Menanti Jokowi Terpapar Asap

Sabtu, 14 September 2019 | 10:00 WIB
0
291
Menanti Jokowi Terpapar Asap
Foto: Merdeka.com

Kondisi kabut asap terkini semakin parah, belum ada tanda-tanda upaya penanggulangan yang serius seperti ditahun sebelumnya, dimana disaat awal Pemerintahan Jokowi pada Periode pertama, yang saat itu penanggulangan kabut asap sangat cepat, dan baru sekarang ini terulang kembali.

Kehadiran pemerintah pada saat itu benar-benar terasa, padahal jumlah kasus Karhutlanya pun lebih banyak dan lebih luas dari sekarang ini, namun Pemerintah berhasil mengatasi dan menanggulanginya.

Sekarang ini Pemerintah setempat seperti tak berdaya dalam menanggulangi Karhutla, seakan-akan Karhutla adalah tanggung jawab Pemerintah pusat, dan Pemerintah daerah boleh uncang-uncang kaki tanpa perlu Ikut mengatasi.

Apakah memang menunggu Kabut Asap menerpa Jokowi terlebih dahulu, baru kabut asap bisa ditanggulangi.? Dimana Menteri, Gubernur dan Bupati, apakah memang tidak bisa menanggulangi kabut asap tersebut.?

Apakah seorang Presiden harus mengerjakan semua hal yang menjadi masalah dinegeri ini.? Lantas buat apa negara menggaji para pembantu Presiden, juga kepala daerah yang daerahnya terpapar kabut asap.?

Direktur Beranda Perempuan Zubaidah menilai, pemerintah tingkat pusat hingga daerah lamban dalam penanganan warga yang terdampak kabut asap. Padahal di Kota Jambi warga yang terserang Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) jumlahnya terus mengalami peningkatan.

Data terakhir yang dihimpun Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Jambi menyebutkan, jumlah penderita ISPA mencapai 2.577 kasus. Ini meningkat dari awal Agustus yang hanya mencapai 1.707 kasus.

"Seharusnya pemerintah lebih tanggap menangani persoalan ini, karena beberapa penelitian kesehatan menyatakan manusia yang terpapar asap dalam jangka panjang dapat menyebabkan kanker paru, radang paru, downsyndrom, kegagalan fungsi otak hingga kelahiran prematur," kata Zubaidah kepada Liputan6.com.

Sudah sepekan kabut asap kiriman masih mengepung wilayah Kota Jambi. Tadi malam, Senin (9/9/2019), kondisinya semakin memburuk, bau asap sisa hasil kebakaran hutan dan lahan semakin terasa menyengat dan membuat mata pedih.

Meskipun wilayah kota Jambi tidak ada kebakaran hutan dan lahan. Namun wilayah ibu kota provinsi Jambi ini juga berdampak parah oleh paparan kabut asap. Pasalnya, wilayah Kota Jambi berdekatan dengan daerah yang paling parah terjadi kebakaran, seperti di Kabupaten Muaro Jambi dan Tanjung Jabung Timur.

Sebetulnya kalau saja setiap daerah yang rentan terhadap kasus Karhutla, harus memiliki sarana untuk penanggulangan secara prepentif, disamping juga perangkat hukum untuk menjerat pelaku pembakar hutan.

Penindakan tegas terhadap pelaku pembakaran hutan ternyata tidak memberikan efek jera bagi pelakunya, sehingga kasus serupa terus terjadi.

Pemerintah perlu mengevaluasi penerapan hukuman terhadap pelaku maupun aparat yang bertuga dalam kasus Karhutla.
Karhutla berdampak besar terhadap kesehatan masyarakat, dan tentunya ada peranan Menteri Kesehatan dalam hal ini.

Artinya kalau saja setiap kementerian yang terkait dengan kasus Karhutla ini masing-masing bertindak cepat, sesuai dengan peranannya masing-masing, maka tidak perlu menunggu Jokowi diterpa ASAP terlebih dahulu baru ada penanggulangan.

Tidak semua persoalan yang terjadi dinegeri ini dibebankan kepad Presiden untuk menanggulanginya. Dalam kasus kabut ASAP tersebut harusnya ada beberapa kementerian yang aktif bekerja sesuai dengan peranannya masing-masing.

Kementerian kesehatan berperan sesuai dengan tugasnya, kementerian Kehutanan juga demikian. Bahkan kementerian sosial sudah melakukan tugasnya menyiapkan bantuan sosial, bahkan kalau perlu TNI dan Kepolisian diterjunkan untuk turut mengatasi kebakaran hutan tersebut.

Apakah semua bekerja harus menunggu petunjuk Presiden.? Rasanya tidak perlu, Karena Presiden memilih pembantunya karena tahu kapasitas, kualitas masing-masing, dan sangat tahu kalau semua pembantunya memiliki kemampuan untuk mengeksekusi.