Bermasalah, Cak Imin-Romy Belum Pantas Jadi Cawapres Jokowi

Senin, 23 April 2018 | 05:59 WIB
0
713

Dua politisi muda yang menjabat sebagai Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskadar alias Imin dan Ketua Umum DPP PPP Muhammad Romahurmuziy alias Rommy hari-hari ini bersaing keras untuk dipilih sebagai Calon Wakil Presiden Joko Widodo alias Jokowi.

Hingga hanya untuk mencari simpati Calon Presiden Petahana Jokowi, keduanya menyatakan siap untuk berdebat secara terbuka supaya rakyat bisa melihat dan menilai siapa di antara Imin dan Rommy yang pantas mendampingi Jokowi pada Pilpres 2019 nanti.

Hubungan PKB dan PPP yang sama-sama menjadi parpol pendukung Pemerintahan Presiden Jokowi – Wapres Jusuf Kalla pun mulai panas. Gara-garanya masalah cawapres pendamping petahana Jokowi yang sudah deklarasi sebagai capres dari PDIP mendatang.

PKB kerap kali mengusulkan Imin, begitu pula PPP mengajukan Rommy sebagai cawapres untuk pendamping Jokowi. Namun, keduanya lupa, meski PDIP sudah declare mengusung kembali Jokowi pada Pilpres 2019, tapi SK pencapresannya belum diterima Jokowi.

Dan, ingat, dalam pengajuan capres-cawapres itu, biasanya SK-nya PDIP dalam satu paket. Artinya, ada nama capres dan cawapresnya. Jadi, rasanya carmuknya dua parpol pendukung Jokowi yang saling sindir dan serang itu hanyalah membuang-buang waktu.

Perselisihan itu berawal dari sikap sinis PPP atas deklarasi Ketum PKB Muhaimin Iskandar sebagai Cawapres Jokowi dengan nama Join atau Jokowi – Imin. Wasekjen PPP Achmad Baidowi memprotes deklarasi tersebur.

Alasannya, PKB belum konkrit memutuskan mendukung Jokowi pada Pilpres 2019. Dia pun menuding Imin memaksakan Jokowi untuk meminangnya sebagai cawapres. Mendengar hal itu, PKB membalas.

Ketua DPP PKB Jazilul Fawaid menyebut, langkah politik Ketum PPP Romahurmuziy alias Rommy tak diimbangi dengan penyampaian ide dan gagasan, terutama seputar isu ke-Islam-an.

Rommy tidak bicara mengenai isu terkait pandangan Islam terhadap negara atau tokoh-tokoh Islam saat ini. “Setahu saya, Pak Rommy hanya selfie-selfie bersama presiden,” sindir Jazilul, Rabu 18 April 2018, seperti dilansir Rmol.com.

Ia pun menuding, manuver Rommy mendekati Jokowi hanya demi menyelamatkan eksistensi partai yang digawanginya. “Kalau tidak, bubar itu PPP. Langkah yang dilakukan Pak Rommy hari ini supaya tidak bubar di 2019,” paparnya.

Jazilul kemudian mengingatkan, sebelum PPP bergabung dalam koalisi Jokowi, PKB telah lebih dulu ada bersama PDIP, Partai NasDem, dan Partai Hanura. Keempat partai ini adalah koalisi yang memenangkan Jokowi pada Pilpres 2014.

Anggota Komisi III DPR itu kemudian menyebut bahwa PPP belum memberikan kontribusi terhadap pemerintahan Jokowi. Kehadiran Lukman Hakim Saifuddin sebagai menteri agama yang merupakan kader PPP juga tidak banyak membantu.

Menyikapi ucapan Jazilul ini, Sekjen PPP Arsul Sani panas. Ia sangat tidak terima dengan prediksi PPP akan bubar. Arsul pun meminta Jazilul fokus mengurusi pencalonan Imin ketimbang mengurusi PPP.

“Pak Jazilul kayak dukun saja yang bisa memprediksi bubar atau tidak itu suatu partai. Pak Jazilul mending fokus perjuangkan Cak Imin lah,” sergahnya. Anggota Komisi III DPR ini kemudian membalas dengan menyebut PKB harus bersiap-siap jika Imin ditolak Jokowi.

“Daripada susah-susah memprediksi PPP mending dia menyiapkan diri untuk gembira atau menyiapkan diri untuk bersedih hati. Kata Cak Imin kan ‘kalau tidak dipilih Jokowi patah hati’. Yang penting, kalau patah hati jangan lama-lama,” ujar Arsul.

Arsul juga balik mempertanyakan kontribusi PKB terhadap pemerintahan. Dia menuding, walau punya banyak menteri, kinerja PKB di kabinet jeblok.

“Menterinya mana sih yang ada di sepuluh besar, menteri terbaik dari PKB kan tidak ada. Jadi, kalau bicara kontribusi suruh bercermin dulu, kontribusinya PKB apa ke pemerintahan. Gitu saja,” sindirnya.

Soal PKB dari awal dukung Jokowi, Arsul merasa tak perlu direken. Sebab, catatan sejarah itu bukan satu-satunya penentu siapa yang bakal menjadi cawapres Jokowi. Arsul kemudian menantang Imin untuk berdebat dengan Rommy.

“Biar kontestasi partai atau jabatan publik tak berbasis hal yang sifatnya nyinyir, PPP ajak agar ada debat publik antara ketum PKB dengan ketum PPP terkait isu nasional, seperti ekonomi dan pembangunan, teknologi, masalah sosial politik, dan kebangsaan di hadapan panel ahli,” papar Arsul.

