Keindahan dari Kesementaraan, dari Friedrich Nietzsche sampai Taylor Swift

Kiranya, dengan karyanya tersebut, Taylor Swift mengajarkan kita secuil kebijaksanaan dari hidupnya. Jangan sampai kita melewatkannya.

Kamis, 16 Desember 2021 | 15:02 WIB
0
82
Keindahan dari Kesementaraan, dari Friedrich Nietzsche sampai Taylor Swift
Taylor Swift (Foto: rumahfilsafat.com)

Tak biasanya, saya mendengar lagu-lagu baru. Namun, ini perkecualian. Taylor Swift, salah satu musisi perempuan terbaik di dunia saat ini, merekam dan menyebarkan ulang salah satu lagu lamanya. Judulnya All too Well (10 Minute Version) (Taylor’s Version) (From the Vault).

Lagu itu unik. Durasinya 10 menit. Ini sungguh tak biasa untuk musik jaman sekarang. Itu juga salah satunya yang membuat saya tertarik. Anda juga bisa melihatnya dengan gratis di Youtube, termasuk film pendek yang dibuat atasnya.

Lagu itu berisi tentang duka dan luka yang diawali dengan cinta emosional. Ingatan tentang peristiwa masih tergores jelas. Ceritanya sederhana. Namun, liriknya sangat kuat, dan amat menggores di hati.

Ada yang indah dalam luka. Itu kiranya yang ditawarkan oleh Swift. Ada juga kritik terhadap budaya patriariki di dalam lagu tersebut. Sang pria mempermainkan hidup sang perempuan, dan meninggalkannya dalam luka begitu saja.

Yang kuat dari lagu itu adalah gambaran atas ingatannya. Ini mengingatkan saya pada satu hal, bahwa waktu dan peristiwa itu unik. Keduanya tak berulang. Keduanya sama rapuhnya, seperti kapas atau awan.

Lagu tesebut mencecap begitu dalam kenangan. Warna dan lirik dilukis di atas ingatan. Luka bisa menjadi inspirasi yang begitu menyakitkan. Ia adalah lagu yang dinyanyikan di atas kesementaraan dari kenyataan.

Segalanya sementara. Cinta sekuat apapun akan berakhir. Hidup sebahagia apapun akan dijemput ajal. Kesombongan sungguh tak masuk akal di hidup yang segera berlalu ini.

Di satu sisi, ini mengundang kesedihan. Segala upaya akan menjadi debu kenangan di dalam guratan sejarah. Segalanya pun terasa sia-sia. Tapi, Swift tidak melihatnya begitu.

Sisi lain dari kesedihan adalah inspirasi. Berjuta karya berharga lahir dari luka yang diberikan makna. Ini kiranya kutukan menjadi manusia. Kita tenggelam dalam ingatan, dan keluar dengan karya berharga yang lahir dari darah serta air mata.

Martin Heidegger, pemikir Jerman, mengingatkan kita tentang kerapuhan hidup. Baginya, manusia (Dasein) adalah keberadaan menuju kematian (Sein zum Tode). Tujuan dari hidup adalah kematian. Hidup menjadi bermakna, persis karena ia mengarah pada kematian.

Dzongsar Jamyang Khyentse, seorang pemikir Buddhis, juga berpikir serupa. Baginya, kesementaraan (Anicca) adalah Dharma (hukum semesta) tertinggi. Orang yang menyadarinya akan mengalami pencerahan. Ia melepaskan cengkraman pada dunia, dan hidup dari saat ke saat dengan keindahan dari kesementaraannya.

Bagi Khyentse, hidup indah, karena ia sementara. Hidup ini bermakna, persis karena kesementaraan dan kerapuhannya. Dengan sungguh menyadari ini, kita tak punya waktu untuk membenci, atau mencerca. Setiap detik sama berharganya seperti keabadian itu sendiri.

Sebaliknya, apapun yang abadi itu tak bermakna. Yang bertahan lama kerap kehilangan arti. Ia miskin luka, sehingga juga miskin cerita. Para jenius dalam sejarah menolak yang aman dan abadi, karena itu pucat dari warna serta kisah.

Pada akhirnya, segala rencana akan gagal. Segala harapan akan pupus. Segala cita-cita akan lenyap ditelan debu. Ini bukan sesuatu untuk diratapi, namun justru untuk dirayakan dalam tawa dan tari.

Sebab, beginilah hidup. Nietzsche, seorang pemikir Jerman, mengingatkan kita untuk selalu berkata YA! pada kehidupan (Das Leben, Ja zu Sagen). Hidup itu kompleks dan bergejolak dengan kontradiksi serta kerapuhan. Maka, hiduplah, dan lampaui moralitas yang menolak kehidupan atas nama surga yang tak pernah ada, begitu katanya.

Kesementaraan itu baru terasa, ketika kita gagal. Kerapuhan baru menggigit, ketika patah hati berkunjung. Kita belum sungguh mengerti hidup, jika tak pernah gagal, dan tak pernah patah hati. Luka yang disebabkannya adalah pintu menuju dunia dewasa. Ia tidak boleh ditolak, melainkan dipeluk di dalam keutuhannya.

Kita perlu menyelam ke dalam luka. Kita perlu terbuka pada luka. Kita perlu menatapnya dengan segala kesadaran yang ada. Baru dengan begitu, hati kita bisa terbuka, dan kita menjadi bijaksana seutuhnya. Inilah ajaran Dharma tertinggi.

Jalan lain hanya menggiring kita pada kedangkalan. Cerita tentang surga yang tak pernah ada hanyalah alat untuk menipu kita, dan membuat kita tunduk pada kemunafikan. Panduan moral dangkal dari ribuan tahun lalu hanya membuat kita menjadi cetek, serta miskin rasa terhadap dunia. Ilusi tentang sosok maha besar yang selalu siap membantu, bersama semua pernak perniknya, hanyalah isapan jempol belaka yang membuat kita dangkal dan bodoh.

Kita perlu keluar dari ilusi yang memperbodoh. Kita perlu menatap serta mengalami hidup sebagaimana adanya. Ia indah, persis karena ia rapuh, dan sementara. Kiranya, dengan karyanya tersebut, Taylor Swift mengajarkan kita secuil kebijaksanaan dari hidupnya. Jangan sampai kita melewatkannya.

***