Kaum radikal makin ‘menggila’ bahkan tak segan memangsa anak sekolah untuk dijadikan kader barunya. Mereka beroperasi lewat dunia maya dan menciptakan imaji seolah-olah jadianggota kaum radikal itu keren dan diganjar dengan surga. Untuk mencegahnya, kita bisa membuat kurikulum baru di sekolah untuk mencegah bahaya radikalisme.
Radikalisme adalah paham yang ingin mengubah Indonesia dari negara yang berazas Pancasila menjadi kekhalifahan. Untuk mencapai tujuannya, mereka bahkan menggunakan kekerasan seperti pengeboman dan penyerangan terhadap aparat. Kaum radikal juga menggunakan internet untuk menyebarkan ajarannya dan ingin merekrut generasi muda.
Mengapa harus generasi muda? Karena mereka lebih kritis dalam memandang segala sesuatu dan masih dalam tahap mencari jati diri. jadi relatif mudah terkena rayuan kaum radikal. Untuk mencegah remaja mengikuti ajaran mereka, maka perlu ada pelajaran tentang anti radikalisme di sekolah. Jadi mereka tahu bahwa radikalisme itu terlarang.
Pendidikan anti radikalisme ini bisa diberikan mulai dari tingkat SD, bahkan TK. Yang pertama adalah dengan menanamkan nasionalisme ke dalam jiwa para murid. Caranya dengan membawa mereka ziarah ke taman makam pahlawan. Misalnya menjelang peringatan hari kemerdekaan Indonesia, di hari pahlawan, dan lain-lain.
Dalam perjalanan menuju TMP, maka murid bisa didongengi tentang kepahlawanan. Mereka juga bisa diajak pula untuk menonton film-film tentang perjuangan dan mengunjungi museum ABRI. Belajar dengan cara ini lebih efektif daripada sekadar menyimak omongan guru di kelas dan murid jadi terpantik rasa nasionalismenya.
Untuk memberikan pendidikan anti radikalisme tidak perlu dengan membuat mata pelajaran khusus, namun bisa disisipkan di pelajaran sejarah. Yang ditekankan adalah adalah cerita sebelum Indonesia merdeka. Jadi mereka tahu bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hasil perjuangan dari banyak orang, bukan hanya dari 1 golongan atau agama.
Selain di pelajaran sejarah, maka pendidikan anti radikalisme juga bisa disisipkan di pelajaran agama. Diajarkan bahwa dalam agama tidak hanya fokus pada hubungan kepada Tuhan, tapi juga sesama manusia. Murid harus toleran terhadap orang yang beragama lain dan saling menghormati.
Guru agama juga menekankan bahwa setiap murid yang taat harus menerapkan agama dalam kehidupan sehari-hari. Menjadi toleran juga jadi cara untuk taat beragama. Indonesia adalah negara yang terdiri dari 6 agama, jadi harus saling menghormati.
Selain pelajaran tentang toleran, maka guru agama juga bisa mengajarkan tentang sejarah perang dan jihad. Di era milenial ini perlu ada pelurusan makna jihad adalah dengan berjuang, bukan dengan melawan orang lain yang tidak seagama. Jihad adalah kerja keras, bukan dijalani dengan jalan kekerasan dan pengeboman.
Begitu juga dengan istilah negara kekhalifahan. Guru menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara yang terdiri dari banyak suku dan agama. Jadi tidak bisa diubah begitu saja menjadi negara kekhalifahan. Konsep negara kekhalifahan sangat tidak mungkin untuk diterapkan di Indonesia, karena masyarakatnya tidak hanya datang dari 1 agama saja.
Selanjutnya, dalam pelajaran anti radikalisme, juga bisa diceritakan tentang kasih sayang. Bukankah sudah dicontohkan bahwa Nabi adalah orang yang sabar dan penyayang? Beliau tidak pernah meneriaki orang yang beragama lain dengan sebutan ‘kafir’. Sudah seharusnya kita meniru beliau yang penyayang dan toleran, dan tidak pernah mengajarkan jalan kekerasan.
Pembelajaran tentang anti radikalisme di sekolah diperlukan sejak dini karena murid bisa memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Murid juga diajari tentang sejarah perjuangan para pahlawan dan jadi orang yang toleran terhadap sesama. Mereka jadi paham apa bahaya radikalisme dan tidak mudah dipengaruhi oleh kaum radikal.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews