Tesis Sederhana Arah Baru Indonesia, Cari Kawan untuk Kemaslahatan

Senin, 18 Juni 2018 | 04:34 WIB
0
557
Tesis Sederhana Arah Baru Indonesia, Cari Kawan untuk Kemaslahatan

Seorang Tiger Wood masih butuh seorang pelatih andal untuk mengetahui kelemahannya dalam dunia Golf, Tiger Wood sadar dia punya Blind Spot.

Seorang Imam Khomeini saat berada di Pengasingan Prancis butuh 3 orang penasehat senior (Dr Yazdi, Abulhasan BaniShadr dan Sadeq Quthbzadeh) dalam berjuang menumbangkan Syah Iran yang super kuat tahun 1979.

Seorang Erdogan pun masih butuh penasehat yang cakap (Huseyin Khansu) dalam menajalankan tugas berat memimpin Turki menuju negara kuat dan mandiri.

Seorang Yusuf al Qardhawi masih butuh teman untuk menasehatinya secara pribadi dalam urusan urusan mengurus masalah umat (Syeikh Ishom Thalimah & Syeikh Al Qarabaghi).

Dalam politik, yang dicari adalah kawan sebanyak banyaknya, bukan lawan dan musuh, berkawan dalam politik, bingkainya adalah narasi dan rasionalitas untuk mencapai tujuan kemaslahatan umum, ukhuwah yang dibangun atas dasar kepentingan adalah rapuh.

Dalam politik, gelar akademik gak banyak ngaruh, tapi narasi dan paham masalah adalah kebutuhan darurat, kalau gak punya semua itu baiknya minggat tanpa syarat.

Islam politik di indonesia saat ini memprihatinkan, karena sedang dikuasai oleh orang orang yang buta peta jalan dan ngaku ngaku doktor kakap, padahal aslinya teri asin.

Kondisi Islam politik saat ini dalam masalah besar, dibutuhkan mental baja, azam yang kuat, dan kesabaran yang mumpuni dalam mendobrak oligarki dakwah dengan mindset jadul yang sudah ketinggalan zaman.

Penyebab utama merosotnya islam politik di indonesia saat ini: tokoh yang klemar klemer, narasi yang miskin, tujuan yang kabur, style eklektisis primitif, dan akal yang malas(al aqlu al Mustaqil atau Resigned Reason).

Dalam islam politik, saat sebuah oligarki jadul dengan ciri ciri stagnan, kurang piknik, anti kritik, megalomania, ego yang terlalu besar, hasad hasud yang menguasai, pede tapi awam fakta, jalan terus tanpa data sosial, bicara asal nyala, belepotan tanpa batas, maka jangan berharap bangunan Islam politik itu akan kuat.

[irp posts="16119" name="Dalam Islam Politik Kesederhanaan Bukan Tuntutan, Bukan Kebutuhan"]

Di mana mana di dunia ini, sebuah pergerakan Islam model islam politik, pilihannya gak banyak, dipimpin oleh pemimpin cerdas lalu dia membesar, atau dipimpin oleh kalangan malas mikir lalu stagnan dan menuju kepunahan, Islam politik Indonesia saat ini sedang memiliki kriteria terakhir.

Ugal ugalan dalam mengelola sebuah jamaah islam politik berakibat fatal langsung ke masalah eksistensi, namun sayang, kalangan tua yang sudah jelas gagal total tapi masih pede unjuk keawaman, itulah penyebab utama islam politik Mesir saat ini muncul versi syabab (pemuda) nya secara resmi sebagai anti tesis kalangan tua yang expired cara mikirnya.

Kediktatoran yang salah tempat, doktrin lama yang usang, semangat yang menggebu gebu tapi salah arah, emosi di atas rasionalitas, adalah kriteria kompleks yang sedang dikoleksi saat ini.

Islam politik era sekarang harusnya tidak mengenal semua itu, Islam politik dunia saat ini mengalami stagnasi hebat, karena sejak berdiri dan di era di atas tahun 1928 an, belum ada reformasi dan lompatan pemikiran yang fundamental hingga kini.

Lebih parah lagi, karena stagnasi dan malas mikir saat ini menjangkiti kaum elit Islam politik Indonesia dengan tipikal negara ketiga dengan semua ciri cirinya, ini namanya "al ibtila al aam alal ikhtibar al khosh".

Kevakuman ide, kekosongan tokoh, arogansi maksimal, kemiskinan kreatifitas dan juga perpecahan hebat, efek kalangan elit era sekarang yang tidak mampu beradaptasi dengan zaman, hanya mampu tandatangan surat pemecatan, musuh sebuah narasi itu selalu ada dalam sebuah ruang bernama totaliter.

Saat semua kalangan islam politik di dunia sedang berupaya keras berbenah dengan ramah dan pasti, kalangan Islam politik indonesia justru terus mempertontonkan kepongahan diatas kepongahan rapuh yang layak mendapatkan keprihatinan mendalam.

***

Tengku Zulkifli Usman, analis politik di Jakarta.