa inkubasi.

Kamis, 19 Maret 2020 | 09:35 WIB
0
551
Jamaah Tabligh dan Kebiasaan Khuruj
Jamaah tabligh di Gowa (Foto: tempo.co)

Pak Guru beberapa kali ketemu kelompok Jamaah Tabligh. Biasanya mereka menginap tiga hari di masjid yang nggak begitu jauh dari tempat tinggal Pak Guru. Beberapa di antaranya sudah kenal baik sama Pak Guru juga.

Mungkin secara penampilan mereka rada 'seram'. Jenggot panjang, berjubah, dan celana cingkrang. Namun, beberapa kali ketemu mereka, mereka ini hanya berdakwah keliling, itupun fokusnya mengajak memakmurkan masjid dan berzikir. Sama sekali tidak pernah bahas politik, apalagi mengafirkan yang lain. Ramah sekali mereka.

Ciri khas kelompok JT yang Pak Guru ketahui adalah kebiasaan mereka khuruj (keluar rumah untuk berdakwah). Paling tidak tiga hari mereka menginap di masjid. Setiap pagi dan siang rutin mengadakan taklim. Biasanya yang ikut ya sekelompok mereka yang menginap di masjid itu, kadang-kadang ngajak Pak Guru juga.

Sore mereka berkeliling ke rumah-rumah penduduk muslim di sekitar masjid, menyampaikan pentingnya salat berjamaah dan mengajak untuk ikut salat berjamaah. Malam mereka taklim lagi, sebelum istirahat dan mengulang aktivitas mereka.

Yang Pak Guru ketahui adalah orang-orang JT itu ada semacam kewajiban untuk khuruj ini. Minimal tiga hari setiap bulan, 40 hari setahun. Khuruj ini juga tidak hanya di masjid-masjid sekitar mereka, namun bisa merambah mancanegara. Paling sering di India, tempat di mana JT pertama kali terbentuk.

Masalahnya, khuruj mereka yang mancanegara itu bisa dihadiri hingga ribuan orang. Tentu ini sangat berlawanan dengan physical distancing yang dilakukan pemerintah sekarang untuk menghadapi wabah COVID-19. Dan karena yang hadir dari banyak tempat, risiko penularan COVID-19 jadi sangat besar.

Mestinya kelompok JT tidak bikin khuruj dulu sampai situasi benar-benar membaik. Salat Jumat yang jelas wajibnya saja, dalam keadaan wabah ini diperbolehkan untuk tidak dilaksanakan. Apalagi khuruj yang sebenarnya tidak wajib, kan bisa dibatalkan, tunggu sampai situasi sudah membaik.

Saya kurang tahu apakah orang JT paham bahwa kita harus mengutamakan kemaslahatan orang banyak, dan menghindari mudharat yang lebih besar. Jangankan khuruj yang menghadirkan sampai 10.000 orang di Malaysia, atau 8.000 orang di Gowa, wong khuruj biasa yang pindah-pindah masjid itu lebih baik tidak dilakukan dulu.

Kita tidak pernah tahu kapan kita membawa virus, dan kalau apes-apesnya kita bawa virus, kita hanya akan membawa mudharat bagi orang lain.

Baca Juga: Kehabisan Kata

Ini bukan perkara takut penyakit atau takut Allah. Ini perkara menyayangi makhluk-makhluk Allah di sekitar kita, dengan cara tidak membuat mereka rentan terhadap penyakit yang mewabah.

Kalau lihat berita, Pemda Gowa sudah tegas tidak memberi izin acara tersebut sejak awal. Kalau sudah kayak gitu, dari merekanya juga harus sadar diri dan sadar situasi.  Mbok jangan sembarangan berkumpul, kalau memang tidak diizinkan.

Pemerintah, mau tidak mau karena keburu kejadian mereka datang, juga harus lebih tegas lagi untuk mencegah potensi penularan, misal dengan mengarantina 8.000 orang tadi selama masa inkubasi. Kalau memang tidak mampu laksana, pemerintah mesti memastikan mereka pulang dan dikarantina di wilayah asalnya.

***