Tata Kelola Perpajakan yang Lemah Ciptakan "Fraud" dan Korupsi

Jumat, 23 Maret 2018 | 09:52 WIB
0
607
Tata Kelola Perpajakan yang Lemah Ciptakan "Fraud" dan Korupsi

Saya sudah sejak lama menaruh perhatian pada ekonomi makro, khususnya yang terkait dengan permasalahan ekonomi nasional. Memang ranah saya adalah hukum, wa bil khusus masalah penegakan hukum bidang pencegahan dan pemberantasan korupsi. Tetapi, saya berbicara ekonomi makro, khususnya perpajakan serta anggaran pendapatan dan belanja negara, tidak jauh-jauh dari pencegahan, penanggulangan sekaligus pemberantasan korupsi terkait kebocoran yang mungkin ditimbulkan dari tata kelola perpajakan.

Selaku Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2011-2015, saya tidak ragu meminta pemerintah, dalam hal ini Kementrian Keuangan untuk melakukan pengawasan yang lebih ketat dalam hal pengelolaan pajak. Mengapa Bu Sri Mulyani yang saya setuju, sebab beliau adalah menteri keuangan yang membawahi direktorat pajak. Saya peduli, sebab hal ini saya maksudkan untuk mencegah kebocoran anggaran dan belanja pemerintah yang ujung-ujung dapat merugikan masyarakat sebagai pembayar pajak.

Pajak memang untuk pembangunan itu sendiri, untuk kemakmuran dan kesejahteraan si pembayar pajak, yaitu rakyat. Akan tetapi, berkaca dari pengalaman di sektor pengelolaan perpajakan selama ini, masih banyak sekali kelemahan termasuk di dalamya tata kelola perpajakan yang masih amburadul yang bisa menimbulkan fraud dan korupsi.

Saya melihat, postur APBN 2018 untuk pendapatan negara diproyeksikan sebesar Rp1.894,7 triliun. Jumlah ini berasal dari penerimaan perpajakan sebesar Rp1.618,1 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak sebesar Rp275,4 triliun dan Hibah sebesar Rp1,2 triliun. Untuk belanja negara dalam APBN 2018 pemerintah dan DPR RI menyepakati sebesar Rp2.220,7 triliun. Nilai ini sangat fantastis, meliputi belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.454,5 triliun, serta transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp766,2 triliun. Sedangkan anggaran Infrastruktur Rp410, 7 triliun.

Melihat postur APBN 2018 seperti ini, pendapatan negara diproyeksikan sebesar Rp 1.894,7 triliun dan sebagian besarnya diharapkan diperoleh dari penerimaan pajak Rp1.618,2 triliun.

Dalam postur APBN 2018 juga terlihat di mana hampir sebagian besar pengeluaran dan belanja negara tersedot habis dalam pengadaan barang dan jasa, termasuk di dalam pembangunan infrastruktur yang didominasi pengadaan barang dan jasa . Inilah celah paling besar terjadinya korupsi sekaligus titik paling rawan!

Mengapa saya mengatakan titik paling rawan, sebab hampir sebagian besar kasus korupsi yang ditangani oleh KPK berasal dari Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ). Merujuk Laporan Tahunan KPK 2016 dan 2017, sektor PBJ merupakan titik rawan tindak pidana korupsi di samping sektor perencanaan dan pengelolaan Anggaran Pemerintah dan Belanja Daerah serta pelayanan perizinan.

Kasus korupsi KTP Elektronik merupakan salah satu contoh kasus korupsi di sektor PBJ di Indonesia di mana kerugian negara akibat korupsi KTP Elektronik itu mencapai Rp2,3 triliun dari total dana proyek yang dianggarkan sebesar Rp5,9 triliun. Artinya hampir 50 persen dana proyek KTP Elektronik ini dikorupsi.

Selain korupsi KTP elektronik yang melibatkan sejumlah anggota Dewan, Ketua DPR dan pengusaha, contoh lain kasus korupsi PBJ adalah kasus korupsi proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sarana Olah Raga Nasional (P3SON) di Hambalang atau dikenal dengan Kasus Hambalang yang mencuat ke permukaan beberapa tahun lalu. Kerugian negara akibat kasus ini menurut dia sebesar Rp706 miliar.

Kasus korupsi pengadaan barang dan jasa ini melibatkan banyak pihak, baik dari swasta yakni pemenang dan pemegang tender maupun pemerintah yang kemudian melakukan persekongkolan dengan pihak pemegang tender proyek tersebut. Sebagai catatan, hingga 31 Desember 2017 kasus korupsi PBJ yang ditangani oleh KPK sebanyak 171 perkara.

Merujuk pada hasil kajian KPK terhadap upaya pencegahan korupsi pada PBJ pemerintah ditemukan bahwa korupsi PBJ paling banyak terjadi pada lima tahapan atau proses, yaitu (1) tahap perencanaan anggaran; (2) tahap perencanaan-persiapan PBJ Pemerintah; (3) tahap pelaksanaan PBJ Pemerintah; (4) tahap serah terima dan pembayaran; dan (5) tahap pengawasan dan pertanggungjawaban.

Korupsi di sektor PBJ Pemerintah ini setidaknya akan mengakibatkan tiga hal, yaitu rendahnya kualitas barang dan jasa pemerintah, kerugian keuangan negara, dan rendahnya nilai manfaat yang didapatkan.

Salam...

***