Terorisme "Efek Samping" Pendidikan Agama yang Terbelakang

Jumat, 25 Mei 2018 | 05:37 WIB
0
434
Terorisme "Efek Samping" Pendidikan Agama yang Terbelakang

Terorisme adalah tindak menyebar ketakutan. Ledakan bom teror di satu tempat bisa menyebarkan ketakutan ke seluruh dunia. Terorisme sudah setua sejarah peradaban manusia itu sendiri. Sekelompok orang memutuskan untuk melakukan kekerasan, karena tidak sepakat dengan pandangan umum.

Terorisme lahir dari paham radikal. Paham radikal adalah kesesatan berpikir tentang kemurnian sebuah ajaran. Ia melahirkan kebencian pada perbedaan paham. Ia memberikan mimpi penuh kebohongan terhadap orang-orang yang tak berpikir panjang.

Keduanya lahir dari kesesatan berpikir. Kemurnian di dunia hanya ilusi yang berbahaya bagi fakta keberagaman kehidupan. Sayangnya, paham ini begitu mudah memangsa orang-orang yang lemah berpikir.

Agama dan terorisme

Sudah sejak lama, terorisme terhubung ke agama. Di dalam agama, banyak orang berhati baik, namun lemah berpikir. Mereka mudah menjadi korban cuci otak. Mereka mudah ditipu dan dimanfaatkan oleh para pemecah belah dan politisi busuk.

[irp posts="15739" name="7 Cara Teroris dan Propagandais Melakukan Cuci Otak"]

Mengapa agama dengan mudah menjadi sarang teroris? Pengamatan singkat langsung menunjukkan, bahwa setiap agama mengajarkan kebaikan dan perdamaian. Namun, ada sesuatu yang terlupakan di sini.

Radikalisme dan terorisme adalah dampak samping dari pendidikan agama yang terbelakang. Keduanya bukanlah tujuan dari agama, tetapi efek samping yang tak disadari keberadaannya, dibiarkan berkembang dan, pada akhirnya, memakan korban jiwa. Ada dua ciri dasar dari pendidikan agama yang terbelakang.

Pendidikan agama yang terbelakang

Pertama, pendidikan agama yang terbelakang itu gila hormat. Guru dan pemuka agama dianggap utusan Tuhan yang tak dapat salah. Apapun yang mereka katakan adalah kebenaran mutlak yang harus ditelan mentah-mentah.

Jika dilakukan dengan pola gila hormat, walaupun mengajarkan kebaikan dan kedamaian, agama justru menyebar benih-benih radikalisme dan terorisme.

Dua, pendidikan agama yang terbelakang itu menafsirkan ajaran secara dangkal. Tradisi dan pandangan kuno dipuja layaknya kebenaran mutlak. Sejarah dan konteks dilupakan begitu saja, sehingga salah paham pun tercipta. Dengan pola ini, pendidikan agama, walaupun tak ada niat langsung, justru menyebar paham radikalisme dan terorisme.

Supaya tidak lagi melahirkan radikalisme dan terorisme, pendidikan agama harus menghindari dua hal tersebut. Ia harus bersifat terbuka pada perbedaan, didasarkan pada sikap kritis, serta pemahaman yang tepat tentang sejarah dan konteks sebuah ajaran.

Para pemuka agama pun harus menempuh proses pendidikan yang bermutu dan kontekstual. Tidak bisa sembarangan orang mengaku pemuka agama, lalu menyebarkan benih radikalisme dan terorisme seenaknya.

***