Sinyal Mendagri, Diskualifikasi Cakada Tersangka Boleh Dilakukan

Rabu, 28 Maret 2018 | 20:23 WIB
0
650
Sinyal Mendagri, Diskualifikasi Cakada Tersangka Boleh Dilakukan

Akhirnya, Mendagri Tjahjo Kumolo setuju apabila KPU menerbitkan peraturan KPU (PKPU) baru tentang pergantian calon kepala daerah yang terjerat masalah hukum di tengah-tengah proses gelaran Pilkada Serentak 2018.

Hal tersebut disampaikan oleh Mendagri karena pemerintah tak akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait dengan pergantian cakada yang jadi tersangka.

“Kemendagri prinsipnya mendukung langkah KPU untuk mengeluarkan PKPU,” ucap Tjahjo melalui pesan singkat kepada wartawan, Senin 26 Maret 2018, seperti dikutip CNNIndonesia.com.

Tjahjo mengatakan, penerbitan PKPU baru cenderung lebih rasional daripada menerbitkan Perppu untuk mengatasi masalah maraknya cakada yang ditetapkan sebagai tersangka oleh penegak hukum, termasuk KPK.

Penolakan usulan Perppu tersebut, kata Tjahjo, merujuk dari parameter objektif sebagaimana dimaksud putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138 tahun 2009.  Dia menjelaskan putusan MK itu merumuskan tiga syarat penerbitan Perppu.

Yakni: Pertama, ada keadaan atau kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan hukum. Kedua, undang-undang yang dibutuhkan belum ada sehingga ada kekosongan hukum.

Ketiga, “Kekosongan hukum tidak dapat diatas dengan pembuatan undang-undang karena membutuhkan waktu yang lama, sementara keadaan sudah sangat mendesak untuk diberikan solusi,” jelas Tjahjo.

Tjahjo lalu menilai problem teknis yang dihadapi KPU saat ini sudah ada rujukan hukumnya yakni Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah dan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.

Dengan demikian, syarat untuk menerbitkan Perppu, sebagaimana putusan MK, tidak akan dapat terpenuhi karena tidak ada kekosongan hukum. KPU, hanya perlu menerbitkan PKPU baru dengan berkiblat kepada dua undang-undang tersebut.

Dengan kata lain, tidak perlu ada Perppu. “Untuk itu solusinya lebih tepat diberikan oleh KPU melalui peraturan KPU (PKPU),” lanjut Tjahjo. Sebelumnya pada 13 Maret lalu, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menyarankan pemerintah untuk menerbitkan Perppu.

Langkah itu dinilai lebih baik daripada pemerintah meminta KPK menunda mengumumkan cakada yang ditetapkan sebagai tersangka. Lebih elegan solusinya bila sebaiknya pemerintah membuat Perppu pergantian calon terdaftar bila calon tersebut tersangkut pidana.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini memberi 3 usul kepada KPU terkait cakada berstatus tersangka. Pertama, mengubah PKPU terkait mekanisme pergantian cakada yang terjerat kasus hukum. Kedua, penerbitan perppu. Ketiga, revisi terbatas terhadap Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada.

Ketua KPU Arief Budiman menyatakan belum ingin menjalankan usul dari sejumlah pihak soal cakada berstatus tersangka itu begitu saja. Pihaknya perlu melakukan kajian mendalam terlebih dahulu terutama merujuk kepada Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

Arief beralasan andai lembaganya mengatur hal yang tidak ada dalam undang-undang, maka PKPU tersebut berpotensi digugat ke Mahkamah Konstitusi. Akibat terburuknya, PKPU dibatalkan MK.

“Ketika PKPU di-judicial review bisa kalah kalau kita enggak punya argumentasi yang kuat, jadi KPU belum ambil sikap soal itu,” katanya, seperti dilansir CNNIndonesia.com. Apa yang dikhawatirkan Arief Budiman ini sejalan dengan I Wayan Titip Sulaksana.

Menurut pakar hukum Universitas Airlangga Surabaya itu, jika hanya dengan PKPU rawan digugat, sebab bacada yang menjadi tersangka, boleh melanjutkan proses pilkada, sampai yang bersangkutan jadi terdakwa.

Wah bisa repot jadinya nanti,” tegas Wayan Titip yang juga aktivis anti korupsi itu. “Jika hanya karena keterbatasan waktu, ya terpaksa dengan PKPU. Dan bersiap untuk digugat bacada bermasalah,” lanjutnya kepada Pepnews.com.

“Namun, secara politis bacada yang bersangkutan sudah cacat, apakah rakyat berkenan untuk memilihnya?” ungkap Wayan Titip. “Rakyat yang akhirnya akan menanggung akibatnya dan negara rugi besar,” tambahnya.

