Lengkapi Berkas Perkara Penyidikan, Strategi KPK untuk Ulur-ulur Waktu

Kamis, 30 November 2017 | 14:22 WIB
0
450
Lengkapi Berkas Perkara Penyidikan, Strategi KPK untuk Ulur-ulur Waktu

Sedianya sidang Praperadilan Setya Novanto yang kedua dimulai Kamis, 20 November 2017 hari ini pukul 11.00 Waktu Indonesia Barat. Namun sampai tenggat waktu yang ditentukan, pihak Komisi Pemberantasan Korupsi tidak jua nongol di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Padahal, ini adalah sidang Praperadilan "hidup-mati" bagi Setya Novanto yang kini ditahan KPK akibat tersandung kasus korupsi KTP Elektronik.

Ibarat main catur, KPK sengaja menerapkan strategi tidak hadir saat pertandingan akan dimulai dengan alasan melengkapi berkas perkara.

Pada masa lalu saat berlangsungnya dwitarung antara Bobby Fischer dan Boris Spassky tahun 1972 di Reykjavik, Islandia, pecatur eksentrik asal Amerika Serikat itu tidak hadir di depan papan catur meski Spassky menunggu. Wasit tetap memijit waktu berpikir Fischer dan Spassky menunggu di ujung papan catur, menanti lawan yang tak kunjung tiba.

Benar bahwa kemenangan dipetik oleh Spassky atas ketidakhadiran Fischer hingga jam caturnya jatuh. Namun pada keesokan harinya, saat partai berikutnya dimainkan, Fischer bisa melumat Spassky dengan persiapan yang matang, di sisi lain Spassky sudah "takabur" karena sudah menang psikologis, merasa sudah unggul. Akibatnya dia lengah dan akhirnya kalah.

[irp posts="4442" name="6 Kali KPK Kalah, Setnov Cari Kemenangan Lagi di Praperadilan Kedua"]

Dalam kondisi, tempat dan waktu yang berbeda, KPK melakukan strategi yang sama dengan Fischer; mengulur-ulur waktu. Bahasa kerennya buying time. Ini tampak dari bangku khusus untuk pihak termohon, yakni KPK, yang kosong melompong  hanya berisi angin. Padahal, Hakim "semata wayang" Kusno sudah memulai dan membuka jalannya persidangan serta memeriksa kehadiran para pihak.

Kusno akhirnya menjelaskan bahwa pihaknya menerima surat dari KPK, ditujukan kepada kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menyidangkan gugatan Praperadilan Setya Novanto ini. Sampai Hakim Kusno memerintahkan untuk mencari unsur KPK agar bisa duduk di ruang sidang, tidak ada satu pun pihak KPK yang menampakkan batang hidungnya.

Setya Novanto mengajukan gugatan praperadilan pada 15 November 2017 lalu usai ditetapkan kembali menjadi tersangka untuk kasus yang sama, korupsi KTP Elektronik. Dengan demikian, ini Praperadilan kedua bagi Novanto. Pada sidang Praperadilan pertama, hakim " semata wayang" Cep Iskandar memenangkan Setya Novanto sehingga lolos dari status tersangkanya.

Ibarat sinetron yang tak kunjung usai, KPK menetapkan kembali Novanto menjadi tersangka di kasus yang sama lagi. Lagi-lagi, Setya Novanto menggugat lagi penetapan tersangka tersebut dengan Praperadilan di pengadilan yang sama.

Dengan alasan melengkapi berkas perkara, buying time untuk sementara waktu dimenangkan KPK. Saat itulah KPK berupaya keras mempersiapkan pelimpahan berkas penyidikan ke pengadilan. Jika ini sudah dilakukan, maka Praperadilan yang dimintakan sudah tidak berlaku lagi.

Dengan alasan meminta waktu untuk mempersiapkan pelimpahan berkas penyidikan Setya Novanto ke pengadilan, Ketua Agus Rahardjo saat jumpa pers di Hotel Bidakara, Kamis hari ini, meminta agar sidang gugatan praperadilan yang diajukan tersangka kasus dugaan korupsi proyek KTP Elektronik diundur sampai tiga minggu.

"Di dalam sidang pertama (hari) ini, kami mengajukan minta waktu untuk mundur kalau tidak salah tiga minggu. Terserah Pak Hakim mau berikan berapa," kata Agus Rahardjo sebagaimana dikutip sejumlah media.  Sebelum melimpahkan berkas penyidikan ke pengadilan, KPK harus terlebih dahulu menyelesaikan pemeriksaan saksi yang meringankan Setya Novanto.

Agus beralasan, KPK masih memerlukan waktu untuk menyelesaikan proses pemeriksaan itu. Ia optimistis, berkas penyidikan Setya Novanto akan segera selesai dan dilimpahkan ke pengadilan sebelum sidang praperadilan Novanto berikutnya dilakukan.

[irp posts="4400" name="Kewenangan Lembaga Praperadilan Kerap Disalahgunakan"]

Dalam kasus e-KTP, KPK menduga Novanto bersama sejumlah pihak menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi, antara lain Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo, pengusaha Andi Agustinus, serta dua mantan Pejabat Kemendagri Irman dan Sugiharto.

Setya Novanto diduga menyalahgunakan kewenangan dan jabatan saat menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar yang  mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari nilai paket Rp 5,9 triliun.

Ketua DPR RI itu dianggap melanggar Pasal 2 Ayat 1 Subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.

***