Mengunyah Gosip Politik, Menelan Politik Gosip

Sabtu, 24 Februari 2018 | 05:35 WIB
0
102
Mengunyah Gosip Politik, Menelan Politik Gosip

Ditemani kopi dan asap rokok, orang seringkali menikmati diskusi politik. Namun, yang seringkali terjadi bukanlah diskusi politik, melainkan membicarakan gosip politik. Diskusi berpijak pada nalar sehat, teori dan data yang terpercaya. Sementara, gosip tak terarah, dan lebih suka mencari sensasi, daripada pengetahuan.

Seperti kita semua tahu, di 2018 dan 2019 ini, Indonesia memasuki tahun politik. Beberapa daerah secara langsung melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah. Tahun 2019 nanti, Pemilihan Anggota Legislatif (DPR) dan Pemilihan Presiden baru akan dilangsungkan. Di dalam keadaan ini, gosip politik menyebar begitu cepat dan begitu dasyat.

Gosip Politik

Gosip memang merupakan bagian dari hidup manusia. Pertama, ia merupakan bumbu pembicaraan. Dalam kepungan asap rokok dan kopi, sekelompok orang tidak bisa diam saja. Gosip pun muncul sebagai bumbu pembicaraan, supaya kebersamaan semakin terasa.

Kedua, gosip dianggap bisa menjadi sumber informasi sampingan. Rahasia dibongkar di dalam pembicaraan gosip. Walaupun, informasi tersebut kerap kali tak berdasar. Gosip seringkali dipelintir menjadi pembunuhan karakter, sekaligus untuk menciptakan kebingungan.

Jika diperhatikan, gosip politik bisa merupakan hasil analisis yang mengembangkan diskusi politik, tetapi bisa juga merupakan hoaks, atau berita palsu. Di tahun politik Indonesia ini, kita kerap kali sulit membedakan keduanya. Di dalam kebingungan itu, gosip pun menjadi politis. Yang tercipta kemudian adalah politik gosip.

Politik Gosip

Politik gosip memiliki tiga unsur. Pertama, ia memanfaatkan ketakutan masyarakat untuk menciptakan kebingungan lebih jauh. Di dalam sejarah, kita sudah melihat, bahwa ketakutan adalah daya dorong politik yang kuat. Ia menciptakan kebingungan besar yang berujung pada kesalahan memilih pimpinan politis, atau kesalahan di dalam membuat kebijakan politik.

Dua, gosip seringkali digunakan sebagai alat untuk pembalikan fakta. Yang salah jadi benar, dan yang benar jadi salah. Koruptor bisa dipoles menjadi pahlawan, dan pahlawan yang sebenarnya dipoles menjadi musuh masyarakat. Pilkada Jakarta 2017 lalu adalah contoh nyata dari politik gosip sebagai alat pembalikan fakta ini.

Tiga, seperti sudah terjadi berulang kali di dalam sejarah Indonesia, gosip digunakan sebagai alat politik untuk memecah belah. Beragam berita palsu disebarkan, guna menciptakan ketakutan dan kebencian di antara berbagai kelompok masyarakat. Konflik pun kerap kali terjadi, sebagai akibat dari kebencian yang tersebar. Masyarakat yang terpecah adalah masyarakat yang lemah, sehingga amat mudah ditaklukan oleh kekuatan-kekuatan asing yang rakus dan korup.

Depolitisasi Gosip

Pada akhirnya, gosip memang harus dikembalikan pada tempatnya, yakni sebagai gosip. Ia adalah bumbu pembicaraan. Tujuannya adalah hiburan belaka. Jika ia menjadi politis, yang seolah-olah mengandung kebenaran, kesesatan pun sudah di depan mata.

Disinilah arti penting dari nalar kritis yang tak mudah percaya pada segala informasi yang masuk. Kita perlu mengembangkan budaya untuk mengecek keabsahan informasi yang diterima, supaya tidak terjebak pada kebingungan, ketakutan dan kebencian yang sia-sia. Kita perlu menggunakan spiritualitas politik, yakni politik yang berpijak pada kesadaran, terutama kesadaran di dalam mengolah informasi, dan kesadaran di dalam membuat keputusan.

Asap rokok dan kopi memang nikmat. Namun, bukan gosip politik yang terjadi, melainkan diskusi politik. Data dan teori yang digunakan tajam dan terpercaya, bukan hanya mencari sensasi dengan menyebarkan ketakutan, kebencian serta perpecahan. Asap rokok, jika dibarengi dengan diskusi politik semacam ini, “mungkin” bisa menyehatkan…

***

Editor:  Pepih Nugraha