Sama-sama Presiden, tapi Joko Widodo di sini berbeda nasib dengan Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan di sana yang baru saja memenangkan pilpres dengan memperoleh 52% sekian dan mengalahkan kubu oposisi yang mendapat suara 30% sekian. Bayangkan kalau Jokowi memecat belasan ribu PNS yang menyokong pendirian negara khilafah dan mengangkat menantunya menjadi menteri keuangan, seketika gempa bumi politik bakal mengguncang bumi Indonesia.
Berbeda dengan Erdogan di sana yang nyantai saja saat memilih menantunya Berat Albayrak sebagai menteri keuangan atau memecat 18.500 PNS yang dianggap Gulenis semudah dia meniup randu dari telapak tangannya. Polisi dan tentara sudah lebih dahulu dipecat tanpa uang pensiun, ratusan wartawan ditangkap dan diadili.
Apakah Erdogan otoriter? Coba tanya kepada para pemujanya khususnya dari kalangan PKS di sini, jawabannya pasti, "O, tidak, itu bukan otoriter, itu satu bukti sikap tegas yang tidak dimiliki Jokowi!"
Asyemmmm, memang....!!!
Makanya kalau Erdogan yang banyak jamaahnya atau fans fanatik di negeri kita ini ternyata juga melakukan praktek nepotisme dalam pemerintahannya, pasti jawaban para pemujanya, "Ah wajar, itu belum seberapanya Jokowi". Apalagi penunjukan menteri dan bahkan wakil presiden di sistem pemerintahan Turki, itu hak prerogatif Presiden Erdogan.
Dan dampak atau efek diangkatnya menantu Berat Albayrak sebagai menteri keuangan mendapat respon atau sentimen negatif pasar uang dengan kejatuhan mata uang Lira, turun hampir 3% menjadi 4,75 US$. Sebenarnya mata uang Lira dari awal tahun sampai sekarang mengalami penurunan hampir 20% lebih dan menjadi tantangan presiden Erdogan untuk memperbaiki ekonomi negaranya.
Kubu oposisi pun tak kalah galak dalam mengkriktik Erdogan atas dipilihnya Berat Albayrak sebagai menteri keuangan dan menilai ini langkah sensasional dan kontroversial dan merusak sistem demokrasi di Turki.
Berat Albayrak sendiri berlatar belakang sebagai anggota parlemen dan sebagai pengusaha, juga pernah sebagai menteri ESDM.
Apalagi Turki juga mengalami perubahan atau peralihan dari sistem pemerintahan parlemen ke sistem presidensial yang hampir sama dengan sistem presidensil di Indonesia.
Dengan sistem presidensial, Presiden Turki Erdogan berwenang mengangkat menteri-menteri dan wakil presiden. Kalau di Indonesia dengan sistem presidensial, wakil presiden dipilih satu paket dengan pemilihan presiden. Sedangkan di Turki, wakil presiden dipilih oleh presiden terpilih.
Dan presiden Turki juga punya wewenang untuk ikut campur dalam sistem hukum, jadi hampir mirip sistem otoriter. Dan itu bisa dibuktikan dengan dipecatnya puluhan ribu PNS Turki, baik polisi, tentara, guru dan pegawai kejaksaan, akibat tuduhan terlibat atau menjadi simpatisan organisasi yang melakukan percobaan kudeta.
Coba kalau ada PNS/ASN di negeri kita yang menginginkan sistem khilafah dan menuduh pemerintah thogut dipecat sebagai PNS tapi akan terjadi kehebohan da tuduhan pemerintah otoriter dalam pemerintahannya.
Sedangkan Presiden Turki Erdogan malah mendapat pujian oleh jamaahnya atau fans fanatiknya di negeri kita. Mereka memuji dan memuja presiden negara lain, tetapi mencaci-maki presiden negaranya sendiri. Mereka kakinya menapak tanah di negeri ini, tapi alam pikirannya mereka merasa menjadi warga negara Turki.
Padahal di Turki sendiri sampai saat ini bentuk negaranya adalah "sekuler" dan Erdogan sendiri sepakat dengan sistem "sekuler", sekalipun hak warga negara yang ingin menjalankan agamanya juga tidak dibatasi dan diperbolehkan menjalankan agamanya secara bebas.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews