Xenophobia dan rasisme, adalah bagian dari mencari kambing hitam. Sebuah sikap yang cenderung menuding pihak lain sebagai yang bertanggung jawab; sikap tak berani bertanggung jawab.
Ada tulisan menarik di The Lily, pada edisi 21 April 2020. The Lily adalah publikasi terbaru The Washington Post, dalam Media Facebook, Instagram, dan Twitter, serta newsletter dua mingguan. Tulisan itu berjudul I’m an Asian American doctor on the front lines of two wars: Coronavirus and racism, Saya seorang dokter Amerika keturunan Asia di garis depan dua perang: Coronavirus dan rasisme.
Tulisan itu menceritakan pengalaman seorang perempuan dokter, Sojung Yi yang bekerja di ruang emergensi University of California, San Francisco, AS, untuk menangani pasien korban Covid-19.
Sojung menceritakan, ketika pandemi Covid-19 makin merajalela di AS, dan korban-korbannya membanjiri rumah-rumah sakit, gelombang sentimen xenophobia dan rasis menyertainya. Pasien, selalu bertanya, “Dari mana asal Anda,” begitu melihat wajahnya yang ada garis Asia.
Bahkan, sebelum Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi, orang-orang keturunan Asia, terutama China, di AS sudah diperlakukan kurang manusiawi: diludahi, dilecehkan, bahkan diserang secara fisik.
Apalagi, Presiden AS, Donald Trump dalam sebuah jumpa pers bulan Maret lalu tidak mau menggunakan istilah resmi dalam dunia kesehatan yakni Covid-19 atau Virus Corona, melainkan lebih memilih menggunakan istilah “Virus China.”
"Xenophobia” dan Rasisme
Sejarah selalu berulang. Ketika wabah Black Death, menyerang Eropa pada abad ke-14, yang menewaskan tak kurang dari 25 juta orang, orang-orang Yahudi dituding sebagai penyebabnya. Ini adalah ledakan kebencian terhadap orang Yahudi yang sudah muncul di masa sebelumnya. Maka anti-semitisme makin menjadi-jadi. Padahal penyakit ini berasal dari Asia Tengah dan China.
Ketika pecah epidemi kolera pada tahun 1832, yang menewaskan ratusan ribu orang di Eropa dan Amerika Utara, para imigran Irlandia-lah yang dituding sebagai penyebarnya. Akibatnya, muncul gelombang anti-imigran. Kolera merajalela di perkampungan-perkampungan miskin yang penduduknya dihuni kaum imigran.
Cerita yang hampir sama terjadi ketika wabah virus Ebola terjadi. Karena pertama kali menyerang Nzara, Sudan Selatan dan Yambuku, Republik Demokratik Kongo pada tahun 1976, maka menimbulkan xenophobia dan rasisme terhadap orang-orang dari Afrika. Apalagi merajalela lagi antara 2014-2016 di Afrika Barat, dimulai dari Guinea lalu ke Sierra Leone dan Liberia, makin kuatlah sentiment anti-Afrika itu (Forbes, Feb 28, 2020).
Mengapa ini terjadi? Berdasarkan sebuah studi 2019, yang kemudian diterbitkan oleh jurnal Social Psychological and Personality Science, paparan penyakit menular dapat meningkatkan ketegangan rasial. Bila di suatu kawasan merebak wabah yang mudah menular, maka orang akan cenderung berpihak kepada komunitas yang sama—entah itu warna kulit, ras, etnis, bahkan agama—dan menolak orang atau komunitas yang berbeda.
Orang cenderung menunjukkan tingkat kesukuan tertentu dalam kehidupan. Hal itu juga terjadi dalam politik, olah raga, teori konspirasi, dan banyak lagi. Seringkali lebih mudah untuk membuat narasi yang sesuai dengan zona kenyamanan, kapasitas intelektual, atau ideologi seseorang. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa pandangan rasis atau xenofobik akan muncul dari ketakutan dan kecenderungan mempertahankan diri.
Di awal mula, sikap anti-Asia (orang-orang Asia) juga muncul di Inggris. Bahkan, di Perancis, surat kabar Le Courier Picard menjadi sasaran kritik dan kecaman karena menurunkan berita utama berjudul “Alerte jaune” atau “Yellow Alert” (Siaga Kuning), meminjam istilah menghina dan rasis dunia Barat masa lalu yakni “Le peril jaune?” atau “Yellow Peril?” (Bahaya Kuning?), lengkap dengan wajah seorang perempuan China yang mengenakan masker.
Untuk melawan tindakan itu, orang-orang Asia di Perancis melawan di media sosial dengan hashtag #JeNeSuisPasUnVirus, Saya bukan virus.
Kambing Hitam
Sikap-sikap semacam tersebut di atas, xenophobia dan rasisme, adalah bagian dari mencari kambing hitam. Sebuah sikap yang cenderung menuding pihak lain sebagai yang bertanggung jawab; sikap tak berani bertanggung jawab.
Dengan kata lain menunjukkan rendahnya integritas. Selain itu, menunjukkan rendahnya kualias kejujuran. Oleh karena tidak berani mengakui, menceritakan kebenaran kepada orang lain. Tetapi memilih untuk menyalahkan orang lain; menjadikan orang lain sebagai kambing hitam.
Kebiasaan menuding orang lain lain, bukan hanya menunjukkan tiadanya sikap ksatria, tetapi juga mengurangi kesadaran terhadap akar masalah. Jika seseorang mengalami frustrasi dan tidak dapat menemukan alasannya atau tidak dapat mengatasi sumber penyebab dari frustrasi itu, orang akan mencari kambing-hitam untuk dijadikan sasaran prasangka dan agresinya.
Apa yang terjadi di negeri ini, Indonesia (untungnya) tidak sampai pada sikap xenophobia dan rasisme. Semoga tetap hidup kesadaran bahwa Indonesia menjadi karena keberagaman dalam segala hal: suku, etnis, ras, agama, bahasa, budaya, tradisi dan sebagainya. Mengingkari keberagaman berarti mengingkari ke-Indonesiaan. Kemajemukan itu adalah kekuatan Indonesia.
Akan tetapi, kejadian di sejumlah wilayah beberapa waktu lalu, misalnya penolakan terhadap enam perawat sebuah rumah sakit di Palembang untuk pulang ke tempat kosnya, adalah juga sikap yang tidak hanya kurang tetapi tidak terpuji. Juga penolakan pemakaman jenazah korban Covid-19 oleh warga di beberapa wilayah adalah bentuk dari rendahnya rasa kemanusiaan, sebuah tindakan tidak berdasarkan alasan-alasan yang rasional, tidak berdasarkan akal sehat, dan pikiran waras.
Oleh karena itu, masyarakat perlu diberikan pemahaman yang sederhana tetapi jelas tentang dimensi krisis dan kebijakan dan keputusan politik pemerintah.
Tidak kalah penting adalah (kalau masih ada) menghentikan dan melarang pernyataan para pejabat pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat maupun agama yang simpang siur, meremehkan keadaan dan melemahkan kewaspadaan masyarakat serta tidak sejalan dengan agenda pemerinah untuk percepatan penanganan Covid-19.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews