Lebaran Berlalu, Pesan Perdamain Terus Digaungkan

Selasa, 19 Juni 2018 | 18:40 WIB
0
801
Lebaran Berlalu, Pesan Perdamain Terus Digaungkan

Saya lebih suka menggunakan istilah “lebaran” karena tentu saja memiliki pesan budaya Nusantara yang khas, tidak sekadar berkonotasi hari raya bagi agama tertentu. Meskipun makna “Idul Fitri” (Hari Raya Suci) bagi umat muslim memiliki konotasi kurang lebih sama, sebuah perayaan atas berakhirnya suatu peristiwa keagamaan yang cukup fenomenal: puasa Ramadan dan turunnya kitab suci al-Quran.

Lebaran dan Idul Fitri tentu saja identik, karena umumnya orang Indonesia menggunakan kedua istilah ini untuk menggantikan satu sama lain, lebaran ya Idul Fitri begitupun sebaliknya. Bagi saya, tak ada satu momen besar yang sangat fenomenal di negeri ini, kecuali lebaran karena pada satu peristiwa itu semua orang disibukkan oleh banyak hal bahkan fokus pemerintah sangat teramat besar dalam hal ini.

Lebaran bagi bangsa Indonesia memiliki pesan khusus, yaitu kegembiraan dan perdamaian. Hampir tak ada orang yang melewatkan momen lebaran tanpa menunjukkan kegembiraan yang diselingi pesan perdamaian melalui serangkaian permohonan maaf, baik secara langsung maupun tidak.

Tak ada pesan khusus yang terselip dari momen ini, kecuali maaf, kasih sayang, damai, persatuan, penghormatan, dan silaturahmi. Adakah momentum di luar Lebaran yang sangat kuat menebarkan pesan perdamaian? Saya kira hampir tidak ada, bahkan untuk peristiwa yang sama, seperti lebaran Haji (Idul Adha) tak ada yang secara khusus terus menerus menebarkan pesan perdamaian.

Momentum Idul Fitri dalam tradisi Islam, memang disebut secara khusus dalam al-Quran yang didahului oleh berakhirnya puasa Ramadan. “Dan sempurnakanlah hitungan (puasa Ramadan), dan agungkanlah nama Tuhan (bertakbir) atas petunjuk-Nya kepada kalian, agar kalian menjadi orang-orang yang bersyukur” (QS. al-Baqarah: 185).

Prosesi Lebaran dengan demikian dalam ajaran Islam ditandai oleh berakhirnya puasa Ramadan yang disusul dengan mengagungkan nama Tuhan sebagai wujud rasa syukur atas segala kenikmatan yang sejauh ini diberikan Tuhan kepada manusia.

Ungkapan “takbir”, tentu saja adalah ungkapan rasa syukur dan terima kasih, bukan sekadar pekikan yang salah kaprah digunakan di jalanan dalam momen demonstrasi atau unjuk rasa.

Mengagungkan Tuhan melalui takbir hanya dilakukan oleh mereka yang secara khusus memahami makna akan sebuah “petunjuk” yang berhasil diungkap secara sadar melalui serangkaian ibadah puasa Ramadan.

Tanpa mampu mengungkap petunjuk Tuhan, takbir hanya sebatas “lips service” yang seringkali dimanfaatkan untuk memenuhi kepentingan sesaat, bukan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan sebagaimana kalimat takbir yang dikumandangkan ketika berakhirnya puasa Ramadan. Saya kira, gema takbir erat kaitannya dengan momentum rasa syukur, terselip makna yang kuat akan suasana suka cita, berkasih sayang, dan perdamaian.

Pesan perdamaian yang ada dalam setiap momen lebaran inilah yang semestinya mampu diungkap sebagai “petunjuk” Tuhan yang senantiasa ditanamkan kepada setiap manusia.

Meskipun pada kenyataannya, tak semua orang mampu menangkap pesan ini sehingga momentum lebaran hanya sekadar ritual tahunan mudik pulang kampung, memperteguh budaya konsumtif melalui kesibukan yang cenderung bersifat materialistik, dan tak jarang justru membuang nilai-nilai kebaikan positif bagi kehidupan manusia itu sendiri.

Kebanyakan justru memanfaatkan momentum lebaran sekadar liburan (vacation) tahunan secara massif, lupa akan nilai-nilai perdamaian dan humanisme yang terkandung dalam muatan nilai Lebaran itu sendiri.

