Teks dan Konteks Istilah "Bunda"

Senin, 27 November 2017 | 04:00 WIB
0
1943
Teks dan Konteks Istilah "Bunda"

Kemarin saya dicolek sedulur Sala saya, Mas Bambang Haryanto, blio ini bagi saya seorang teknokrat humor Indonesia. Nyaris tak ada lelucon Indonesia, dari berbagai etnis yang lepas dari amatannya. Bukunya tentang teori dan praksis humor sudah banyak beredar, kajiannya tentang humor dari berbagai negara kerap muncul menyapa publik di berbagai media.

Intinya dia adalah seorang intelektualis humor, melihat humor bukan sekedar alat untuk menghibur, tetapi terutama cermin tingkat kecerdasan dan terutama kedewasaan suatu masyarakat. Artinya, semakin maju suatu masyarakat tentu memiliki nilai-nilai dan cita rasa humor yang sangat tinggi. Cirinya tidak mudah tersinggung, apalagi kalap, apalagi sedikit-sedikit menggunakan UU ITE, lalu lapor polisi.

Jelas mereka bagian dari kultur masyarakat, yang jangankan bisa bahagia dengan ditertawakan orang lain, pasti ia akan gagal mentertawakan dirinya sendiri. Mungkin, mereka ini termasuk yang "terlalu serius" memandang urusan dunia dan keduniawian. Padahal hidup itu kata orang Jawa, urip mung mampir ngombe (sekejap hanya mampir minum), yang sekarang diplesetkan jadi urip mung mampir ngguyu.

Makanya, bahkan ada anekdot tembang Jawa yang bagi saya, sebenarnya nggak lucu sama sekali: Ayo Ngguyu... Tertawa kok dipaksa-paksa!

Karena itulah ia bisa memaknai secara mendalam, betapa lucunya penggunaan istilah "bunda" dalam masyarakat kita di hari-hari ini. Menurut KBBI, kata bunda berasal dari kata ibunda, kepanjangan dari ibu.

[irp posts="2448" name="Ibunda Luna Maya Seorang Austria Yang Suka Bertualang"]

Tidak ada yang aneh sebenarnya, hingga kemudian saya menyebutnya sebagai "panggilan melodius" yang menjadi pilihan para mahmud (mamah-mamah muda), tentu saja pilihan ini baik dibanding misalnya panggilan "mami" yang konotasinya malah jadi agak turun nilainya saat ini. Sejak ia digunakan oleh bapak-bapak ganjen (baca: hidung belang), yang suka jajan di luar.

Tentu gak ada yang bebas nilai. Sayangnya, panggilan yang terasa agung ini menurut catatan saya, menuai dua kontroversi yang sama sekali malah gak lucu. Pertama, sekelompok penganut Islam (catat sekali lagi dengan garis bawah "hanya sekelompok!") menganggap istilah ini sebaiknya tidak digunakan.

Kok bisa? Bisa, karena istilah ini telah melekat terlebih dahulu dalam istilah agama Nasrani, tentunya untuk menyebut Bunda Maria, sebagai ibu dari Yesus Kristus.

Bagi kelompok ini, menggunakan istilah yang terlebih dahulu melekat pada term agama lain akan dianggap sesat. Ujungnya adalah kafir, karena lebih mengikuti ajaran orang lain daripada agamanya sendiri. Huh, lagi-lagi!

Kedua, ini lebih pada cerita yang ironik dan Indonesia banget. Banyak sekali pejabat yang tertangkap KPK di daerah, yang sangat suka dipanggil Bunda. Tidak terbatas di wilayah yang memang berbasis bahasa ibunya memang "Melayu", tetapi justru di Jawa Tengah, yang sebenarnya lebih sesuai kalau dipanggil mbokde atau biyung. Ning ya apa sudi?

Dan sedulur saya ini, ngajak saya tertawa saat kemarin Pak Gabener DKI Jakarta melantik istrinya sendiri, mungkin sebagai Pembina PAUD, sekaligus menganugerahi julukan "Bunda PAUD" plus menggelontorkan dana ajaib Rp86 miliar. Ini kayaknya kalau di Jogja sudah cukup untuk membangun atau merenovasi 1.000 ruang kelas.

Yah, tentu saja ini bagi kita berdua jadi sebuah lelucon, karena pasangan ini mungkin sedang main manten-mantenan (pengantin), tentu dengan penganugerahan gelar yang melodious itu: bunda. Yang semula terbatas di ranah privat dibawa ke ranah publik yang lebih luas.

Tentu besok-besok, publik Jakarta harus juga mulai memanggil bu gubernurnya dengan Bunda Feri, sehingga sejajar dengan dengan Bunda Sita yang Walikota Tegal itu, Bunda Sri Hartini yang Bupati Klaten, Bunda Rita Widyasari yang Bupati Tenggarong dan tentu banyak lagi. Ya gak apa-apa kan?

[irp posts="4551" name="Soal Program Mendengar, Anies-Sandi Harus Belajar ke Bupati Pasaman"]

Dalam konteks kultur lokal, penggunaan istilah Bunda paling kuat dan mendalam, sesungguhnya ada dalam kultur orang Minang. Istilah Bundo Kanduang (Bunda Kandung) digunakan sebagai personifikasi etnis Minangkabau, yang menganut asas matrilineal. Ia sekaligus menunjukkan kepemimpinan seorang wanita dalam keluarga, menegaskan peran besar seorang perempuan yang puncaknya adalah seorang ratu sekaligus sebagai ibu raja.

Dalam tradisi yang kemudian, yang lebih "modern", tiga tokoh perempuan Minang: Siti Manggopoh, Rohana Kudus dan Rahmah El Yunusiyyah juga dijuluki sebagai Bundo Kanduang karena ketokohan dan perjuangannya.

Tersebab itu saya berharap, inilah akar, asal usul yang benar tentang teks dan konteks istilah bunda. Seorang yang melampaui fungsi dasar sebagai wanita, sebagai seorang ibu. Ia diperjuangkan dengan amat sangat dan bukan sekedar lucu-lucuan.

***