Selamat Datang Koruptor, Bandar Narkoba dan Pemerkosa Anak di DPR!

Minggu, 16 September 2018 | 23:30 WIB
0
268
Selamat Datang Koruptor, Bandar Narkoba dan Pemerkosa Anak di DPR!

Akhirnya Mahkamah Agung (MA) telah memutus uji materi Pasal 4 Ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/kota terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) pada Kamis (13/9/2018).

Dalam amar putusan (MA) menyatakan bahwa larangan eks koruptor untuk menjadi calon legislatif bertentangan dengan undang-undang pemilu.

Padahal sebelumnya MA menyatakan pihaknya tidak bisa didorong atau didesak untuk segera memutuskan uji materi terkait Peraturan KPU yang melarang eks koruptor. Alasanya karena undang-undang pemilu juga sedang diuji materi di Mahkamah Konstitus i(MK).Malah seakan saling lempar tanggung jawab.

Dengan putusan ini, Peraturan KPU yang melarang eks koruptor, bandar narkoba dan kejahatan seksual kepada anak, dinyatakan gugur atau tidak berlaku. Kalau KPU mematuhinya dengan putusan MA ini.

Menindak lanjuti keputusan MA yang membolehkan eks koruptor menjadi caleg, maka berakibat eks koruptor yang sebelumnya dicoret karena dianggap tidak memenuhi syarat, berubah menjadi memenuhi syarat dan ini akan menjadi pekerjaan KPU. Karena, konsekuensi dari putusan MA yang membatalkan Peraturan KPU yang melarang eks koruptor menjadi caleg.

Apakah KPU akan mematuhi putusan MA yang membatalkan Peraturan KPU yang melarang eks koriptor menjadi caleg?

Rupanya KPU masih keukueh pada peraturan KPU yang melarang eks koruptor manjadi caleg. KPU meminta partai-partai untuk menarik calegnya yang pernah menjadi terpidana korupsi.KPU meminta kepada partai-partai untuk mematuhi pakta intergritas yang sudah dibuat dengan KPU,yang melarang eks koruptor menjadi caleg. Bahkan KPU ingin melakukan pertemuan dengan partai-partai untuk menarik calegnya yang eks koruptor.

Banyak masyarakat yang kecewa dengan keputusan MA yang membatalkan Peraturan PKU yang melarang eks koruptor menjadi caleg. Masyarakat menuduh MA tidak peka dengan pemberantasan korupsi, dan putusan MA mencederai semangat pemberantasan korupsi.

Padahal Mahkamah Agung(MA) hanya menguji:Apalah Peraturan KPU yang melarang eks koruptor, bandar narkoba dan kejahatan seksual kepada anak bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi, dalam hal ini undang-undang pemilu.Dan menurut MA,Peraturan KPU itu bertetangan dengan undang-undang pemilu,yang tidak ada larangan bagi eks koruptor untuk menjadi caleg.

Niat,semangat dan idealisme KPU yang membuat peraturan melarang eks koruptor menjadi caleg adalah semangat yang baik dan positif,supaya tidak ada caleg yang berstatus mantan koruptor.Akan tetapi,,niat baik yang melarang eks koruptor tidak boleh menjadi caleg jangan sampai melanggar undang-undang yang lebih tinggi.

Sebenarnya KPU juga ambigu atau tidak konsisten dalam menyikapi seorang tersangka koruptor dan eks koruptor. Kalau eks koruptor artinya sudah menjalani hukuman dan bebas murni.

Pada waktu KPK banyak menangkap tangan calon kepala daerah dalam pilkada serentak awal tahun 2018, baik calon kepala daerah tingkat kabupaten/kota dan provinsi. KPU yang waktu itu didesak untuk membuat peraturan KPU yang bisa mengganti calon kepala daerah yang sudah berstatus sebagai tersangka oleh KPK, tetapi KPU tidak mau membuat peraturan itu, dan berkilah akan melanggar undang-undang.

Malah mendesak kepada pemerintah untuk membuat atau mengeluarkan Perppu. KPU juga berdalih, bahwa calon kepala daerah yang bisa diganti kalau calon kepala daerah meninggal, seperti bupati Tegal,yang pada waktu itu kertas suara sudah tercetak, akhirnya harus mencetak ulang. Dan KPU juga berdalih, bahwa calon kepala daerah yang menjadi tersangka oleh KPK belum mempunyai hukum tetap atau inkrah.

Nah, di sini letak ambigu KPU, ketika calon kepala daerah menjadi tersangka oleh KPK, KPU tidak mau membuat peraturan yang bisa mengganti atau menarik calon kepala daerah yang berstatus tersangka. Alasannya bertentangan dengan undang-undang pemilu.

Dalam hal ini KPU bener patuh pada hukum normatif atau yang lebih tinggi. Tetapi mengapa KPU justru membuat peraturan KPU yang melarang eks koruptor menjadi caleg, padahal peraturan KPU itu bertentangan dengan undang-undang pemilu. Sekalipun dilandasi niat dan semangat yang baik.

Kenapa KPU tidak membuat peraturan  KPU dalam pilkada serentak yang lalu, yang melarang calon kepala daerah yang statusnya tersangka atau calon kepala daerah eks koruptor? Padahal seorang kepala daerah lebih berpotensi untuk melakukan korupsi. Kenapa hanya caleg eks koruptor saja yang dilarang?

Dan potensi untuk melakukan korupsi baik eks koruptor atau yang bukan eks koruptor ketika sudah menjadi anggota dewan sama saja dan tidak ada bedanya. Sama-sama punya potensi atau kecenderungan untuk melakukan korupsi secara bersama-sama,karena persetujuan suatu anggaran melibatkan banyak anggota dewan.

Apakah bisa seorang presiden membuat Perppu atau Kepres yang menghukum mati seorang koruptor, sekalipun dilandasi dengan niat dan semangat yang baik? Pasti tidak bisa, karena bertentangan dengan KUHP atau Undang-undang Korupsi yang memang tidak ada hukuman mati bagi koruptor, kecuali KUHP atau undang-undang korupsi dirubah atau direvisi terlebih dahulu.

Niat dan semangat yang baik harus dengan cara yang tidak melanggar hukum yang lebih tinggi, kalau ingin patuh pada hukum atau aturan. Kecuali kalau boleh untuk melanggar dengan alasan desakan masyarakat.

KPU sekarang juga mengahadapi masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang selalu menyisakan masalah setiap pilkada atau pilpres. Jangan malah membuat atau menciptakan masalah baru, karena harus berkejaran dengan waktu.

***