Hal yang sangat disesalkan dalam momentum Lebaran kali ini adalah berdekatannya dengan ajang kontestasi politik lima tahunan. Lebaran yang seharusnya dimaknai sebagai pesan damai bagi seluruh alam, malah seperti tercemari hiruk-pikuk dunia politik.

Bukan saja karena soal keberadaan salah satu staf presiden yang baru saja dilantik lalu bertandang ke negeri Zionis Israel sehingga menuai kontroversi, namun soal pembangunan jalan tol yang selesai dibangun bagi mereka yang berlebaran, tak luput dari upaya menjadikannya suatu komoditas politik.

Pesan damai Idul Fitri ternyata gagal ditangkap oleh mereka yang merayakannya, dan pada akhirnya nilai-nilai kasih sayang yang terungkap dalam riuhnya ungkapan maaf justru tercederai oleh kuatnya “pesanan politik”.

Bagi saya, lebaran atau Idul Fitri mempunyai pesan yang kuat dalam hal perdamaian, termasuk menyepikan diri dari hal-hal yang akan mengundang kontroversial di ranah publik.

Jika memang soal undangan Israel itu lebih banyak mudarat-nya dibanding manfaatnya, seharusnya dengan kewarasan berpikir seseorang mungkin saja hal tersebut dihindari. Saya meyakini, bahwa adagium “dar’ul mafaasid muqaddamun ‘ala jalbil masholih” (mencegah kerusakan—termasuk kegaduhan—harus didahulukan daripada mendorong kemaslahatan) tetap merupakan prinsip terbaik yang masih berlaku hingga saat ini.

Bagi kalangan Nahdlatul Ulama (NU), adagium ini justru seringkali dipergunakan dalam konteks kepolitikan yang lebih memilih menghindari konflik ketimbang menciptakan kebaikan atau kemaslahatan.

Di sisi lain, momentum pilpres yang semakin dekat ditengah pesan kuat perdamaian Idul fitri justru menjadi bias karena suasana dukung mendukung dalam hal politik-kekuasaan memporak-porandakan nilai-nilai perdamaian didalamnya.

Saya masih ingat, betapa kuatnya dunia politik mencerabut akar kedamaian lebaran melalui serangkaian narasi pro kontra di media sosial. Pesan perdamaian justru sama sekali hilang tak terungkap, karena berondongan narasi politik yang saling serang, saling hujat, dan saling menyalahkan antarsatu kelompok dan lainnya dengan suasana penuh kesadaran ditengah euforia Lebaran. Lebaran yang menebarkan pesan damai dan bersatu ditutup oleh pesan-pesan provokatif akibat perebutan kekuasaan.

Disadari maupun tidak, prosesi puasa Ramadan yang diakhiri oleh momen teristimewa Lebaran yang semestinya merupakan pendidikan mengendalikan syahwat kekuasaan, justru paradoks dengan hasrat yang sedemikian besar terhadap praktik-praktik busuk kekuasaan.

Setiap orang lebih suka mengumbar syahwat politiknya dengan kebanggaan atas dirinya sendiri tanpa peduli jika ada orang lain yang tercederai. Mereka bahkan bangga mengumbar syahwat kekuasaannya di depan publik dan merasa bahwa apa yang dilakukannya adalah suatu kebenaran yang “tertutup” dari nilai-nilai kebenaran yang diakui secara umum.

Bergesernya nilai-nilai perdamaian yang dibawa oleh Idul Fitri digantikannya oleh nilai-nilai provokatif dan kontroversi seakan sengaja dipilih sebagai ungkapan rasa “kegembiraan” mereka, tak peduli jika harus mengorbankan pihak lain.

Namun demikian, rasa-rasanya masih ada sedikit orang yang memaknai lebaran dengan penuh suka cita, sebagai ungkapan rasa syukur yang tak terhingga kepada sang Maha Kuasa, sekaligus menangkap pesan perdamaian melalui serangkaian aktivitas kemanusiaan secara humanis, toleran, dan menjauhi hasrat kekuasaan politik sesaat.

Merekalah sesungguhnya yang sanggup menangkap pesan Tuhan dari peristiwa puasa Ramadan, senantiasa mengagungkan nama-Nya karena merekalah sebenarnya orang-orang yang masuk dalam skenario-Nya, mendapat petunjuk untuk menjadi manusia dalam wujud kemanusiaan yang sebenarnya.

Politik akan dipahami sebagai wujud nilai-nilai perdamaian dan kebaikan, bukan menyuplai nilai keburukan dan permusuhan.

Selamat Idul Fitri 1439 H. Maaf Lahir dan Batin!

***