Jokowi Melawan Para Thanos

Rabu, 19 September 2018 | 09:33 WIB
0
492
Jokowi Melawan Para Thanos

Ruang kampanye Pemilu 2019, bagi para politikus dirasa sangat mepet. Sementara bagi rakyat jelata, setidaknya saya, waktu kampanye terasa terlalu lama, apalagi ketika kualitasnya buruk banget.

Yandri Susanto, Ketua DPP PAN, sebagai tim pemenangan Prabowo-Sandi, usul salah satu sesi debat capres dalam Bahasa Inggris. Alasannya, presiden mewakili negara dalam konteks pergaulan international.

Usulan itu, sungguh menjengkelkan. Masih saja ada politikus super bahlul. Otaknya tak berisi, kecuali niatan busuk. Pilpres, sebagai keputusan sistem demokrasi sudah ditetapkan per lima tahun. Segala aturannya, sudah dibakukan atau pun direvisi per lima tahun.

Tetapi berbagai usulan perubahan (seperti pemakaian bahasa, jurkam pejabat negara dan ASN, capres-cawapres mencalonkan berapa kali, tuntutan president threshold 0 persen, dsb), selalu diributkan menjelang kampanye dimulai. Per jangka lima tahun itu ngapain saja? Nggak ada objekan?

Hal itu menunjukkan, yang suka usil dengan usulan-usulan (tak perduli politikus maupun akademisi) itu, tak bisa berdemokrasi dalam konteks menghargai keputusan bersama. Entah itu lewat parlemen, ataupun keputusan Mahkamah Konstitusi karena kita sebagai negara berdasar konstitusi.

Yandri dan para politikus buruk lainnya yang berada di kubu oposisi, hanya mencari celah mendelegitimasi capres lawan. Sasaran tembaknya pada Jokowi, yang bahasa Inggrisnya buruk, tidak Nginggris. Demikian juga mungkin Kyai Ma’ruf Amin. Beda dengan Prabowo dan Sandiaga, sebagai orang berpendidikan modern, konglomerat, kaya-raya, pergaulannya internasional, ngentut pun pronunciation-nya baik dan bener. Bukan tut tapi dung!

Tapi sayang argumentasi yang dibangun untuk usulan itu, sangat tidak relevan. Kelas politikus ecek-ecek. Lebih terlihat sebagai serangan pribadi, daripada memahami protokoler standar internasional, yang artinya berlaku juga di negara-negara lain.

Lagi pula, meragukan kemampuan komunikasi (bahasa Inggris) Jokowi, melemahkan lawan dengan cara paling vulgar.

Ketika Jokowi masih menjadi tukang kayu, ia telah berkomunikasi langsung dengan konsumen dari Amerika dan Eropa. Dalam berbagai expo-product ke luar negeri, Jokowi memimpin dan berkomunikasi langsung dengan berbagai relasi internasionalnya. Sementara Yandri ngapain sebelum jadi politikus?

Sebagai presiden, beberapa kali kita lihat, Jokowi menjamu tamu-tamu international, juga ketika bertandang ke luar negeri. Dalam komunikasi pribadi, di sela protokoler negara, tampak dari gesturenya, Jokowi tidak mempunyai problem komunikasi. Memang tidak secanggih Gus Dur, tetapi Jokowi mampu meng-entertain mereka. Jika tak menguasai komunikasi (bahasa dalam hal ini), bagaimana membangun keakraban dan saling pengertian?

Menyerang sisi pribadi, dan bukan masalah-masalah esensial, menunjukkan mereka memang hanya sekelas itu. Tak sepantasnya menjadi politikus, apalagi menjadi capres-cawapres. Tidak ada pemikiran, selain kebencian. Jika PAN, juga PKS, bakal turun suaranya, sebagaimana dirilis beberapa lembaga polling, itu harga wajar karena kualitas etik dan otak politikusnya.

Ketika Jokowi sampai pada pemikiran global, mengajak para Avengers melawan Thanos, Yandri Susanto cum suis belum tentu mengetahui apa itu Thanos. Pidato Jokowi di depan World Economy Forum on ASEAN di Vietnam, kini menjadi pembicaraan dunia internasional. Para Thanos mungkin menggeremeng, ‘ah bahasa Inggrisnya aja bulukutuk gimana mau ngancurin kita?’

Politikus busuk kita masih ngomongin yang nggak relevan. Bahkan, Sandiaga yang konon disarungi brand sebagai generasi milenial, justeru masih menunjukkan mentalitas Orde Bauk Soeharto. Ia hanya mengajak mengeluh soal biaya produksi yang melambung. Ia memainkan sentimen public untuk mendulang simpati. Di situ tampak sesungguhnya, politikus unyu-unyu selalu merasa lebih pintar. Padahal, hal itu hanya karena putus asa tak menemu jalan pemenangan.

Lihat usulan Yandri berikutnya; Ia minta dalam kampanye bersama, kandidat tidak dibatasi waktunya dalam memaparkan gagasan. Permintaan itu, lagi-lagi menunjukkan kualitas mereka, yang tak mampu merumuskan atau memformulasikan pikiran. Mengatur waktu dan merumuskan masalah saja tak becus, bagaimana mengatur negara dan merumuskan kebijaksanaan? Maunya debat capres seperti di pos ronda, warkop, atau Sarkem?

Oposisi tentu saja tak masalah. Yang masalah adalah kegoblokan. Mereka menjadi Thanos-Thanos dalam bentuk lain. Tak hanya Jokowi sendirian, kita juga perlu melawan kegoblokan para Thanos lokal ini. Mereka mestinya masuk kotak sejak 1998. Tapi di mana-mana, Thanos memang akan bergaul dengan para Thanos. Tak mengherankan.

***