Rahasia Sukses Soekarwo Mempecundangi Khofifah Dua Kali

Senin, 4 Desember 2017 | 06:28 WIB
0
225
Rahasia Sukses Soekarwo Mempecundangi Khofifah Dua Kali

Jangka waktu mengabdi selama 25 tahun sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) bagi Soekarwo tentu saja sudah bisa menjadi bekal untuk menjalin jejaring komunitas politik hingga tingkatan RT. Apalagi, jabatan terakhirnya sebagai Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur.

Dengan posisi Sekdaprov itulah, selama 5 tahun (2003-2008) mendampingi Gubernur Imam Oetomo, aktivitas administratif Soekarwo bisa sampai ke jaringan birokrasi di bawah, seperti KK. Contohnya, Sekdaprov yang membuat edaran peringatan “17 Agustus”.

Kariernya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dimulai pada 1983. Kariernya terus naik jadi Kepala Cabang Dinas Pendapatan Surabaya Selatan (1983-1994). Naik lagi menjabat Kepala Subdinas Perbankan, Dinas Pendapatan Surabaya (1994-1997).

Kemudian, jadi Kepala Dinas Pendapatan Daerah Tingkat I Jatim Pusat (1997), Kepala Dinas Pendapatan Daerah Jatim (2001), Ketua DP KORPRI Jawa Timur (2005). Ketua Umum IPSI Jawa Timur (2006), Sekretaris Daerah Provinsi Jawa timur (2003-2008), Komisaris Utama Bank Jawa Timur (2005-2009).

Melihat jenjang karier Soekarwo sebagai ASN itulah, yang membuat mesin politik jejaring birokrasi di akar rumput sangat kuat. Itulah kelebihan Soekarwo dibandingkan dengan rival politiknya saat menghadapi Pilkada Jatim 2008 dan 2013, sehingga menang.

[irp posts="5008" name="Rivalitas Soekarwo vs Khofifah pada Pilkada Jatim 2008 dan 2013"]

Dibandingkan Soenarjo yang kala itu menjabat Wakil Gubernur Jatim yang diusung Partai Golkar, jelas jejaring birokrasi Soekarwo lebih unggul dibanding Soenarjo. Sebab, namanya bisa lebih dikenal hingga tingkat Kepala Keluarga (KK) di tingkatan RT.

Apalagi, ditambah dengan jabatan organisasi sebagai Ketua DP KORPRI Jawa Timur (2005) dan Ketua Umum IPSI Jawa Timur (2006). Lengkaplah jejaring mesin politik hingga pelosok Jatim. Tidak salah jika akhirnya Partai Demokrat mengusung Soekarwo.

[caption id="attachment_5078" align="alignleft" width="526"] Khofifah Indar Parawansa (Foto: Elshinta.com)[/caption]

Dan yang penting pula, dengan jabatan “basahnya” sebagai Kadispenda, secara finansial juga sangat “siap” bertarung dalam Pilkada Jatim 2008. Sehingga, Demokrat tidak terlalu pusing dengan pendanaan untuk kepentingan kampanye Pilkada Jatim 2008 lalu.

Begitu pula ketika Soekarwo kembali bertarung saat Pilkada 2013. Mengutip Sindonews.com, Soekarwo adalah kepala daerah provinsi yang memiliki penghasilan tertinggi dari 33 provinsi yang ada di tanah air. Ia memperoleh Rp 642.360.003 setiap bulannya.

Itu berdasarkan Riset Sekretaris Nasional Fitra. Dari hasil studi Fitra, ada lima gubernur dan wakil gubernur dengan penghasilan tertinggi tahun anggaran 2012, yang pertama Gubernur Jatim dengan penghasilan per bulan Rp 642.360.003 juta setiap bulannya.

Hal itu diungkapkan Koordinator Riset Sekretaris Nasional (Seknas) Fitra Maulana dalam konferensi pers di Seknas Fitra, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Minggu 16 Desember 2012 atau sekitar 5 tahun lalu.

