Bahasa Ibu

Jumat, 23 Februari 2018 | 06:54 WIB
0
514
Bahasa Ibu

Ternyata hari  Rabu, 21 Februari ini adalah peringatan tahunan Hari Bahasa Ibu Internasional (International Mother Language Day). Baru tahu, kan? Saya juga 😀.

Bagaimana awalnya sampai ada hari khusus untuk memperingati bahasa ibu di seluruh dunia?

Menurut sejarahnya, cikal bakal Hari Bahasa Ibu adalah Gerakan Bahasa Bengali yang dirayakan di Bangladesh.

Dulunya Bangladesh merupakan satu kesatuan dengan Pakistan (di bawah jajahan Inggris). Pada tanggal 21 Maret 1948 M. Ali Jinnah (Gubernur Jenderal Pakistan waktu itu) mendeklarasikan bahasa Urdu sebagai bahasa resmi Pakistan.

Tindakan ini memicu protes dari masyarakat Pakistan Timur yang didominasi etnik Bengali. Pada 21 Februari 1952 para mahasiswa di Pakistan Timur melalukan demonstrasi menolak bahasa Urdu. Demonstrasi ini kemudian berkepanjangan hingga bertahun-tahun dan memakan banyak korban. Perjuangan hingga titik darah penghabisan demi mempertahankan bahasa ibu.

Kemenangan akhirnya di tangan Pakistan Timur yang memisahkan diri dari Pakistan, untuk kemudian mendirikan negara baru: Bangladesh, pada tahun 1971.

Gerakan masif ini terus diingat hingga berganti generasi. Radiqul Islam, salah satu kerabat korban demonstrasi tahun 1952 itu, yang pertama kali mengusulkan ke UNESCO untuk memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional pada 1998. Usulan yang sempat mengalami kurang dukungan, sampai kemudian disetujui oleh Majelis Umum PBB pada 17 November 1999.

Hari Bahasa Ibu Internasional pertama kali diperingati pada 21 Februari 2000. Tujuannya adalah mempromosikan perdamaian dan kemultibahasaan, serta melindungi semua bahasa ibu di seluruh dunia.

Lalu apakah yang dimaksud "bahasa ibu"?

Bahasa ibu adalah bahasa asli, bahasa asal kedua orangtuanya, atau bahasa yang pertama kali digunakan seseorang ketika ia lahir, atau bahasa yang ia gunakan untuk waktu yang signifikan dalam kehidupannya.

Di banyak negara, bahasa ibu bukan sekedar bahasa nasional/bahasa resmi, tapi bahasa daerah. Hal ini terutama berlaku di negara yang terdapat banyak suku bangsa/etnik, apalagi negara kepulauan yang membentang luas secara geografis seperti Indonesia dan beberapa negara Asia.

Di Indonesia ada ratusan bahasa daerah, yang tidak semuanya digunakan secara aktif hari ini. Melihat daftar bahasa daerah yang begitu banyak, saya yakin tak akan cukup seumur hidup kita untuk mempelajari semuanya, apalagi menguasai dengan baik.

Untuk bahasa daerah asal orangtua/tempat kelahiran sendiripun penggunanya semakin berkurang, terutama di kalangan generasi muda.

Sudah bukan hal aneh kalau banyak orang daerah yang merantau ke kota besar seperti Jakarta, kemudian berusaha semaksimal mungkin untuk menutupi aksen aslinya. Apakah yang medok sundanya, jawanya, minangnya, bataknya, dan lain sebagainya. Ketika di Jakarta, yang menentukan suksesnya kita beradaptasi adalah bila kita bisa fasih ber "loe gue" dan membiasakan diri dengan istilah kekinian ala ibukota.

Saya tak tahu bagaimana keadaannya di daerah lain. Tapi di kota-kota besar seperti Surabaya dan Bandung, masih banyak generasi muda yang bangga menggunakan bahasa daerah di pergaulan sehari-hari. Bahkan sampai ada "Londo Kampung" yang sungguh fasih bahasa Suroboyoannya itu, lengkap dengan makian khas Arek Suroboyo.