“Untuk lebih kuat secara yuridis, minta fatwa MA,” jelas Wayan Titip. Sebab, “Jika fatwa MA diterbitkan, akan menjadi yurisprudensi untuk pilkada selanjutnya. Jika hanya dengan PKPU rawan digugat,” lanjutnya.

Sebab, bacada yang menjadi tersangka boleh melanjutkan proses tahapan pilkada, sampai yang bersangkutan jadi terdakwa. Sebelumnya, Ketua KPK Agus Rahardjo mendapatkan 368 laporan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh cakada.‎

Laporan itu diterima dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Dari 368 laporan tersebut, pihaknya bersama dengan PPATK telah menganalisa dan ada 34 cakada yang terindikasi kuat terlibat dalam praktik korupsi.‎

Menurutnya, dari 34 cakada yang diduga terlibat tindak pidana korupsi, hampir seluruhnya akan menjadi tersangka.‎ Namun memang, KPK butuh waktu untuk menetapkan tersangka para cakada tersebut.

Tidak harus menunggu selesainya persidangan di Peradilan Umum (pidana) atau di Peradilan Tipikor (korupsi). Sebab, kalau dia harus mengundurkan diri dalam kontestasi itu, cakada ini bisa terancam Pasal 191 ayat (1) UU Pilkada.

Dalam Pasal 191 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota itu disebutkan, para cagub-cawagub, cabup-cawabup hingga cawali-cawawali tidak boleh mengundurkan diri hingga sampai tahap pelaksanaan pemungutan suara.

Jika dia dinyatakan sebagai tersangka dengan cukup bukti sesuai perundangan yang berlaku, mestinya ini masuk katagori force majeure. Karena, ditangkapnya cakada itu suatu peristiwa yang terjadi di luar kemampuan manusia yang tidak dapat dihindari.

Sehingga suatu kegiatan tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Ini yang bisa saja diartikan sebagai “tidak mampu melaksanakan tugas secara permanen”, seperti diatur dalam pasal 54 PKPU Nomor 3 Tahun 2017 jo PKPU Nomor 15 Tahun 2017.

Solusinya: diskualifikasi! Sebelumnya, Ketua KPU Arief Budiman mengusulkan cakada yang menjadi tersangka KPK didiskualifikasi. Namun, harus ada kesepakatan bahwa diskualifikasi diberikan kepada mereka yang terjerat pidana spesifik seperti korupsi atau pembunuhan..

Tiga alasan mengapa Ketua KPU mengusulkan diskalifikasi. Pertama, dengan adanya sanksi diskualifikasi, maka parpol perlu berhati-hati dalam memilih paslon. Parpol seharusnya lebih selektif dalam mengusut terlebih dahulu kehidupan dari sosok yang ingin dijadikan cakada.

“Karena pemilih tidak akan memilih cakada bermasalah,” ujar Arief saat diskusi bertajuk Penetapan Tersangka Calon Kepala Daerah: Menimbang Perppu usulan KPK di Media Center KPU, Jakarta, pada Jumat, 16 Maret 2018.

Kedua, dengan usulan diskualifikasi ini, lanjut Arief Budiman, bisa jadi bukti bahwa hukum yang berlaku di Indonesia itu sangat tegas. Penetapan tersangka tidak akan membuat cakada punya kesempatan untuk maju pada Pilkada.

“Kalau mau lebih ketat, tegas dan keras dan demi pembelajaran dan penghukuman ke depan, maka perlu sanksi diskualifikasi calon yang menjadi tersangka,” katanya. Peraturan ini sudah cukup baik, calon yang menjadi tersangka tidak bisa ikut kampanye karena ditahan KPK.

Ketiga, jika diskualifikasi benar-benar ditindak lanjuti, kata Arief Budiman, penggantian cakada yang jadi tersangka boleh-boleh saja dilakukan. Dengan persyaratan, penggantian cakada itu dilakukan 30 hari sebelum proses pemilihan.

“Dan jika kejadian dalam waktu 30 hari menjelang pemungutan suara, maka pemilih tidak mempunyai waktu cukup untuk mendapat informasi tentang calon dan penyelenggara bisa kerepotan dengan produksi logistiknya,” lanjutnya.

“Saya sangat setuju dengan usulan Ketua KPU, cakada tersangka korupsi yang ditetapkan KPK didiskualifikasi saja, partai pengusung silakan cari calon lainnya. Pilkada untuk daerah yang bersangkutan ditunda,” tegas Wayan Titip

“Ini untuk menghindari para perampok, para begal uang rakyat jadi kepala daerah. Jangan biarkan rakyat memilih kucing dalam karung. Bagaimana jadinya kalau kepala daerah terpilih ternyata begal dan rampok,” ungkap Wayan Titip.

***

Editor: Pepih Nugraha