Ia menambahkan, dengan pendapatan tersebut, maka Soekarwo mendapatkan penghasilan sebesar lebih dari Rp 7 miliar setiap tahunnya, mengalahkan 4 gubernur lainnya, Gubernur Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, dan Sumatera Utara.

Meski telah memperoleh penghasilan tinggi, para gubernur tersebut masih mendapat fasilitas lainnya seperti tunjangan rumah tangga, pembelian inventaris rumah jabatan, pemeliharaan kendaraan dinas, pemeliharaan kesehatan, perjalanan dinas, dan sebagainya.

Perlu dicatat, Soekarwo saat menjabat Sekdaprov Jatim telah lama menggalang jejaring yang luas di jajaran birokrasi sipil dan masyarakat akar rumput. Apalagi, ia juga jadi “anak emas” Gubernur Imam Oetomo. Itulah keunggulan Soekarwo selama ini di Jatim.

Jadi, kemenangan Soekarwo dalam dua kali Pilkada Jatim (2008 dan 2013) itu bukan semata-mata faktor Saifullah Yusuf  (baca: Nahdlatul Ulama-NU) atau ke-NU-annya Gus Ipul yang digandengnya sebagai cawagub, nanum lebih karena jejaring birokrasinya.

Apalagi, pesaingnya waktu itu adalah Khofifah Indar Parawansa yang juga sangat kuat pada akar rumput jaringan NU, karena ia adalah Ketua Muslimat NU yang tentunya juga sampai ke tingkat RT dan Kepala Keluarga, terutama di kalangan warga NU sendiri.

Meski pasangan Khofifah kala itu berlatar belakang militer (Mudjiono, 2008) dan kepolisian (Herman Surjadi Sumawiredja, 2013), namun dengan kekuatan jejaring birokrasi Soekarwo ketika itu, Khofifah belum berhasil memenangkan kedua Pilkada Jatim itu.

Itulah kekuatan birokrasi yang dimiliki Soekarwo. Apalagi, jejaring komunitas pendidik dan guru turut serta membantu suara. Ingat, seorang guru itu bisa menyumbang sekitar 100 suara. Sebab, rakyat di tingkat akar rumput itu lebih percaya guru daripada politisi.

Tengoklah kemenangan tipis Soekarwo atas Khofifah dalam dua kali Pilkada Jatim. Hasilnya, akhir dari putaran kedua yang dirilis oleh KPU Jatim memenangkan Soekarwo atas Khofifah dengan perolehan suara 7.729.944 (50,20 persen) dan 7.669.721 (48,80 persen).

Khofifah menggugat ke MK dan berbuah keputusan putaran ketiga, yaitu pemungutan ulang di Sampang dan Bangkalan, dengan hasil akhirnya Soekarwo menang dengan 50,11 persen suara sementara Khofifah dengan 49,89 persen suara. Perbedaan suaranya tipis.

Pilkada Jatim 2013 akhirnya juga dimenangi Soekarwo dengan suara 8.195.816 (47,25%) sesuai dengan keputusan KPU Jatim pada 7 September 2013. Seperti halnya ketika Pilkada Jatim 2008, dalam Pilkada Jatim 2013, Soekarwo menang tipis atas Khofifah.

Wilayah Mataraman

Apakah dua kali Soekarwo menang atas Khofifah tersebut karena ia kelahiran Madiun yang disebut sebagai wilayah Mataraman? Belum tentu juga. Karena, beberapa nama cagub yang melawan Soekarwo dalam dua kali Pilkada Jatim juga berasal dari Mataraman.

Misalnya, ada nama Soenarjo yang juga seorang dalang lahir pada 19 Januari 1945 di Blitar; Sutjipto lahir pada 13 Agustus 1945 di Trenggalek; H. Achmady, lahir pada 8 November 1950 di Mojokerto; dan Bambang DH lahir pada 24 Juli 1961 di Pacitan.