Di Surabaya juga ada stasiun TV yang salah satu program beritanya disiarkan dalam bahasa Jawa ngoko. Yang menurut saya konyol dan cukup "maksa" adalah stasiun TV ini juga mensulihsuarakan film-film Hollywood ke dalam bahasa Jawa. Bisa dibayangkan? Saya saja sudah senyum sendiri mengingatnya.

**

Sebagai anak kelahiran Surabaya dari orangtua asal Banjarmasin dan Surabaya, kemudian dibesarkan selama belasan tahun di Riau, menghabiskan masa SMA di Bandung, lalu kuliah di Surabaya, dan mendapat jodoh orang Madura, saya menjadi terpapar dengan begitu banyak bahasa hingga sekarang. Logat dan bahasa saya bisa menyesuaikan dengan siapa saya berbicara. Hal ini sungguh menantang sekaligus menyenangkan.

Anak kami Fatih, lain lagi ceritanya. Kalau ada orang Indonesia baru yang mengajak Fatih bicara, biasanya mereka akan cenderung mengajak berbahasa Inggris. Mungkin karena Fatih tinggal jauh dari Indonesia. Memang akan dijawab oleh Fatih.

Tapi semakin akrab dan kenal, biasanya Fatih akan lebih nyaman berbahasa Indonesia. Lengkap dengan logat Jawa Timur yang medok. Kata salah satu teman, Fatih kalau bicara bahasa Indonesia mirip Joshua "diobok-obok".

Dalam pembicaraan sehari-haripun Fatih sering spontan menyelipkan kosakata bahasa Jawa. Jadinya memang unik dan lucu. Baru saja dia pulang sekolah di mana bahasa pengantarnya adalah bahasa Norwegia, kemudian di rumah dia mencicipi makanan yang baru saya masak sambil berkomentar, "Opo iki, Bunda? Ketoke enak, yo?" 

😁.

Tantangan orangtua perantau di manapun sebetulnya sama saja. Bagaimana menanamkan kebiasaan berbahasa ibu pada anak-anaknya, di tengah gempuran bahasa lokal di negara mereka merantau.

Kebanyakan, jangankan berbahasa daerah. Mengajak anak untuk konsisten berbahasa Indonesia saja berat rasanya. Seringkali akhirnya orangtua menyerah. Yang penting mereka tetap berbahasa Indonesia pada anak. Tidak jadi masalah buat mereka bila anak-anak menjawabnya dalam bahasa lokal.

Untuk urusan bahasa ibu, Norwegia patut diacungi jempol. Di banyak sekolah di sini, siswa dari luar negeri diberi kesempatan dan fasilitas untuk mendapat pelajaran Bahasa Ibu dari guru khusus yang sesuai dengan bahasa sang siswa (native speaker). Memang tidak semua bahasa disediakan. Tapi sesi khusus Bahasa Ibu ini dimaksudkan agar anak tetap fasih bicara dalam bahasa ibunya meski ia jauh dari tanah air.

**

Semoga saja semua bahasa daerah di Indonesia tetap banyak penggunanya sampai kapanpun, meski menurut penelitian semakin banyak bahasa daerah yang terancam punah atau bahkan punah sama sekali. Semoga para orangtua tetap semangat mengajak anak-anaknya mencintai dan melestarikan bahasa daerah, dan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Semoga pemerintah juga mendukung berbagai usaha pelestarian bahasa daerah sebagai kekayaan budaya.

Bagaimanapun bahasa adalah identitas bangsa kita di mata dunia. Jangan mau kalah dengan semakin banyaknya "wong londo" atau orang asing lain yang bukan saja lancar berbahasa Indonesia, tapi juga sangat fasih berbicara dalam bahasa daerah kita.

#Haribahasaibuinternasional

#InternationalMotherLanguageDay

***

Editor: Pepih Nugraha