Kami Bukan Hendak Membangun Jakarta

Sabtu, 3 Februari 2018 | 05:45 WIB
0
497
Kami Bukan Hendak  Membangun Jakarta

Lalu mereka berdua berkata, kebijakan becak belum waktunya. Sekarang masih dikaji. "Kalau mau para tukang becak itu bisa ikut pelatihan OK-OC," ujar salah satu di antaranya.

Saat mengatakan itu, mungkin, tiba-tiba kesadarannya hadir kembali. Seperti orang kesurupan baru siuman. Mereka gak sadar dengan apa yang baru saja diucapkan. Orang menyaksikan sambil bergumam, "Ternyata pikirannya masih bekerja, toh.."

Bukan begitu, kata temanku. Setiap kebijakan dan kontroversi yang mereka buat selalu dievaluasai, apakah bisa membawa naik popularitas dan sentimen positif untuknya. Apakah para pemujanya masih punya argumen yang cukup untuk membelanya.

Ternyata hasilnya parah. Bahwa para pemujanya sekalipun muak dengan ide becak beroperasi di Jakarta. Bahkan para gedibal partai sapi bongkrek bingung menyusun narasi pembelaan.

Ada pembelaan paling lucu. Katanya, jumlah mobil ada ratusan ribu di Jakarta. Jumlah becak cuma 1.000. Kenapa yang banyak tidak mau bertoleran pada yang sedikit, kata mereka?

[irp posts="9209" name="Sebab Becak Setitik Rusak Jakarta Sebelanga"]

Hah? Mereka bicara soal toleransi mayoritas terhadap minoritas? Tapi masalahnya hanya menyangkut persoalan becak? Giliran bicara ras dan agama mereka berteriak paling lantang memojokkan minoritas.

Gimana soal DP 0%, kebijakan itu bolak balik berubah. Awalnya rumah tapak. Bingung. Rumah DP 0 rupiah, tapi bingung soal cicilan. Orang miskin gak bisa nyicil. Lalu kelas menengah yang punya penghasilan Rp 7 juta, tinggal di rumah susun. Lantas orang miskinnya gimana?

Mereka yang tinggal di pinggir kali yang mestinya direlokasi untuk proyek pengurangan banjir di mana akan ditempatkan? Atau gak bakalan ada relokasi bagi mereka?

Artinya tidak ada normalisasi sungai juga? Itu sama dengan kali-kali Jakarta akan dibiarkan lagi kotor dan tidak terawat. Sama artinya proyek penanggulangan banjir tidak perlu dijalankan.

Ah, banjir sudah ditangani oleh Ahok. Sungai habis dikeruk. Penumpukan sampah di sungai butuh waktu lama untuk jadi menghambat air. Artinya, jika sekarang tidak diteruskan, lima tahun masa pemerintahanya belum akan berdampak banjir signifikan. Mungkin banjir besar lagi jika sudah 10 tahun ke depan.

Jadi gak usah diurus. Nikmati saja dulu hasil kerja Ahok, sambil memetik simpati orang miskin dengan membiarkan mereka hidup di bantaran sungai. Jakarta mungkin nanti akan banjir besar lagi, tapi itu bukan periode pemerintahan sekarang.

[caption id="attachment_9612" align="alignright" width="400"] Anies Baswean dan Sandiaga Uno (Foto: Twitter.com)[/caption]

Tidak perlulah berfikir terlalu panjang buat urus Jakarta. Jakarta hanya batu loncatan buat kampanye terus menerus. Pilpres 2019, bukan waktu yang lama. Yang penting image keberpihakan pada orang miskin. Meskipun keberpihakan semu.

Tapi ratusan supir angkot beberapa kali berdemonstrasi. Mereka marah jalanan sebagai haknya ditutup buat PKL. "Sekarang kami berpihak pada orang miskin. Orang miskin PKL. Kami tidak berpihak pada supir angkot," ujarnya.

Kenapa memilih berpihak pada PKL dan merampas hak supir angkot? "Tanya sama Haji Lulung."

Lalu bagaimana dengan KJP yang kini tersendat pencairannya? Bagaimana dengan pemotongan anggaran BUMD yang biasa menjadi penyeimbang harga kebutuhan pokok di Jakarta? Bagaimana dengan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan? Bagaimana dengan keadilan sosial?

Gak ada urusan dengan itu semua. Fokus pekerjaan kami adalah mencari isu untuk menaikkan popularitas. Bukan mau melayani rakyat Jakarta. Itulah amanah partai kepada kami.

[irp posts="7131" name="PKL, Ranjau Populisme" Mematikan, Jangan Sampai Terinjak!"]

Tapi di DPRD bukan hanya partai pendukungmu saja yang duduk di sana? Tuh, lihat. Mereka sudah mewacanakan hak interpelasi.

Hahahhahha, gampang. Mereka sudah lama puasa di jaman Ahok. Sekarang tinggal kita bagi-bagi saja. Mereka juga manusia politik. Doyan duit juga. Ingat, APBD DKI itu Rp 77 triliun lho. Belum lagi luasnya wewenang dan kebijakan. Itu semua bau duit. Mereka juga tahu itu. Ngapain mikirin interpelasi segala.

Gini deh. Kami memang bukan hendak membangun Jakarta. Bukan hendak membangun Indonesia. Kami cuma berniat merebut kekuasaan dan menikmatinya. Itulah cita-cita partai kami. Itulah tujuan kami.

***

Editor: Pepih Nugraha