SBY Resmi Gabung ke Prabowo, Berduet untuk Melawan Jokowi

Rabu, 1 Agustus 2018 | 08:31 WIB
0
254
SBY Resmi Gabung ke Prabowo, Berduet untuk Melawan Jokowi

Selain harus "berani" dan selalu berprinsip "maju tak gentar", jargon politik modern adalah "ga perlu malu". Maksudnya, tidak perlu malu bagi dua jenderal "besar" untuk bersekutu melawan seorang lelaki yang biasa diledek "wong krempeng" dari Solo. Bagaimanapun caranya, yang penting bisa mengalahkan lawan. Soal malu, itu urusan belakangan.

Juga tidak perlu malu untuk mengubah prinsip politik yang selama empat tahun terakhir dianut, dari yang semula netral-netral saja alias mengambang menjadi berpihak, yaitu berlabuh ke oposisi, minimal untuk 10 bulan ke depan yang paling krusial.

Setidak-tidaknya apa yang dikemukakan Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani bahwa Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan Sejahtera yang telah sepakat untuk menerima Partai Demokrat bergabung dalam koalisi, menghapus anggapan lama "Partai Keluarga Cikeas" ini sebagai partai dengan politik mengambang.

Politik mengambang yang pernah dilancarkan pendiri partai Susilo Bambang Yudhoyono usai Pilpres 2014 terbukti hanya merugikan Demokrat sendiri. Di pemerintahan tidak dapat posisi apa-apa, bersuara sekeras mungkin juga tidak direken karena bukan bagian dari oposisi. Apa ga rugi berpolitik seperti itu? Ya, namanya juga mengambang, sifatnya bisa hanyut ke sana ke mari tergantung air yang mengalir.

Dengan pernyataan salah satu boss Gerindra itu, resmilah Demokrat bergabung ke "Koalisi Trio Kwek Kwek", yaitu Gerindra-PKS-PAN yang selama ini kompak, segendang sepenarian, sebagaimana aksi penyanyi Trio Kwek Kwek pada masa silam yang selalu bersuara kompak. Terbukti, suara trio ini lebih didengar khususnya saat melancarkan kritik terhadap pemerintahan Joko Widodo. Memang demikian adanya fungsi dan nature oposisi. Belum terdengar apa fungsi politik mengambang selama ini.

"Ketiganya menyepakati bahwa koalisi tiga partai ini menerima dengan sangat baik dan tangan terbuka, sebuah kehormatan, bergabungnya Partai Demokrat dalam koalisi ini," kata Muzani saat memberikan keterangan seusai pertemuan antara ketua umum dan sekjen dari ketiga partai di kediaman seorang pengusaha bernama Maher Algadri, di kawasan Prapanca, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa 31 Juli 2018 malam sebagaimana diberitakan Kompas.com.

Muzani mengungkapkan, pertemuan membicarakan kelanjutan pembentukan koalisi yang akan mendaftarkan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto sebagai calon presiden pada Pilpres 2019. Selanjutnya teknis terkait deklarasi pembentukan koalisi akan dibicarakan oleh para sekjen dalam beberapa hari ke depan. Bahkan para petinggi empat partai juga akan bertemu untuk menentukan cawapres pendamping Prabowo.

Muzani memperkirakan, bergabungnya Demokrat ke Koalisi "Trio Kwek-Kwek" akan semakin memperkuat koalisi pengusung Prabowo sebagai capres pada Pilpres 2019. Tentu saja dengan bergabungnya Demokrat nama "Koalisi Trio Kwek Kwek" gugur dengan sendirinya. Nama pengganti bisa Koalisi "Kwartet Jaya" sebagai simbol kejayaan dan akan berjayanya koalisi ini pada Pilpres 2019 yang akan datang.

Dengan bergabungnya SBY yang merupakan pendiri Demokrat ke Prabowo-Zulkifli-Sohibul, maka kritikannya tidak akan dianggap sebagai ngibul karena akan mendapat tempat sebagai oposisi minimal di sisi 10 bulan ke depan.

Tentu saja masuknya SBY yang akan terus mendorong anak sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono, maju sebagai cawapres kemudian capres kelak, akan menambah energi untuk memenangkan kontestasi di Pilpres 2019.

Alasannya, SBY berpengalaman telah dua kali menjadi Presiden RI. Jangan tanya apa yang telah diperbuat selama 10 tahun pemerintahannya, yang penting SBY berpengalaman 10 tahun menjadi Presiden, pengalaman yang bahkan tidak akan terkejar presiden modern saat ini, termasuk Presiden PKS. Jika menggunakan data dan fakta, lamanya SBY memerintah "hanya" terpaut 12 tahun dari masa pemerintahan otoriter Soeharto.

Muzani memastikan SBY akan "turun gunung" bersama tokoh-tokoh dari partai calon mitra koalisi lainnya untuk memberikan solusi kepada masyarakat. "Dan beliau akan turun gunung bersama dengan partai lainnya menyelesaikan problem yang kian berat dirasakan rakyat," kata Muzani.

Sekretaris Jenderal Demokrat Hinca Panjaitan bahkan menilai, "rematch" Prabowo terhadap Jokowi akan menarik atas kehadiran SBY dengan alasan energinya akan berlebih, apalagi SBY belum menggunakan kemampuannya untuk turun gunung.

Namun demikian Hinca belum berani berspekulasi apakah SBY nantinya akan menjadi tim pemenangan Prabowo di Pilpres 2019. "Nanti kami umumkan, biarkan dulu tim kecil ini bicara, total dulu untuk 10 hari ke depan," katanya berpatokan pada masa pendaftaran pasangan capres-cawapres yang sudah ditetapkan KPU.

Harapan Demokrat dan terutama Prabowo dengan Gerindranya tentu saja memenangkan kontestasi Pilpres 2019 yang pada Pilpres 2014 kalah secara menyakitkan, hanya beda 3 persen saja. Sujud syukur Prabowo mencium lantai bersama jajaran koalisi seusai hitung cepat dan perjuangan sengketa Pilpres ke MK pun tidak berhasil.

Sehingga, wajar jika ada semangat melakukan "revenge" terhadap Jokowi yang oleh sementara orang dianggap sebagai "menang untung" saja.

Uniknya, tidak ada yang menggugat "menang untung"-nya Jokowi mengingat sebagian warga negara Indonesia menganut Islam yang percaya taqdir atau qadar, bahwa memang Jokowi saat itu telah ditakdirkan Allah, Tuhan Yang Maha Esa, untuk menjadi Presiden RI, sekaligus mentakdirkan SBY yang kini bergabung ke Prabowo untuk gotong-royong menghadapi seorang Joko Widodo.

***