Di tengah wacana impor beras yang digagas Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, nasib petani sebenarnya sudah lama dibuat gamang. Setidaknya, kegamangan itu terjadi karena ada dualisme kepengurusan Dewan Pimpinan Nasional Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), yaitu HKTI yang dipimpin Fadli Zon dan HKTI pimpinan Moeldoko.
Di dalam tataran politik nasional, antara Fadli Zon dan Moeldoko adalah dua kubu yang secara politis tidak bisa disatukan, karena keduanya mewakili kepentingan politik yang berbeda. Loyalitas Fadli Zon sudah barang tentu diserahkan sepenuhnya untuk Prabowo Subianto, yang tidak lain adalah Ketua Umum Partai Gerindra, di mana Prabowo sebelumnya juga adalah Ketua HKTI.
[caption id="attachment_8778" align="alignright" width="483"] Moeldoko dan pengurus HKTI (Foto: RMol.co)[/caption]
Sedangakan Jenderal (Purn) Moeldoko yang saat ini menjadi pimpinan Kantor Staf Kepresidenan (KSP), loyalitasnya tentu saja kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dan, kita semua tahu, Prabowo dan Jokowi adalah dua capres yang berkompetisi di Pilpres 2014, dan bukan tidak mungkin akan kembali bersaing di Pilpres 2019.
Lalu bagaimana nasib petani di antara dualisme kepimpinan HKTI tersebut? Siapa yang sebenarnya mewakili petani yang saat ini nasibnya bisa saja berubah bila kebijakan impor beras benar-benar dilakukan.
Padahal, keberadaan HKTI itu sendiri diharapan bisa menjadi mitra strategis pemerintah dalam mewujudkan ketahanan pangan, sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani Indonesia.
Ataukah HKTI hanya dijadikan lumbung suara dari masing-masing capres, sehingga keberadaanya selalu jadi rebutan dua kubu politik yang berlawanan ini.
Entahlah, Presiden Jokowi harus lebih memilih keberpihakannya kepada petani semata, dibandingkan kepada dua organisasi kerukunan tani tersebut.
Atau ada cara lain?
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews