Mengapa Bawaslu dan KPU di "Jaman Now" Sering Bertengkar?

Minggu, 26 November 2017 | 06:57 WIB
0
230
Mengapa Bawaslu dan KPU di "Jaman Now" Sering Bertengkar?

Sebagaimana kita ketahui, perseteruan KPU dengan Bawaslu selalu terjadi. Perubahan komisioner tidak mengubah budaya pertengkaran antar dua lembaga. Sehingga muara seteru menjadi beban bagi DKPP untuk menyelesaikan masalah.

Sampai sekarang, belum ada jurus jitu untuk menguatkan antara Bawaslu dengan KPU. Perseteruan itu bahkan meluas. Tenaga Ahli ikut bicara. Begitu juga para pembela ke dua lembaga tersebut.

Pembela Bawaslu pasti turut membela Bawaslu dan menyerang KPU. Begitu juga sebaliknya, pembela KPU terus menyuarakan suara-suara sumbang ke lembaga pengawas pemilu.

Masalah terakhir yang membuat rusuh adalah persoalan pendaftaran peserta pemilu 2019. Sejak tahapan awal pendaftaran, ketegangan sudah memanas. Bermula dari KPU yang mengeluarkan alat antah barantah bernama Sistem Informasi Partai Politik (Sipol).

Sipol mendapatkan kesaktiannya dengan penempatan kata wajib dalam PKPU Nomor 11 Tahun 2017. Sejak itu, semua heboh. Wajib sih boleh saja. Tetapi wajib juga sesuai degan peruntukan alat.

Sipol bisa saja aman dengan meletakkannya pada tempat pas. Karena Sipol adalah alat terkait verifikasi data. Maka Sipol akan bermamfaat pada tahapan penelitian administrasi peserta pemilu. Bukan membuat suatu parpol bisa atau tidak mendaftar. Ini kan lucu.

Terjadilah 10 parpol yang terbuang akibat Sipol. Meskipun sudah diingatkan oleh Bawaslu akan potensi Sipol. Tetapi, KPU dengan yakin menghadapi gugatan 10 parpol. Ini lah masalah yang diperuncing. Merasa paling hebat antar kedua lembaga. Plus bumbu-bumbu penyedap rasa dari pihak luar. Sekarang perang lah sudah.

Sombong? Pecat saja!

Dengan kewenangan mengadili sengketa administrasi, Bawaslu menyelenggarakan proses peradilan administrasi antar 10 pemohon yang menggugat KPU terkait pendaftaran parpol calon peserta pemilu.

Dalam hal ini, Bawaslu seharusnya sudah memiliki Perbawaslu beserta tata cara peradilan administrasi. Akan tetapi, Bawaslu bekerja lamban sehingga menjadikan pelaksanaan kewenangan seakan uji coba.

Bahkan terkesan Bawaslu merasakan kenikmatan mengadili saat proses memeriksa sampai penetapan keputusan.

Atas hal ini, KPU dan/atau para pembela KPU untuk melaporkan Bawaslu ke DKPP. Dasar laporannya adalah Bawaslu tidak melaksanakan kerja efektifitas dan efisiensi yang mengarah kepada kepastian hukum. Karena proses mengadili sengketa administrasi tidak dijalankan dengan ketentuan secara detil sebelum melaksanakan proses mengadili.

[irp posts="3904" name="Apa Perlunya 4 Komisioner KPU Aktif di Media Sosial?"]

Jadi, dasar pelaksanaan kewenangan mengadili yang tidak jelas tersebutlah sebagai dalil melaporkan Bawaslu ke DKPP

Di lain sisi, putusan Bawaslu yang menerima 9 permohonan parpol atas KPU menyatakan bahwa KPU telah melakukan pelanggaran administrasi.

Kata "pelanggaran administrasi" menandakan bahwa ada pelanggar (subjek) dan ada yang dilanggar (objek). Sehingga yang melanggar bisa dikatakan melakukan suatu perbuatan yang salah menurut fakta persidangan administrasi.

Kata pelanggaran administrasi menjadi dalil bahwa KPU melakukan kesalahan. Artinya KPU tidak menjaga asas kepastian hukum dan rasa keadilan.

Dengan demikian, Bawaslu dan/atau sembilan parpol yang dimenangkan oleh Bawaslu dalam sengketa administrasi bisa menjadikan putusan Bawasku untuk melaporkan KPU kepada DKPP.

[irp posts="3711" name="KPU Dilarang Ngurusi Ormas, Sebaiknya Fokus Pemilu Saja!"]

Dengan begitu, baik Bawaslu dan KPU, kedua lembaga penyelenggara tersebut sama-sama bisa dilaporkan ke DKPP oleh pihak yang merasa dirugikan.

Oleh sebab itu, isu saling men-DKPP-kan harus dipertimbangkan kembali. Karena, kerja-kerja penyelenggaraan pemilu akan terganggu akibat sidang di DKPP.

Selain itu, untuk menyelesaikan masalah. Sebaiknya DKPP, Bawaslu dan KPU segera mencari waktu duduk bersama secara keseluruhan untuk menyelesaikan semua kekusutan masalah antar lembaga. Sehingga tidak perlu ada sidang-sidang yang mengganggu konsentrasi penyelenggaraan pemilu.

Apabila tidak bisa mencari solusi yang saling menguatkan. Maka disarankan agar DKPP sebagai tali penghubung untuk mencairkan masalah antara KPU dengan Bawaslu.

Apabila tidak juga bisa saling menahan dan menjaga hubungan baik. Maka perlu dipertanyakan sikap antaranggota Bawaslu dan KPU.

Seandainya ada yang saling lapor ke DKPP. Maka kita mengharapkan DKPP memberikan putusan yang seberat-beratnya yaitu pemecatan. Dengan alasan tidak ad itikad baik untuk menguatkan hubungan antar lembaga yang pada sisi lain menjatuhkan marwah kelembagaan.

Dengan pemecatan, semoga ada pembelajaran ke depan bagaimana menjaga ego kelembagaan. Bahwa sebagai komisioner tidak perlu saling mempertontonkan siapa yang paling kuat atau siapa yang paling pintar yang pada kenyataannya terlihat di status-status facebook antar anggota.

Selain itu, pemecatan akan menimbulkan penyesalan yang mendalam. Hal ini bisa dijadikan pembelajaran untuk para PAW Anggota, baik bawaslu dan KPU.

Andrian Habibi, Paralegal di Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Nasional dan Kader Pemantau di Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia

***