Keduanya Bermasalah

Jika mau jujur, kedua ketum parpol berbasis massa Islam (baca: Nahdlatul Ulama) itu secara internal sebenarnya juga masih “bermasalah”. Keduanya itu memperoleh jabatan ketua bertepatan dengan timbulnya konflik terlebih dahulu di internal parpolnya.

Hingga menjelang wafatnya KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, misalnya, Imin masih “bermasalah” dengan keluarga Presiden RI ke-4 tersebut terkait konflik internal di PKB yang dibidani Gus Dur. Jejak digital banyak mencatat konflik tersebut.

[irp posts="14422" name="Saling Sindir, Rivalitas Cak Imin dan Romy Belum Berakhir"]

DetikNews pada Selasa, 8 April 2014, menulis, “Konflik dengan Muhaimin Terjadi Sampai Gus Dur Wafat”. Pihak keluarga menyebut, konflik antara Gus Dur dengan Imin itu benar-benar terjadi. Bahkan perseteruan itu berlangsung hingga Gus Dur wafat.

“Saya menegaskan konflik itu ada sampai ia wafat. Itu pernyataan (kubu Imin) direkayasa, diada-ada, keji, baik kepada Gus Dur, keluarga dan Gusdurian,” kata pengacara keluarga Gus Dur, Pasang Haro Rajagukguk, saat menggelar jumpa pers di Jalan Kuningan Timur No 12, Jakarta Selatan, Selasa 8 April 2014.

Pasang Haro membeberkan rentetan konflik itu. Konflik pertama, saat muktamar di Parung, Jabar, Imin membuat muktamar di Ancol dengan kepengurusan sendiri. Setelah itu, terjadi saling menggugat, sampai akhirnya Mahkamah Agung membatalkan kedua muktamar dan dikembalikan kepada hasil muktamar Surabaya pada 2005.

“Tapi, kenyataannya Imin tidak melibatkan Gus Dur bahkan disingkirkan dan ditekan,” kata Pasang Haro. Pada saat putusan PTUN, lanjutnya, muncul pernyataan dari kelompok Imin bahwa Gus Dur meninggalkan PKB.

“Itu menyakitkan. Setelah itu (Gus Dur) terjatuh dan pingsan di kamar mandi, sampai masuk rumah sakit berkali-kali,” ujar Pasang Haro. Ketika pemilu 2009, kubu Imin memanfaatkan kebesaran dan ketokohan Gus Dur dengan memajang simbol Gus Dur di baliho.

Saat itu Gus Dur menggugat dan dilupakan. Pada 2014 ini, menurut Pasang Haro, keluarga Gus Dur mengultimatum PKB Imin untuk tidak memasang apapun tentang Gus Dur seperti foto dan suara.

Namun, pihak Imin tetap menggunakan simbol-simbol Gus Dur dalam kampanye PKB. Istri mendiang Gus Dur Sinta Nuriyah dan keluarga melalui pengacaranya pun melaporkan Imin ke Bawaslu. “Inti instruksi Gus Dur, Imin dan jajaran supaya tidak menggunakan atribut Gus Dur tanpa izinnya,” tegas Pasang Haro.

Jadi, itulah “masalah” sebenarnya yang masih menyertai Imin hingga saat ini. Ponakan Gus Dur ini masih “berkonflik” dengan keluarga pamannya sendiri. Raihan jabatan Imin tersebut dilakukan melalui konflik internal PKB.

Begitu pula halnya dengan Rommy. Ia menjabat sebagai Sekjen DPP PPP periode 2011-2015 dan Oktober 2014 terpilih menjadi Ketua Umum DPP PPP periode 2014-2019 menggantikan Suryadharma Ali pada Muktamar VII PPP di Surabaya.

Di PPP pun, Rommy tak lepas dari konflik internal. Ia berkonflik secara hukum dengan kubu Djan Faridz yang juga mengaku sebagai Ketua Umum DPP PPP. Konflik internal PPP hingga sampai ke putusan Peninjauan Kembali di MA, seperti dilansir Kompas.com 17 Juli 2017.

Atas putusan PK tersebut, PPP kubu Djan Faridz siap melakukan islah dengan kubu Rommy. Hal itu disampaikan Sekjen PPP kubu Djan Faridz, Dimyati Natakusumah, menanggapi vonis PK MA yang memenangkan kubu Rommy.

Dimyati mengaku terkejut dengan putusan MA itu. Sebab, Undang-Undang Nomor 2/2011 tentang Parpol sudah mengatur bahwa perselisihan kepengurusan partai politik hanya bisa dibawa hingga tingkat Kasasi.

Menurut dia, hal itu tepatnya diatur dalam Pasal 33 ayat 2 UU tentang Parpol. “Mengagetkan juga karena UU parpol sudah jelas hanya sampai dengan kasasi. Tapi ternyata bisa PK,” ujar Dimyati saat dihubungi, Sabtu 17 Juni 2017.

Kendati demikian, Dimyati mengakui pihaknya tidak akan mempermasalahkan putusan MA tersebut. Apalagi, putusan di tingkat PK bersifat final dan tidak ada upaya hukum lain yang bisa dilakukan.

Nah, sekarang kembali ke Jokowi sendiri, apakah dia dan PDIP mau berikan kursi cawapres nanti ke Imin atau Rommy? Bukankah masih ada Puan Maharani dan Prananda Prabowo, dua anak Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri yang lebih berhak?

***