Itulah faktanya. Bahwa latar belakang cagub atau cawagub tidak lagi harus berasal dari satu wilayah tertentu. Kenyataan bahwa di wilayah Jatim itu terbagi dalam empat latar belakang kawasan kebudayaan: Jawa Mataraman, Arek, Madura Pula, dan Pandalungan.

Wilayah kebudayaan Jawa Mataraman berada di sebelah barat. Wilayahnya paling luas, membentang dari perbatasan Jawa Tengah hingga batasnya Kabupaten Blitar. Paling timur dari wilayah Mataraman itu Kabupaten Blitar.

Tepatnya berada di Kecamatan Sukorejo (kecamatan ini terbagi ke dalam 2 kabupaten: Blitar dan Malang). Di sebelah utara dan selatan pun batas Mataraman masuk wilayah Kabupaten Blitar (Kecamatan Selorejo dan di selatan Kecamatan Wates).

Budayawan Dwi Cahyono membaginya menjadi Mataraman Kulon (Barat), Mataraman Wetan (Timur), dan Mataraman Pesisir. Pembagian ini didasarkan pada jejak sejarah dan budaya lokal yang berkembang di sana. Bahasa menjadi ciri yang paling mudah untuk membedakan ketiganya.

”Dari segi kedekatan budayanya dengan Jawa Tengah, Mataram Kulon lebih kuat. Bahasa sehari-hari yang digunakan lebih halus dibandingkan Mataram Wetan. Wilayahnya adalah  bekas Keresidenan Madiun,” ulas pengajar Universitas Negeri Malang ini.

[irp posts="4561" name="Mataraman Justru Akan Bersatu Melawan Emil Dardak"]

Paling utara dari kawasan Mataraman itu perbatasannya di wilayah perbatasan Kabupaten Jombang dan Mojokerto. Sebelah timur Mataraman adalah wilayah kebudayaan Arek. Batas alamnya adalah sisi timur Kali Brantas.

Sungai ini menjadi penting sejak abad keempat, baik segi perdagangan maupun interaksi antara wilayah pesisir dan daerah pedalaman. Wilayah kebudayaan ini membentang dari utara ke selatan, dari Surabaya hingga Malang.

Ciri sosial dan budaya juga berpengaruh terhadap tradisi politiknya. Pengaplingan politik berlaku pula di sini. Masyarakat di wilayah kebudayaan Mataraman sejak 1955 hingga 2004 selalu ”loyal” kepada partai-partai nasionalis.

”Mereka tidak suka yang mencolok-colok, misalnya Islam yang terlalu Islam itu tidak suka karena dianggap tidak nasionalis. Jadi, partai-partai yang berlabel nasionalis akan laku di sini,” ujar budayawan Universitas Jember Ayu Sutarto (2004).

Sebaliknya, mayoritas masyarakat di Madura dan Pandalungan lebih loyal pada partai yang berbasis massa Islam NU, seperti Partai Kebangkitan Bangsa. Ulama dan kiai masih menjadi tokoh panutan di sana. Pengaruhnya pun ikut merambah ke ranah pilihan politik warganya.

Yang agak “abu-abu” dan agak sukar pembedaannya adalah kawasan Arek dan Pendalungan. Sebab segala sesuatu tentang kawasan ini sebenarnya identik. Sama-sama ada percampuran darah dengan Madura. Seperti di daerah selatan Malang, ternyata ada juga orang Madura.

Di sini ada keberimbangan antara pendukung partai-partai nasionalis dan partai-partai ”warga NU”. Pada Pemilu 1999 dimenangi oleh PDIP yang ”merah”. Lima tahun kemudian berubah, PKB yang ”hijau” berhasil unggul. Itulah realita politiknya.

Dan terakhir, perlu diingat bahwa rakyat di keempat wilayah kebudayaan itu, terutama di pelosok, lebih patuh pada birokrat atau guru ketimbang politisi. Terutama, saat mereka harus menentukan pilihan politiknya, kepada siapa suaranya diberikan!

***