Sakit Jiwa, Merasa Diri Paling Relijius Ketika Bersimpati kepada Teroris

Jumat, 11 Mei 2018 | 08:39 WIB
0
730
Sakit Jiwa, Merasa Diri Paling Relijius Ketika Bersimpati kepada Teroris

Untuk berempati atau bersimpati saja mereka pilih-pilih, seakan nurani atau mata hatinya tidak berfungsi dengan baik. Kalau tidak bisa berempati atau bersimpati terhadap suatu tragedi atau suatu kejadian yang sudah melebihi batas-batas kemanusiaan, lebih baik diam atau tidak berkomentar yang malah akan memancing suatu perdebatan.

Seperti kejadian gugurnya lima anggota Densus. Jasadnya diinjak-injak dan badanya penuh luka sayatan atau tusukan. Sampai-sampai pihak kepolisian melarang pihak keluarga untuk tidak membuka kain kafannya karena ditakutkan akan membuat trauma pihak keluarga akibat jasadnya rusak. Jadi pihak keluarga anggota Densus tidak bisa melihat jenazah, karena wajahnya penuh luka sayatan. Tentu ini bukan ingin mendramatisir.

Tetapi, justru ada pihak-pihak yang susah untuk berempati atau simpati, menuduh atau menyebar berita yang bersifat fitnah, bahwa kejadian di Mako Brimob itu adalah konsprirasi, settingan, sandiwara atau pengalihan isu. Kalau ada orang yang berpendapat seperti itu mungkin ada syaraf-syaraf otak yang mengalami syaraf kejepit atau syarafnya "konslet".

Tuduhan itu itu timbul,mungkin orang-orang itu terlalu sering baca "novel" atau "buku" dan menonton "film"  tentang teori "konsprirasi". Bukan membaca atau menonton secara kritis, malah otaknya terpengaruh oleh sesuatu bacaan tadi. Mirip orang-orang yang di doktrin atau cuci otak paham radikal,otaknya tidak bisa berfikir secara baik.

Atau tuduhan "pengalihan Issue", bagaimana bisa pengalihan issue sedangkan media massa baik media cetak atau media televisi atau media sosial dikuasai oleh swasta, bukan oleh pemerintah. Bahkan banyak media massa atau televisi yang berbeda pandangan dengan pemerintah karena banyak media massa atau televisi yang di kuasai oleh para politikus.

Kecuali negara ini negara otoriter yang membungkam media massa atau televisi, seperti pada massa orde baru, tudingan pengalihan isu bisa masuk akal. Bukan pengalihan issue tetapi mencari-cari issue untuk kepentingan politik.

Tuduhan-tuduhan itu berseliweran di dunia sosial atas kejadian di Mako Brimob. Malah jadi bahan komoditas politik.

Terkadang memang aneh di masyarakat kita, suatu bencana alam seperti gunung meletus, gempa bumi, banjir atau longsor yang menimbulkan korban jiwa, bukan berempati atau bersimpati atas musibah atau bencana, malah menuduh bahwa itu sebagai "hukuman atau azab" dari Tuhan. Seakan mereka seperti nabi-nabi baru yang mendapat mandat atau wahyu,untuk menyampaikan berita itu.

Yang paling gila dan "koplak", saking bencinya kepada pemerintah, wa bil khusus kepada Jokowi, ada segelintir manusia yang setiap harinya memelototi angka-angka, berharap Rupiah jatuh ke titik nadir, berharap bakal terjadi "chaos" seperti Krismon 1998, dan dari "chaos" itu kemudian berharap pemerintah berganti. Kalau tidak percaya, amati saja linimasa media sosial.

Masyarakat kita sudah terbelah karena perbedaan pandangan atau pilihan politik, tetapi kalau suatu tragedi atau kejadian yang butuh rasa empati atau simpati, masih terbelah, berarti ada sesuatu yang tidak beres pada otak kita.

Rasa kemanusiaan adalah sifat dasar manusia, maksudnya manusia mudah iba atau timbul rasa empati kalau melihat sesuatu yang dianggapnya sudah melebihi batas kemanusiaan. Tetapi kalau rasa empati timbul tetapi masih memilih-milih itu sesuatu yang agak aneh.

Kemanusiaan atau rasa empati timbul tidak memandang suku, aliran politik atau pilihan atau faktor agama dan keyakinan. Kecuali rasa kebencian menyelimuti otak dan pikiran kita.

Tuhan memberi microchip kepada setiap manusia,yaitu "nurani", nurani tak ubahnya seperti radar yang sangat sensitif dan radar paling canggih yang tidak mengenal jarak,jangkauannya tidak terbatas. Nurani ini bisa menangkap apa yang ada pada diri setiap orang.  Ia selalu berkata benar,sekalipun dengan diri sendiri.

Ketika seorang menjadi "saksi" di pengadilan, nuraninya lebih tahu terlebih dahulu, apakah yang di ucapkan dalam pengadilan itu bohong atau benar, ketika menjadi saksi.

Itulah hebatnya mata hati atau nurani. Kalau merpati tidak pernah ingkar janji, maka nurani tidak pernah salah, ia akan selalu berkata pada kebenaran.

Apakah nurani kita sedang bermasalah? Sering-seringlah diajak bicara nurani itu, supaya nurani kita tetap sehat. Jangan sampai diri kita dikendalikan hawa nafsu semata, tetapi nurani juga menjadi penunjuk arah, supaya tidak tersesat.

***