Sketsa Harian [21] Tes DNA

Bukan bermaksud sombong kalau saya bilang mengenal langsung karena mereka dibesarkan di kampung di mana saya dilahirkan juga, Ciawi.

Kamis, 14 November 2019 | 00:26 WIB
0
622
Sketsa Harian [21] Tes DNA
Dharmendra dan Hema malini (Foto: Kapanlagi.com)

Sebenarnya kalau ada lagi tes DNA gratisan seperti yang dimotori Historia itu saya mau melakukannya. Setidak-tidaknya jadi kelinci percobaannya macam Najwa Shihab atau Ariel Peterpan yang kini lebih dikenal sebagai Ariel Noah itu.

Bukan mau mengetahui apakah di dalam darah ini mengalir turunan PKI, penganut ideologi Pancasila, penyuka tutut sawah atau penggemar lagu dangdut. Tapi sekadar mau tau aja, sebenarnya saya ini siapa sih. Layakkah saya berbangga diri kalau saya ini pribumi asli 100 persen?

Dari hasil tes DNA itu, Najwa dan Ariel misalnya, sama-sama dominan Asia Selatannya. Ya ke India-indiaan begitulah. Najwa yang dikira banyak orang asli pribumi Arab, ternyata Asia Selatan juga; India, Nepal, Tamil, Bangladesh. Ah, jangan-jangan Najwa dan Ariel punya nenek moyang yang sama.

Terus kenapa saya kepengen tes DNA?

Begini ceritanya. Saya suka beberapa hal berbau India, tanpa saya sadari. Ya, India, yang mayoritas penduduknya beragama Hindu itu. Saya suka musik India, tenang kalau sudah mendengar alunan sitar, damai mendengar lirik-lirik bahasa Hindi yang ga saya pahami, suka nonton film India dan... saya suka perempuan India (meski sebatas mengagumi lo ya, jangan ngeres dulu!).

Bermula dari kesukaan saya nonton film India sejak kanak-kanak. Saya terkesan dengan film "Maa", "Gehra Daag", "Haathi Mere Saathi", melebihi kesan saya kepada film "Beranak dalam Kubur", "Si Comel", "Pengantin Remaja" atau "Anjing-anjing Geladak (itu semua judul film yang saya ingat tanpa bantuan Paman Gugel).

Nyambung dengan kesukaan saya mendengar tetabuhan gendang atau drum, apalagi kalau larasnya meliuk ke pentatonis ndangdut. Diperparah dengan saya tinggal dan besar di Tasikmalaya, sebuah zona di timur Priangan di mana mie bakso dan dangdut tumbuh pesat secara signifikan.

Di sini ada Kak Rhoma, Teh Itje Trisnawati, Neng Cucu Cahyati, Nyi Veti Vera (plesetan dari "peti pare"/tempat penyimpan beras), Kang Caca Handika, Jang Alam, dan seterusnya. Bukan bermaksud sombong kalau saya bilang mengenal langsung karena mereka dibesarkan di kampung di mana saya dilahirkan juga, Ciawi.

Tentu yang paling dekat adalah Ibunda sendiri. Saya baru sadar belakangan, mengapa wajahnya mirip perempuan India. Terlalu berlebihan mungkin kalau saya bilang wajahnya mirip Hema Malini yang kulitnya bak pualam itu. Tapi namanya anak menilainya ibunya, boleh dong. Dan orangtua ibunda, adalah pasangan Maknun Iskandar dengan Nyimas Enung.

Wajah nenek bisa saya abaikan. Tapi wajah kakek, yaitu Maknun Iskandar, kok ya mirip pendatang dari Gujarat. Terus yang memaksa saya mengernyitkan dahi lebih ketat adalah tatkala mengetahui eyang perempuan (uyut) saya yang bernama Maleka. Nah, bukankah ini seperti nama India. Saya hidup beririsan dengan Uyut Maleka dan tahu persis betapa Indianya dia!

Bukan itu saja, wajah Maknun Iskandar adalah fotokopi dari Maleka yang menikah dengan Raksapradja itu. Wajah kakek Maknun yang ngganteng turun ke Ibunda dan adiknya (paman saya) yang bernama Atang. Tapi Paman Atang lebih dominan kelingnya hahaha...

Berhenti sampai di sini sajallah keheranan saya, kamu ja ga perlu-perlu amat mengetahui siapa saya, bukan?

Jadi kalau saya sering share lagu-lagu India (bukan yang beraliran dangdut Bollywood tapi), itu naluri saya saja dari dalam ketimbang share lagu-lagu Rusia yang ga saya suka, pun waktu lebih lama yang diperlukan saat menatap gadis India dibanding gadis Afrika.

Phir milenge...!!!

#PepihNugraha

***

Tulisan sebelumnya: Sketsa Harian [20] Naluri atau Sekadar Selera Jurnalis