Belajar Menulis Penting

Setelah belajar; menulislah. Learning by writing. Apapun. Ekspresikan diri, karena ini abad mengekspresikan diri.

Jumat, 27 Desember 2019 | 08:32 WIB
0
212
Belajar Menulis Penting
Ilustrasi (Foto: Facebook/Sunardian Wirodono)

Belajar menulis itu penting. Sepenting belajar membaca. Sepenting belajar mendengar. Sepenting belajar melihat. Intinya, sepenting belajar itu sendiri. Belajar apapun.

Persoalannya, apakah kita bangsa pembelajar? Abaikan penilaian itu! Kita hidup di jaman kini. Jangan sebodoh Obelix, yang ke mana-mana menggendong batu menhir. Hanya karena merasa perkasa, tak perlu minum jamu. Karena sejak kecil sudah kecebur ke ramuan Dukun Panoramix. Tapi juga jangan seyakin Asterix, yang selalu membawa kantong kecil ramuan Panoramix. Kayak mahasiswa paket kejar semalam.

Pasalnya, mau tak mau, kita seperti berada dalam puting-beliung gelombang jaman. Tak lagi sebagaimana tahapan yang digagas Alvin Toffler tentang gelombang 1 s.d 4. Juga tak semua orang siap, meski masih bisa tertawa-tawa menonton Jumanji versi baru dalam Next Level (2019).

Padahal hanya sekedar memanjakan jaman romantisme abad analog. Sedangkan dalam menanggapi film Lion King 2019 yang hyper-realis, sebagian menolaknya karena merasa kehilangan originalitas. Dan orang-orang mapan seperti Fadli Zon menghina-hina generasi milenial yang jadi Stafsus Presiden. Persis Anies Baswedan menuding William Aditya anak baru yang mencari-cari panggung.

Demikian pula dunia penulisan kita. Digital Society, mengubah segalanya. Masing-masing pribadi kini bisa partisipasi dalam jejaring sosial. Tanpa batas wilayah. Tak diatur birokrasi dan urutan umur, mazab majalah sastra ini dan itu, dengan para datuk dan funding masternya.

Dalam beberapa pertemuan dengan anak-anak muda (hiks, saya ‘udah tuwir), masih banyak kita temu kecemasan, kegagapan, bahkan ketakutan menulis. Bukan karena berhadapan dengan dunia gadget, melainkan berhadapan dengan dogma dan stigma masa lalu, yang difrozen jadi mantra, bahkan kutukan.

Saya hanya bisa bilang pada mereka, setelah belajar; menulislah. Learning by writing. Apapun. Ekspresikan diri, karena ini abad mengekspresikan diri. Tanpa takut dengan perangkat-perangkat nilai. Setiap generasi memiliki cara berekspresi sendiri. Idiom-idiom sendiri. Tak peduli sebutan sastra atau bukan. Toh itu hanya peristilahan yang dibangun para komplotan dengan komunitas masing-masing.

Iwan Simatupang, dalam ‘Sastra dan 2X Manipulasi’, Siasat Baru, Nopember 1960, dengan bagus menuliskan; “Sastra (atau katakanlah tulisan) bukan melahirkan konsepsi, tetapi dilahirkan dari konsepsi tertentu; humanistis, idealistis, komunistis, dan seterusnya.” Sastra adalah barang konsumsi, tulis Iwan, dia langsung menuju konsumen sastra.

Terserah mengenyangkan atau tidak. Enak atau tidak. Konsepsi ada pada saat-saat paling mula sekali dari penciptaan. Saat-saat ilham, intuisi atau persepsi dan entah apalagi. Sekali pena diayunkan, proses penciptaan dilakukan, konsepsi sudah lewat.

Selebihnya adalah tafsiran. Dan itu soal suka tak suka. Komplotan atau bukan komplotan. Masing-masing boleh pakai TOA.

***