Hikayat Jalan Stasiun Barat Bandung

Sabtu, 16 Desember 2017 | 05:03 WIB
0
683
Hikayat Jalan Stasiun Barat Bandung

Kalau saja tidak ada kabar rencana penggusuran di daerah Dago Elos, mungkin saya tidak akan pernah tahu bahwa secuil lahan penduduk di Jl. Stasiun Barat sudah sejak setahun lalu digusur, bahkan saat ini telah rata tanah. Kenapa secuil, bila dibandingkan dengan lahan di Dago Elos, yang konon mencapai 6,3 ha yang dulunya konon milik George Hendrik Muller, seorang warga Jerman yang pernah tinggal di Bandung pada masa kolonial Belanda.

Maka lahan yang ada di Jl. Setasiun Barat itu tentu tidak seberapa, hanya sekira 1800 m2, walau bila dilihat dari jumlah jiwa yang tinggal di dalamnya juga cukup banyak. Konon 55 ada KK menempati 62 bangunan. Jadi bila dirata-rata setiap KK hanya maksimal menempati 30 m2, belum dikurangi jalan-jalan gang dan mungkin ruang kosong.

Model kampung kumuh, yang untuk ukuran hari ini tentu pantas digusur karena akan dianggap mengotori panorama kota dan membuat wajahnya jadi tampak kucel. Saya tergerak menuliskannya, karena di tempat ini, ada sebuah warung makan khas Sunda yang menjadi favorit saya.

Entah kenapa racikan Bi Itoh, demikian saya memanggilnya terasa sangat cocok di lidah saya. Dia selalu membebaskan konsumennya mengambil lauk pauk sendiri, bahkan khusus saya (geer), berapa pun saya bayar selalu diberi kembalian. "Kanggo naek angkot atawa kanggo meser bengsin".

Setiap kali saya ke sana, selalu saja ia tak bosan bercerita tentang Pak Yana (alm), yang sudah saya kenal sejak masa SMA. Cara berceritanya, tipikal perempuan Sunda, sambil bawa lap piring sesekali dipakai menyeka air matanya yang muncul di pelupuknya.

Banyak orang yang (mungkin) lupa, ketika dulu didirikan Stasiun Bandung itu menghadap ke Selatan, bukan ke Utara sebagaimana sekarang. Dulu bagian Utara hanya kebon kosong yang banyak pohon kawung-nya, karena itulah di depannya dinamakan Jl. Kebon Kawung.

Jika tidak tahu apa itu kawung, maka anonimnya adalah nipah, enau, atau rumbia, yang dianggap tanaman serbaguna terpenting setelah kelapa. Tanaman penghasil gula ini, pada bagian atas batangnya diselimuti oleh serabut berwarna hitam yang dikenal sebagai ijuk, yang dahulu merupakan penutup rumah panggung khas Orang Sunda.

Stasiun Bandung inilah alasan utama didirikannya kota Bandung, yang sebelum tahun 1884, sebagimana hari ini sama sekali belum dikenal dalam peta. Bandung semula hanya, stasiun antara untuk menghubungkan kota Cianjur (juga Purwakarta) dan Garut. Di masa lalu, ketiga kota ini jauh lebih penting dibanding kota Bandung, yang dulu masih berupa kabupaten yang berpusat di Dayeuhkolot.

Dari hanya sebuah stasiun kecil, kemudian Bandung justru dianggap sebagai kawasan yang kelak pantas dijadikan Ibukota Hindia Belanda. Hingga awal tahun 1940-an, bahkan ketika dunia sedang mengalami masa malaise. Pemerintah Hindia Belanda terus melakukan pembangunan bahkan memperkuat pertahanannya dengan melengkapi fasilitas militer di Cimahi dan Andir.

Dalam perkembangan kereta api, kemudian perusahaan negara Statspoorwegen (SS) memindahkan kantor pusatnya di Bandung. Dalam konteks ini pulalah, sebenarnya Jl. Stasiun Barat harusnya dianggap sebagai situs penting di kota Bandung.

Namun, justru di sinilah letak permasalahan seriusnya, landmark depan Stasiun sisi Selatan, yang semestinya jadi pintu keluar masuk, entah sejak kapan justru dijadikan Terminal Stasiun (kemudian lebih dikenal sebagai St. Hall). Akibatnya sebagaimana kultur terminal dimana-pun, lalu tumbuh warung-warung rakyat dan diperparah dengan prostitusi liar yang memang pada era hingga tahun 2010-an masih sangat lekat di kawasan Stasiun Barat.

Konon mereka adalah "buangan" dari Kompleks Saritem, yang jaraknya sekira 1 km dari kawasan itu. Mereka tentu saja, adalah PSK yang karena umur, terbuang dari lokalisasi resmi lalu berkeliaran di jalanan. Maka sempurnalah citra Jl. Stasiun Barat sebagai kawasan kotor yang pantas digusur.

Masalah terlucu dari situasi di kampung ini, bila semula para penduduk bisa toleran terhadap mereka. Ketika mula-mula muncul isu penggusuran oleh PT KAI, merekalah yang mula-mula dijadikan kambing hitam lalu oleh warga diusir. Ini membuktikan bahwa penguasa sejak dulu hanya selalu berhasil dalam hal mengadu domba warganya.

Sayang sampai saat ini tidak pernah muncul edukasi atau penyadaran historis yang menganggap arti penting Jl. Stasiun Barat sebagai salah satu situs cikal bakal kota Bandung. Tak ada monumen di sana, tak ada penanda di sana. Dulu sempat ada Monumen Seribu Lentera yang artistik, namun sekarang diganti loko uap kecil yang malah menjadi biasa karena juga dilakukan di stasiun-stasiun lain juga.

Saya yakin, kalaupun nanti akhirnya kawasan gusuran itu dimanfaatkan pasti tak akan lebih jadi lahan parkir atau fasilitas komersial lainnya yang menguntungkan PT KAI. Lalu untuk apa rakyat berkorban bagi kotanya, bila sejarah hidup mereka pun telah dihapus dengan digusur? Sejarah kota pun tak pernah dianggap penting untuk dicatat dan ditandai.

***

Kartu pos terbitan JR de Vries & Co. Bandoeng tahun 1898, koleksi Indonesia Early Visual Documentary (IEVD)