Rapid Test

Rapid test sudah menjadi bisnis besar. Juga sudah ikut menguras anggaran publik. Siapa pun yang melakukan perjalanan antar daerah harus melakukan itu. Yang ilmiah sering kalah dengan bisnis.

Kamis, 9 Juli 2020 | 06:25 WIB
0
474
Rapid Test
Ilustrasi rapid Test (Foto: disway.id)

Test kilat telah jadi bisnis tersendiri. Juga telah menjadi sumber pengurasan anggaran negara dan daerah.

Hanya satu daerah yang tidak menganggarkan pembelian alat rapid test: Sumatera Barat. Alasan utamanya sangat ilmiah: "Rapid test tidak bisa dipercaya," ujar dokter Andani Eka Putra kepada DI’s Way kemarin.

Di sana semua test dilakukan dengan PCR --swab test. Yang hasilnya praktis 100 persen bisa dipercaya.

Kuncinya ada di penemuan ilmiah oleh dokter Andani Eka Putra, Kepala Pusat Laboratorium Universitas Andalas Padang itu. Di sana test swab itu bisa dilakukan dengan cepat: hasilnya bisa diketahui dalam 24 jam. Dengan kapasitas yang sangat besar: 3.500 sehari.

Sudah lebih tiga bulan Sumbar melakukan itu. Sampai hari ini sudah 55.000 yang dites di sana. Padahal penduduknya hanya sekitar 7 juta.

Satu laboratorium di universitas itu sampai kekurangan sampel untuk dites.

Karena itu tidak ada zona merah di Sumbar. Paling tinggi oranye. Itu pun hanya di satu kota: Padang. Sumbar juga sudah memutuskan akan membuka sekolah yang sudah lama mulai Senin depan. Khususnya di 4 daerah.

Kalau daerah di luar Sumbar kuwalahan melakukan tes, di Sumbar sampai menggratiskan. Misalnya untuk pedagang dan pengunjung pasar, anak sekolah dan pesantren.

Seharusnya yang ingin bepergian pun bisa dites gratis di situ. Tapi tidak bisa. Peraturan menyebutkan hanya rumah sakit yang boleh mengeluarkan surat keterangan untuk perjalanan.

DI’s Way pun sudah menuliskan penemuan itu sampai tiga kali. Sampai sungkan. Sampai seperti promosi untuk dokter Andani, Universitas Andalas dan juga Sumbar.

Padahal tidak ada maksud lain kecuali agar menginspirasi daerah lain. Sayang kebaikan ini sulit menular. Kalah dengan penularan demam rapid test.

Respons dari daerah lain sangat minim. Pun tidak ada kebijakan nasional yang mendukung penyebaran temuan itu.

Padahal penemuan dokter Andani itu tinggal di-copy. Dokter Andani sendiri mau membagi ilmunya itu. Secara suka rela.

Semua uraian ilmiahnya bisa didapat dengan gratis. Pun dokter Andani bersedia memberikan tutorialnya. Secara gratis.

"Bagi saya ini jihad. Rakyat harus diselamatkan dari Covid-19," ujar Andani.

Akhirnya memang ada permintaan dari Jatim. Kabarnya. DI’s Way belum berhasil menelusuri apakah benar Jatim sudah mulai meminta.

Kalau pun ada permintaan seperti itu sudah sangat telat. Jatim telanjur dinilai babak belur --oleh tingginya angka Covid-19 maupun oleh konflik antara Gubernur Khofifah Indar Parawansa dengan Walikota Surabaya Tri Rismaharini.

Apakah betul ada permintaan dari Jatim itu? Dokter Andani belum tahu.

"Seandainya ada pun saya harus bertanya dulu. Apakah Jatim benar-benar minta dibantu," ujar Andani kemarin. "Kalau misalnya saya nanti ke Surabaya tapi respons di sana dingin, saya yang tidak enak," ujarnya.

"Kalau seperti itu tidak akan berhasil," tambahnya. Saya pun harus minta maaf kepada pembaca DI’s Way.

Kolom ini telah banyak terbuang untuk promosi penemuan cara lebih cepat melakukan test swab ala Sumbar itu.

Saya jadi ingat ceramah Prof Djohansjah Marzoeki, pelopor bedah plastik di Surabaya. "Sering sekali masalah ilmiah kalah dengan ego," ujarnya saat memberikan tribute lecture dua tahun tahun lalu.

"Masalah ilmiah juga sering kalah dengan subyektivitas," tambahnya.

Saya tidak akan lupa isi ceramah itu. Kampus yang seharusnya menjadi lembaga ilmiah dalam praktek sering tidak ilmiah. Acara hari itu mestinya untuk kalangan akademisi Unair. Sebagai penghargaan atas jasa luar biasa Djohansjah ke almamater. Saya diundang untuk hadir.

Prof Djohansjah dianggap sangat berjasa untuk Uniar khususnya untuk Fakultas Kedokteran. Karena itu acara tersebut diadakan khusus oleh junior-juniornya di aula fakultas kedokteran.

Tentu tidak hanya kampus yang harus menjunjung tinggi ilmu. Lembaga seperti laboratorium pun seharusnya juga. Tapi begitu sulit untuk mengakui penemuan ilmiah oleh laboratirium lain.

Pun di kampus. Ego masih lebih sering tampil daripada ilmu. Termasuk dalam hal penyelamatan manusia. Akibatnya lebih enak ambil jalan pintas: rapid test. Tinggal beli alat. Yang bisa diimpor dengan mudah. Soal efektivitas bisa disisihkan.

Dan rapid test sudah menjadi bisnis besar. Juga sudah ikut menguras anggaran publik.

Siapa pun yang melakukan perjalanan antar daerah harus melakukan itu.

Yang ilmiah pun juga sering kalah dengan bisnis.

Dahlan Iskan